Politik Uang Jadi Kendala Panwaslu Jalankan Tugas [25/06/04]
POLITIK uang, pengawasan penghitungan suara, dan tindak lanjut proses hukum pelanggaran pemilu menjadi kendala utama yang dihadapi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dalam menjalankan tugasnya.
Hal tersebut mengemuka dalam pertemuan Panwaslu dengan Komisi II DPR di Kantor Panwaslu Lt 10 Gedung Century Tower, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, kemarin. Pertemuan terbuka berlangsung selama sekitar 2,5 jam sejak Pukul 10.30 WIB. Agenda pertemuan adalah evaluasi kinerja Panwaslu sebagai mitra kerja Komisi II.
Komisi II yang dipimpin oleh Ketua Komisi II Agustin Teras Narang (F-PDIP) didampingi Wakil Ketua Komisi II Ferry Mursyidan Baldan (F-PG) dan tiga anggota yaitu Tjeje Hidayat Padmadinata (F-KKI), Nyoman Gunawan (F-PDIP), dan Sayuti Rahawarin (F-PDU).
Sedangkan dari Panwaslu hadir Ketua Panwaslu Komaruddin Hidayat beserta wakilnya, Saut Hamonangan Sirait. Keduanya didampingi dua anggota Panwaslu, Didik Supriyanto dan Masyhudi Ridwan.
Secara umum, Komisi II menilai kinerja Panwaslu sudah baik meskipun ada catatan yang harus diperhatikan Panwaslu yaitu mengenai hubungan antara Panwaslu-Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebetulnya kami juga mempertanyakan hubungan antara Panwaslu-KPU. Selain itu, juga kendala-kendala yang dihadapi Panwas dalam fungsi pengawasan, kata Narang pada awal pertemuan.
Kendala pertama yang dihadapi Panwaslu yaitu dalam pengawasan terhadap praktik politik uang. Berdasarkan data selama pemilu legislatif, dari 50 kasus politik uang yang ditemui Panwas daerah di lapangan, hanya 10 kasus saja yang sampai pada vonis pengadilan. Sebanyak 20 kasus masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan oleh jaksa dan polisi, sementara 20 kasus lainnya dalam proses di pengadilan.
Didik mengatakan, 50 kasus itu adalah saringan dari ratusan kasus yang mengandung indikasi politik uang. Kalau memberikan uang ini dilakukan pada masa kampanye tetapi pada saat yang bersangkutan tidak sedang berkampanye, ini juga tidak bisa ditindaklanjuti. Inilah kendalanya.
'Political cost'
Panwaslu lalu membedakan antara money politics dan political cost. Pembagian uang dari tim kampanye kepada sejumlah partisipan kampanye sebagai uang lelah dan transpor yang besarnya sekitar Rp10 ribu hingga Rp35 ribu per orang masuk dalam kategori ini.
Masih terkait politik uang, Masyhudi mengatakan, pengawasan terhadap praktik politik uang dalam tahapan pilpres relatif lebih sulit ditangani dibandingkan pemilu legislatif. Sebab, pada pilpres sulit dibuktikan apakah pelaku politik uang betul-betul dari tim kampanye capres atau bukan. Selain itu, sebagian laporan praktik politik uang ke Panwaslu ternyata sudah lewat batas waktu tujuh hari pelaporan. Kesulitan lainnya adalah menghadirkan saksi.
Sedangkan kendala pada pengawasan penghitungan suara, kata Didik, disebabkan minimnya jumlah anggota Panwaslu di kecamatan yaitu hanya 3 orang per kecamatan. Padahal, satu kecamatan bisa ada 10 sampai 20 desa yang di dalamnya ada ratusan TPS, kata Didik.
Dia menambahkan, mulanya Panwaslu amat berharap bantuan dari pemantau. Namun, kata dia, ternyata pemantau menghadapi masalah dalam pendanaan dan koordinasi sehingga tidak dapat terlalu diharapkan.
Mengenai tindak lanjut proses hukum pelanggaran pemilu, Komaruddin mengatakan secara normatif legalistik, sejumlah laporan memang tidak dapat ditindaklanjuti karena keterbatasan dan ketidakjelasan aturan UU. Jadi, secara politis pelanggaran itu ada, namun sebagian ujung-ujungnya tidak bisa diproses, kata Komaruddin.
Sementara itu, Forum Rektor Indonesia (FRI) dalam mencermati perkembangan pilpres, khususnya selama masa kampanye, mengimbau KPU dan Panwaslu baik pusat maupun daerah agar bekerja lebih profesional.
Hal ini disampaikan oleh Ketua FRI Marlis Rahman di Jakarta, kemarin. Kerja sama KPU dan Panwaslu secara profesional dan sinergis dimaksudkan agar kedua lembaga tidak saling menuntut, tetapi lebih melaksanakan kewajibannya agar pemilu berlangsung dengan baik sesuai harapan masyarakat. Bagi siapa pun yang melanggar UU Pemilu agar diambil tindakan yang tegas dan diberi sanksi sesuai hukum, kata Marlis. (Opi/IA/P-1)
Sumber: Media Indonesia, 25 Juni 2004