Politik Uang dan Uang politik
Menurut teman saya, politik uang dan uang politik ada bedanya. Politik uang, jelas dilarang. Sedang uang politik, halal hukumnya. Bagaimana membedakannya?
Menjelang putaran kedua pilpres (20/9), politik uang dan uang politik campur aduk. Sulit membedakannya. Politik uang, mudah sekali menebaknya. Jika seseorang membagikan uang supaya orang yang mendapat uang itu memilih pasangan capres dan cawapres tertentu, nah, itulah politik uang. Perilaku itu jelas dilarang. Ketika Akbar Tandjung, Ketua Koalisi Kebangsaan, disebut-sebut membagikan uang ke pengurus daerah, menurut teman saya itu merupakan uang politik. Mesin politik kan perlu oli baru, busi baru, maupun ban baru, jadi tidak ada masalah tentang sikap Akbar itu.
Tak kurang dari Kwik Kian Gie dan Komaruddin Hidayat yang tidak setuju dengan cara-cara Akbar itu. Menurut Kwik, dulu ketika PDIP di-{kuyo-kuyo] (ditindas) lalu bisa bangkit karena didukung oleh semua kalangan, padahal waktu itu PDIP tak punya uang sama sekali. Sedang Komaruddin dari Panwaslu menengarai, jika cara-cara itu dilakukan, pilpres jadi merosot kualitasnya. Sedang Muladi dari Habibie Center mengharapkan, Akbar tidak main pecat terhadap bawahan yang tidak mematuhi atasan, cara-cara itu sudah bukan zamannya lagi. Dalam hal ini, Akbar menjawab bahwa partai punya aturan main.
Namun demikian, ada yang lebih menarik lagi dari cara-cara di atas. Yaitu, dana yang tidak terbatas, untuk kampanye capres dari para konglomerat. Seperti diketahui, KPU membatasi besarnya sumbangan, yaitu Rp100 juta dari perorangan dan Rp750 juta dari perusahaan. Tentu saja para penyumbang kedua kubu cukup lihai dalam menembus lorong-lorong sempit peraturan. Sumbangan yang jumlahnya miliaran rupiah itu dipecah menjadi sekian penyumbang. Sampai-sampai Indonesia Coruption Watch menemukan dana miliaran rupiah yang tak jelas asal-usulnya dari kedua kubu yang sedang bertarung itu. Menurut teman saya, dana konglomerat itu masih tergolong uang politik. Jadi sah-sah saja.
Baiklah. Lalu saya usul kepada teman saya itu, bagaimana kalau politik uang itu dihalalkan saja. Teman saya itu menolak. Alasannya, nanti sama saja dengan membangun 'masyarakat anarkis'. Lho, sebenarnya 'masyarakat anarkis' kan sudah lama terbangun. Semua tindakan yang tidak mematuhi aturan dan undang-undang berlangsung di mana-mana, khususnya dalam membudayakan politik uang. Tak terkecuali di pemerintahan dan di DPR. Elite politik menduduki peringkat pertama.
Teman saya membantah pendapat saya. Ia berani menjamin, sebenarnya tidak ada yang disebut politik uang itu. Apalagi budaya politik uang. Apalagi 'masyarakat anarkis' itu. Saya mengingatkannya bahwa perkataan 'masyarakat anarkis' itu keluar dari mulutnya, bukan dari mulut saya.
***
Apa mau dikata, jika politikus dan bisnisman selalu duduk bersanding, secara sengaja maupun kebetulan. Sudah nasib. Mereka bertemu di hotel, kafe, atau di bioskop. Politikus dan pengusaha sudah nasib, sama-sama butuh. Politikus butuh pembiayaan program-programnya, sedang pengusaha butuh kelangsungan hidup dan berkembang bisnisnya di masa mendatang. Jadi, tidak benar hanya pengusaha yang membutuhkan jalinan hubungan semacam itu. Juga politikus, lebih-lebih kandidat presiden.
Konon, para konglomerat saat ini cukup bingung membaca arah angin politik, mereka tidak bisa menebak. Barang kali para konglomerat itu terhuyung-huyung di tengah-tengah puting beliung. Jika mereka memilih Mega-Hasyim, jangan-jangan yang menang adalah SBY-Kalla. Jika mereka memilih SBY-Kalla jangan-jangan yang menang adalah Mega-Hasyim. Di masyarakat, marak plesetan yang menyesatkan: Wiranto-Salah (Salahuddin Wahid), SBY-Kalah (Jusuf Kalla), dan Mega-Jadi (Hasyim Muzadi), menjadi masing-masing nama calon. Karena yang bertarung tinggal dua pasang, maka kubu SBY tidak mau berpangku tangan menanggapi plesetan itu.
Para tim sukses SBY-Kalla menganalisis secara ilmiah. Mesti gegap gempita Koalisi Kebangsaan terdengar ke seantero Tanah Air, diam-diam kawulo alit memilih SBY-Kalla seperti yang telah terjadi, apalagi ada yang menobatkan SBY sebagai satrio piningit, pemimpin yang ditunggu-tunggu.
Tentu saja para konglomerat itu didampingi para cenayang yang ampuh yang yakin akan kemenangan pasangan yang dipilihnya. Dan biaya bagi cenayang itu tentu bukan disebut sebagai politik uang melainkan dana untuk melestarikan kekayaan tradisi. Baiklah. Politik uang maupun uang politik, tak mengubah kebutuhan rakyat kecil akan sembako yang murah. Rakyat kecil di mana saja, menunggu bagi-bagi politik uang maupun uang politik dari para politikus/dermawan. Lebih-lebih dewasa ini, uang makin susah didapat dan harga-harga sembako cenderung merangkak naik.(Danarto; Budayawan)
Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 28 Agustus 2004