Politik Uang dan Pemenangan Pemilu [02/07/04]

POLITIK uang (money politics) dalam pemilihan legislatif 2004 yang baru lalu me- nunjukkan peningkatan dari Pemilu 1999. Politik uang terjadi pada hampir semua tahapan pemilu, baik prakampanye, masa kampanye, minggu tenang, dan pada hari pencoblosan atau sering disebut serangan fajar.

Hasil pemantauan ICW, Transparency International Indonesia, dan jaringan LSM di delapan kota besar mencatat sedikitnya ada 114 kasus politik uang pada pemilu legislatif 2004. Bandingkan dengan Pemilu 1999, hanya ada 62 kasus politik uang yang terekam media dan dicatat oleh sejumlah pemantau.

Hampir sama persis dengan Pemilu 1999, mayoritas modus politik uang dilakukan dalam bentuk pembagian uang secara langsung pada massa kampanye, rapat akbar atau deklarasi partai politik (50,87 persen), kegiatan sosial dan pembagian sembako (18,42 persen), pembangunan infrastruktur (7,89 persen), kegiatan keagamaan (7,01 persen), pemberian hadiah (7,89 persen), dan lain-lain (7,93 persen). Sementara aktor politik uang mayoritas adalah pengurus dan kader partai selain calon anggota legislatif langsung, yang tentu saja dilakukan oleh mereka yang punya cukup banyak uang.

Yang berhasil dicatat memang hanya berupa politik uang yang dilakukan secara terbuka, dengan nilai uang yang relatif kecil. Tetapi diyakini, praktik indirect vote buying yang sulit dimonitor sesungguhnya jauh lebih luas dan besar nilainya. Biasanya digunakan untuk mencari dukungan para tokoh masyarakat dan pemuka agama yang punya pengaruh menggiring pemilih dan berlangsung tertutup. Sayangnya, sistem akuntansi dana pemilu belum mampu melacak dan mencatat setiap transaksi dan donasi dana pemilu secara jujur.

Menarik untuk dikaji lebih lanjut sejauh mana pengaruh politik uang dalam pemenangan pemilu. Yang pasti, hasil pemilu legislatif 2004 dikuasai oleh partai-partai dengan mesin poltik yang kuat, yakni Golkar (21,58 persen), PDI-P (18,53 persen), PKB (10,99 persen), dan PPP (8,15 persen). Sesungguhnya keempat partai itu mengalami penurunan perolehan suara dibandingkan dengan Pemilu 1999 meskipun mesin politik mereka saat ini jauh lebih kuat daripada tahun 1999.

Pergeseran korupsi pemilu
Politik uang merupakan fenomena baru korupsi pemilu yang muncul dalam dua kali pemilu terakhir. Dalam pemilu-pemilu pada era Orde Baru, korupsi pemilu lebih didominasi oleh manipulasi perhitungan suara dan pemilih, yang dilakukan oleh panitia pemilih dan birokrasi pemerintah. Di masa lalu, upaya untuk memengaruhi pemilih dilakukan oleh Golkar dalam penggunaan fasilitas publik, seperti pembangunan proyek-proyek pemerintah yang populis menjelang pelaksanaan pemilu. Karier seorang camat hingga gubernur biasanya berkaitan dengan pemenangan suara Golkar.

Perkembangan ini barangkali ada kaitannya dengan semakin terbukanya penyelenggaraan pemilu karena dijalankan oleh sebuah lembaga yang relatif independen, bukan oleh birokrasi pemerintah seperti di masa lalu, serta tidak besarnya pengaruh politik partai yang berkuasa terhadap penyelenggaraan pemilu. Pendek kata, korupsi pemilu kini telah bergeser ke dalam bentuk pembelian suara (vote buying), baik langsung atau tidak.

Melihat modus dan bentuk politik uang yang terbuka tadi, bisa disimpulkan wilayah yang paling rawan politik uang adalah masyarakat miskin yang sering disebut sebagai pemilih irasional. Jika angka perkiraan figur pemilih dapat dipercaya, yaitu sekitar 70 persen, pemilih kita tergolong sebagai locked-in electorates, meminjam istilah James Scott, yang sangat terikat dengan kondisi sosial-ekonomi dan sangat dipengaruhi oleh community leader-nya. Maka, bila tak ada perubahan perilaku pemilih, bisa dipastikan calon presiden yang didukung oleh koalisi partai yang mempunyai mesin politik yang menjangkau wilayah pemilih yang akan keluar sebagai pemenang.

Kita memang belum punya pengalaman pemilu presiden langsung yang terpisah dari pemilu legislatif sehingga seberapa besar perubahan perilaku pemilih belum bisa dipastikan. Walaupun jajak pendapat yang dilakukan oleh beberapa lembaga independen menempatkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla paling diminati pemilih, sepintas memperlihatkan pemilih presiden tidak paralel dengan pemilih legislatif.

Gagasan demokrasi langsung dalam pemilihan presiden dari perspektif antikorupsi sejatinya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menghindari jual beli suara di parlemen, selain guna meningkatkan akuntabilitas publik presiden terpilih. Hal yang sama juga muncul dalam gagasan untuk mendorong pemilihan langsung kepala daerah, yang sekarang senantiasa diwarnai oleh politik uang. Dalam pemilihan langsung meskipun jual beli suara tidak bisa dihapuskan sama sekali, tetapi dalam skala pemilih yang luas dan jumlah yang besar seperti Indonesia bisa dipastikan akan lebih sulit dilaksanakan.

Sesungguhnya, politik uang dalam bentuk pembelian suara secara langsung tidak terlalu merisaukan. Hasil pemilu legislatif 2004 menunjukkan politik uang hanya berpengaruh untuk meneguhkan loyalitas pendukung tradisional mereka dan tidak terlalu efektif untuk menarik pemilih di luar itu. Ini barangkali gara-gara kampanye ambil saja uang mereka tapi jangan pilih mereka yang populer dinyanyikan oleh Franky Sahilatua dan Harry Roesli. Sejauh ini belum ada studi tentang faktor-faktor kohesitas dan loyalitas pemilih dengan partainya, selain politik aliran yang telah banyak dikaji.

Bagi pemilih irasional yang memilih berdasarkan afiliasi komunal, yang patut dikhawatirkan barangkali justru adalah perilaku pemimpin komunalnya. Lihat saja bagaimana para capres sangat rajin sowan kepada kiai, tokoh ormas/budaya, terutama di Jawa, Sumatera, dan Bali yang menjadi kantong utama pemilih.

Untungkan calon kaya

Pemilu di mana saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sistem pemilu sekarang jelas membutuhkan uang lebih banyak. Di tengah suburnya politik uang dan mayoritas pemilih irasional, bisa jadi demokrasi langsung, suka tidak suka, akan menguntungkan capres yang kaya atau yang dicukongi oleh kelompok bisnis tertentu. Faktanya, tokoh-tokoh Orde Baru sekarang punya peluang yang besar untuk memperoleh legitimasi politik baru melalui mekanisme demokrasi ini.

Vedi Hadiz, sosiolog di National University of Singapore, malah menduga, ke depan kelompok bisnis bakal tergoda menguasai langsung institusi negara guna melindungi kepentingan bisnis mereka, tidak sekadar berpengaruh dalam struktur politik dan ekonomi.

Sebagian ahli juga melihat pemilihan presiden langsung tidak sejalan dengan kebutuhan adanya pemerintahan yang efektif. Bisa saja presiden terpilih dari sebuah partai kecil mendapat oposisi dari parlemen. Atau sebaliknya, melahirkan pemerintahan koalisi yang harus berbagi kue kekuasaan dan kompromistis.

Ke depan barangkali sistem demokrasi langsung justru akan semakin memperkuat kedaulatan rakyat dan akuntabilitas politik, seiring dengan semakin cerdasnya pemilih dan terbukanya sarana informasi hingga ke tingkat desa. Paling tidak, pemilih tidak dikhianati oleh para wakil rakyat sebagaimana lazimnya dalam sistem demokrasi perwakilan. Hanya satu hal yang paling pokok dalam konteks ini, yakni pemilih harus diberikan kekuasaan oleh undang-undang untuk menarik kembali suaranya manakala pemimpin yang telah dipilihnya berkhianat.(Teten Masduki Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW))

Tulisan ini diambil dari Kompas, 2 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan