Politik Satu Pintu Uang Pengganti

Persoalan uang pengganti dalam kasus korupsi mengundang perhatian luas di kalangan publik. Dalam hemat saya, persoalan tersebut timbul karena tiga hal, yaitu kelemahan undang-undang, amar keputusan hakim yang tidak lengkap, dan sistem administrasi kejaksaan.

Ada dua UU mengenai tindak pidana korupsi, yaitu UU Nomor 3 Tahun 1971 dan UU Nomor 31 Tahun 1999, juncto UU Nomor 20 tahun 2001 sebagai perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 yang di dalamnya diatur soal uang pengganti.

Pasal 34 UU No 3/1971 mengatur jenis-jenis hukuman. Jenis-jenis hukuman bisa berupa perampasan barang-barang tetap ataupun tidak tetap, yang berwujud atau tak berwujud, yang dianggap sebagai hasil tindak pidana korupsi, atau yang merupakan sarana untuk tindak pidana korupsi itu sendiri.

Pembayaran uang pengganti jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan uang yang dikorupsi. Masalahnya, rezim UU No 3/1971 tidak secara tegas menentukan kapan pembayaran uang pengganti itu harus dibayarkan, dan apa sanksinya bila pembayaran tidak dilakukan. Namun, dalam bagian penjelasan UU itu disebutkan, apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi, berlakulah ketentuan-ketentuan tentang pembayaran denda. Ini berarti hakim dalam amar putusannya harus menyertakan hukuman subsider.

Dalam pengamatan saya, adanya keputusan kasus korupsi yang menggantung dan belum terselesaikan uang penggantinya, besar kemungkinan disebabkan hakim tidak menyebutkan hukuman subsider dalam amar keputusannya. Itu bisa terjadi karena memang UU No 3/1971 tidak mengatur hal itu. Masalah inilah yang coba diatasi dengan Surat Edaran Ketua MA pada tahun 1985. Surat edaran itu mendorong jaksa selaku pengacara negara melakukan gugatan perdata apabila eksekusi atas uang pengganti tidak bisa dilaksanakan karena berbagai hal.

Kelemahan hukum ini telah dikoreksi dalam UU No 31/1999 jo UU No 20/2001. Dalam UU tersebut, ketentuan mengenai uang pengganti sudah lebih tegas, yaitu apabila tidak dibayar dalam tempo satu bulan, terhukum segera dieksekusi dengan memasukkannya ke penjara. Hukuman penjara tersebut sudah ditentukan dalam putusan hakim, yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokoknya.

Inventarisasi menyeluruh
Faktanya saat ini, ada banyak kasus korupsi yang diputuskan berdasarkan UU No 3/1971 yang bermasalah karena persoalan uang pengganti belum terselesaikan. Untuk mengatasi hal ini, saya berpendapat harus dilakukan inventarisasi menyeluruh, untuk kemudian diselesaikan dengan dua alternatif pendekatan.

Pertama, mengajukan gugatan perdata dengan dasar Surat Edaran Ketua MA tersebut. Ini bisa dilakukan karena pada dasarnya surat edaran tersebut belum dicabut oleh MA. Alternatif kedua, kejaksaan langsung melakukan sita atas harta terhukum. Hal ini dapat dilakukan dalam kapasitas jaksa selaku eksekutor.

Fungsi jaksa adalah eksekutor atas keputusan-keputusan pengadilan, sebagaimana diatur Pasal 30 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. UU Kejaksaan sebelumnya pun menegaskan hal serupa. Karena itu, jaksa dituntut untuk aktif mengambil tindakan yang diperlukan guna melaksanakan keputusan hakim. Termasuk dalam hal ini adalah aktif mengupayakan agar terhukum membayar uang pengganti.

Dengan kata lain, tidak ada alasan bagi jaksa untuk menunggu atau membiarkan terhukum membayar sendiri ke kas negara. Kalau toh terhukum berinisiatif membayar uang pengganti, pembayaran diserahkan kepada jaksa penuntut umum. Jaksalah yang kemudian menyerahkannya ke kas negara. Dalam hal ini harus diberlakukan politik satu pintu. Tidak bisa lagi terhukum kasus korupsi membayar sendiri ke kas negara.

Kesimpangsiuran selama ini terjadi karena mekanisme eksekusi uang pengganti belum mengacu kepada satu ketentuan yang baku dan bisa dibenarkan secara hukum. Terhukum diberi keleluasaan untuk membayar uang pengganti ke kas negara, baik jumlah maupun waktunya.

Masalah eksekusi uang pengganti jelaslah bukan masalah yang berdiri sendiri. Pangkal masalahnya ada yang berkaitan dengan undang-undang, ada yang menyangkut diktum putusan pengadilan, dan ada pula yang diakibatkan oleh kelemahan dalam administrasi kejaksaan.

Kelemahan ini bukanlah tidak disadari oleh Korps Adhyaksa karena ternyata dalam dua tahun terakhir Rapat Koordinasi (Rakor) Kejaksaan se-Indonesia tahun 2005 di Ciloto dan 2006 di Bandung, masalah uang pengganti menjadi agenda pembahasan dan muncul dalam rekomendasi putusan akhir kedua rakor.

Rekomendasi rakor tahun 2005 menyatakan bahwa jaksa harus selalu mencantumkan tuntutan subsider pidana penjara apabila terhukum dalam waktu satu bulan tidak melunasi uang pengganti. Dalam rekomendasi disebutkan bahwa dalam praktik hal itu masih tidak seragam sehingga diperlukan petunjuk teknis untuk tidak menimbulkan disparitas antara daerah satu dengan daerah yang lain.

Rakor di Bandung lebih menegaskan lagi perlunya dibuat surat edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tentang tata cara penagihan uang pengganti, menurut UU No 3/1971 ataupun UU No 31/1999.

Jika saat ini masih dijumpai kesimpangsiuran dalam masalah uang pengganti ini, hal itu harus dicatat sebagai agenda penting dalam tertib administrasi di kejaksaan. Dan hal itu sama sekali tidak berarti kejaksaan tidak bersungguh-sungguh dalam pem- berantasan korupsi.

Abdul Rahman Saleh Jaksa Agung RI, Oktober 2004-Mei 2007

Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan