Politik Gelang Karet Pemberantasan Korupsi dalam UU Cipta Kerja
Pemerintah dalam salah satu argumentasinya menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja memberikan kontribusi bagi upaya pemberantasan korupsi, terutama pada aspek yang berkaitan dengan penyederhanaan prosedur perizinan usaha. Lebih lanjut, Pemerintah mengatakan bahwa selama ini izin usaha berbelit-belit, sangat panjang prosedurnya, dan penuh dengan praktek pungutan liar dan setoran ilegal. Dengan mengatur prosedur secara lebih sederhana, diharapkan berbagai titik rawan pungutan liar dan setoran ilegal untuk mempercepat keluarnya izin dapat dihilangkan.
Salah satu indikator atas rendahnya skor Ease of Doing Business (EoDB) di Indonesia menyangkut soal birokrasi dan prosedur perizinan berusaha yang panjang dan berbelit. Biaya mengurus izin juga dianggap lebih mahal dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun skor EoDB Indonesia masih kalah jauh dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Hal ini pula yang menyebabkan arus investasi tidak lancar, dan Indonesia tidak dilirik sebagai tempat untuk berinvestasi oleh investor global. Semua aspek diatas tak terbantahkan merupakan masalah tata kelola pemerintahan yang harus diperbaiki.
Namun pemberantasan korupsi sebagai sebuah strategi komprehensif tidak bisa diperlakukan secara parsial atau sepotong-sepotong, sesuai dengan kehendak Pemerintah. Apalagi raport atas kinerja pemberantasan korupsi itu dilihat dari berbagai indikator, bukan hanya indikator perbaikan pada tata kelola sektor usaha belaka.
Sebagai misal Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi merupakan parameter yang lebih luas daripada sekedar menyoroti perbaikan pada sektor bisnis saja, namun juga pada aspek penegakan hukum, perbaikan sektor politik, demokrasi serta proteksi atas hak masyarakat, termasuk pers dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam melakukan pengawasan. Sejumlah data pendukung dalam CPI mengafirmasi bahwa problem korupsi di sektor birokrasi pelayanan publik, ketegasan penegakan hukum dan korupsi politik adalah penghambat utama bagi proses kemudahan berusaha di Indonesia.
Pada konteks itu, kita melihat bahwa Pemerintah hanya mengambil sebagian kecil yang dapat menaikkan reputasi atas usaha pemberantasan korupsi, tapi pada sisi lain justru memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Sebagai misal revisi UU KPK yang membuat badan anti korupsi ini menjadi tumpul, tak bergigi dan kehilangan dukungan publik. Kemudian, Pemerintah juga tidak memberikan perhatian serius untuk membenahi lembaga penegakan hukum yakni Kepolisian dan Kejaksaan sehingga berbagai masalah masih muncul di lembaga tersebut.
Singapura sebagai contoh sangat menyadari reformasi di sektor bisnis hanya akan dapat berjalan jika penegakan hukum yang tegas menyertai upaya itu. Mereka sangat memahami bahwa keran berinvestasi yang dibuka lebar hanya akan efektif apabila para investor percaya pemerintah memiliki sistem dan cara yang objektif untuk menangani masalah hukum, termasuk korupsi. Sistem koreksi yang efektif juga akan memberikan tingkat kepercayaan tinggi bagi para pelaku usaha ketika berhadapan dengan ketidakpastian kebijakan.
Lebih lanjut, memasukkan isu pemberantasan korupsi sebagai konteks dalam UU Cipta Kerja sejatinya menegasikan berbagai potensi kebijakan koruptif yang dilahirkan dari berbagai pasal kontroversial pada UU tersebut. Misalnya, royalti 0 persen yang diberikan kepada perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi industri batu bara mencerimkan fenomena institutional corruption, dimana cara-cara legal digunakan untuk memberikan keuntungan finansial bagi kelompok bisnis tertentu saja.
Selanjutnya, ketentuan mengenai pemindahtanganan aset negara (serta aset Badan Usaha Milik Negara) dalam rangka investasi pemerintah, dilakukan tanpa mekanisme persetujuan dan pengawasan yang ketat. Pemindahtanganan aset negara tersebut dapat dilakukan langsung oleh Lembaga Pengelola Investasi tanpa ada keterlibatan pengawasan dari Pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat.
Mekanisme persetujuan dan pengawasan yang ketat, terutama untuk aset stratgeis, yang sebelumnya ada dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara, dihilangkan oleh UU Cipta Kerja. Ada banyak jenis aset negara dan aset BUMN dengan nilai strategis dapat berpindah-tangan ke pihak lain dan kehilangan status sebagai aset negara. Aset-aset negara tersebut berpotensi hilang dan Lembaga Pengelola Investasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian negara tersebut.
Demikian halnya, perumusan materi UU Cipta Kerja jauh dari semangat dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik mengingat proses pembahasan dan penyusunan UU Cipta Kerja yang sangat tertutup dan jauh dari partisipasi masyarakat. Belum lagi keterlibatan berbagai pihak sebagai tim inti perumus materi UU Cipta Kerja yang tidak lepas dari konflik kepentingan. Bagaimana mungkin pemerintah dapat mengklaim punya semangat anti korupsi apabila dalam berbagai praktek kebijakan, mereka menegasikan berbagai prinsip penting dari tata kelola pemerintahan yang baik?
Dari berbagai alasan diatas, kami menyimpulkan bahwa Pemerintah sedang menggunakan politik gelang karet dalam pemberantasan korupsi, dimana agenda anti korupsi hanya akan diterapkan apabila memberikan kontribusi langsung bagi perbaikan sektor ekonomi dan tidak menimbulkan konflik antar elit. Selebihnya, konsekuensi yang merugikan Pemerintah (baca: elit) dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi dihindari, meskipun Pemerintah menyadari, hal itu merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi Indonesia untuk jangka panjang.***
Indonesia Corruption Watch-Transparansi Internasional Indonesia-PUKAT UGM
Narahubung:
1. Adnan Topan Husodo (ICW)
2. Oce Madril (PUKAT UGM)
3. Wawan (TII)