Politik Anggaran; Dana Aspirasi Tak Terarah
Program dana aspirasi yang kini telah diubah menjadi dana program percepatan pemerataan pembangunan daerah pemilihan dinilai tak jelas dan tak terarah. Selain bertentangan dengan sejumlah undang-undang, pemberian dana aspirasi juga akan merusak tatanan pemerintahan di Indonesia.
Pendapat itu disampaikan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Firmanzah dalam diskusi ”Mempertanyakan Kepentingan Dana Aspirasi” di Jakarta, Selasa (22/6).
”Saya khawatir jika usulan dana aspirasi Rp 15 miliar per dapil (daerah pemilihan) akan membawa kerumitan,” kata Firmanzah. Apabila dana aspirasi Rp 15 miliar itu disetujui, akan timbul masalah baru, di antaranya persoalan mekanisme pemberian dana aspirasi dan mekanisme pemilihan proyek pembangunan yang akan dilaksanakan dengan dana aspirasi.
Proyek pembangunan juga menjadi tidak jelas dan tak terarah. Hal itu karena tiap-tiap anggota DPR akan memperjuangkan pembangunan untuk dapilnya masing-masing. Padahal, DPR secara kolektif mewakili rakyat Indonesia, bukan dapil.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur, kekuasaan pengelolaan keuangan negara berada di tangan Presiden. Pelaksanaan pengelolaan dilakukan oleh para menteri, gubernur, hingga bupati/wali kota. Undang-undang tidak mengamanatkan DPR untuk mengelola keuangan negara.
Politisi Partai Golkar, Ferry Mursyidan Baldan, yang juga menjadi narasumber dalam diskusi, juga mempertanyakan mekanisme pemberian dana aspirasi. ”DPR harus bisa menjawab keraguan masyarakat. Itu niat baik, tetapi DPR harus menjelaskan model pemberian dana aspirasi itu,” katanya.
Menurut Ferry, dana aspirasi itu harus menjadi bagian dari penguatan fungsi anggaran DPR. ”Jangan hanya untuk gagah-gagahan dana Rp 15 miliar itu. Kalau mau memberi kepala desa, ya, pakai uang sendiri, jangan pakai uang negara,” ujar aktivis Nasional Demokrat itu.
Seharusnya, menurut Ferry, DPR menggunakan fungsi anggaran. DPR bisa menekan pemerintah untuk mengalokasikan dana pembangunan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setelah menginventarisasi kebutuhan masyarakat.
Anggota Fraksi Partai Golkar, Nusron Wahid, menjelaskan, angka Rp 15 miliar per dapil itu hanya angka pembatas. Jumlah dana aspirasi untuk tiap-tiap dapil akan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan daerah masing-masing. (NTA)
Sumber: Kompas, 23 Juni 2010