Polisi Tolak Evakuasi; Kuasa Hukum Susno Duadji Menilai Balas Dendam
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia menolak permintaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk mengevakuasi mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji ke rumah perlindungan.
”Kesepakatannya sesuai aturan masing-masing. Pak Susno masih diperlukan polisi untuk penyidikan. Tak mungkinlah dikasih. Nanti tambah repot. Jadi, permintaan tak dikabulkan,” kata Kepala Bidang Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Marwoto Soeto di Jakarta, Selasa (1/6).
Sebelumnya, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan terus berkoordinasi dengan kepolisian untuk memindahkan Susno ke tempat yang lebih aman. LPSK memiliki kewenangan sesuai dengan perundang-undangan. Namun, di sisi lain, kepolisian memiliki kewenangan untuk menahan pula.
Seperti diberitakan, Susno Duadji akan dibidik lagi untuk dugaan pidana penerimaan gratifikasi. Polri membidik Susno setelah menetapkan Joni Situwanda sebagai tersangka dalam dugaan pemberian gratifikasi kepada Susno (Kompas, 1/6).
Mabes Polri menjerat Susno dengan dua perkara pidana pula. Pertama, dugaan penerimaan suap dalam penanganan kasus penangkaran ikan arwana di PT Salmah Arowana Lestari di Rumbai, Riau. Kedua, Susno dijerat dengan dugaan korupsi dana pengamanan Pemilu Kepala Daerah Jawa Barat tahun 2008.
Kuasa Hukum Susno Duadji, M Assegaf, mengungkapkan, Susno mempertanyakan mengapa hanya dia yang diperiksa terkait kasus pengamanan pilkada. ”Susno meminta semua Polda diperiksa terkait pengamanan pilkada,” katanya. Ia juga menyayangkan laporan Susno terkait berbagai kasus dugaan mafia hukum tidak diproses secara optimal dan terbuka oleh Polri.
Langkah Presiden
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus mengambil langkah untuk memberikan ruang baru bagi Susno guna mengungkap mafia hukum. Ini sesuai agenda pemerintahan Yudhoyono untuk memberantas mafia hukum.
Haris menambahkan, sejumlah instrumen bisa dilakukan untuk memberi ruang bagi Susno guna mengungkap mafia hukum, misalnya melalui Komisi Pemberantasan Korupsi, LPSK, atau Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum.
Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Febri Diansyah menilai, Satgas tidak bisa lepas tangan begitu saja dalam kasus Susno. Satgas sebagai perpanjangan tangan Presiden harus memastikan apakah kerja penyidik mengandung unsur rekayasa atau tidak. Jika betul-betul ada kesalahan, harus dipikirkan sebesar apakah kesalahan itu dibandingkan dengan kasus yang diungkapkan Susno.
”Kalau lebih besar kasus yang diungkapkan Susno, seharusnya kasus itu yang lebih dahulu diselesaikan,” ujar dia.
Berkas perkara Susno sebagai tersangka penerima suap Rp 500 juta terkait PT Salmah Arowana Lestari belum lengkap. Berkas itu sedang dikaji, kemudian akan dikembalikan lagi oleh jaksa kepada penyidik Polri disertai petunjuk agar dilengkapi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto menyampaikan hal itu di Kejagung, Selasa. Didiek menolak menyebutkan hal apa saja yang belum lengkap itu.
Perkara Susno yang lain, yakni dugaan korupsi dana pengamanan Pilkada Jabar, masih belum diterima berkasnya. Meski demikian, sejak dua pekan lalu, Kejagung menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dari Polri yang menyebut Susno sebagai tersangka.
Assegaf menjelaskan, saat diperiksa tim independen Polri, status Susno sebagai saksi. Namun, setelah pemeriksaan selesai, berkas pemeriksaan ditandatangani, kemudian disodori surat perintah penahanan.
Tidak melarikan diri
Secara terpisah, pengacara Joni Situwanda, Sutedja Sugianto, mengatakan, kliennya tidak pernah melarikan diri. Sejak belum dipanggil Mabes Polri, Joni telah berinisiatif memberitahu penyidik dirinya berada di Hongkong untuk urusan pekerjaan.
Joni ditetapkan sebagai tersangka atas sangkaan menyuap Susno Duadji. Polisi belum menjelaskan kaitan perkara suap itu. (sf/ana/idr/fer/nwo)
Sumber: Kompas, 2 Juni 2010