Polemik Pajak Batu Bara

Belakangan ini, media massa memberitakan adanya ketidakmauan para Kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) untuk membayar royalti kepada pemerintah. Hal itu terjadi karena tuntutan mereka atas restitusi PPN belum juga diselesaikan oleh pemerintah. Mereka menganggap uang restitusi PPN tersebut merupakan kompensasi atas royalti kepada pemerintah.

Sebaliknya, pemerintah cq menteri keuangan membantah keras dengan menyatakan persoalan antara royalti dan restitusi PPN adalah sesuatu yang jauh berbeda. Jadi, kewajiban membayar royalti harus tetap dilakukan!

Polemik

Polemik itu dimulai ketika terbit Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN, yang pada pasal 2 menyebutkan bahwa batu bara tidak termasuk barang kena pajak (BKP). Karena batu bara bukan BKP, maka atas penjualannya tidak dikenakan PPN dan tentunya pajak masukan (PM) atas kegiatan yang berhubungan dengannya tidak bisa dikreditkan.

Peraturan pemerintah (PP) itu digugat oleh wajib pajak PKP2B karena dengan dikeluarkannya PP tersebut, mereka tidak akan lagi memperoleh restitusi. Padahal, PKP2B generasi I sudah mengajukan surat pemberitahuan (SPT) masa PPN-nya. Mereka menganggap bahwa PP tersebut bertentangan dengan UU No 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai, terutama pada penjelasan pasal 4A ayat 2 huruf a di mana batu bara tidak disebutkan secara eksplisit dalam daftar barang atau jasa tidak kena pajak.

Ketika persoalan itu diajukan ke Mahkamah Agung untuk menguji materiil PP Nomor 144 Tahun 2000, sebenarnya pendapat hukum (legal opinion) dari Mahkamah Agung menyatakan PP tersebut bertentangan dengan peraturan di atasnya (UU). Tetapi, karena tidak memenuhi jangka waktu pengajuan gugatan, maka MA tidak bisa mengeluarkan putusan.

Di pihak lain, pemerintah cq Ditjen Pajak menanggapi dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.51?2004 tanggal 30 Juni 2004 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Batu Bara di mana kantor pajak agar tetap menolak permohonan restitusi wajib pajak PKP2B sehubungan dengan adanya pendapat dari MA tersebut.

Sebenarnya, tidak banyak wajib pajak PKP2B yang terkena dampak atas pemberlakuan PP No 144/2000 itu. Setidaknya, ada dua perusahaan tambang raksasa di Indonesia yang merasa dirugikan karena pengajuan restitusi mereka ditahan sehubungan dengan terbitnya PP tersebut. Tetapi karena produksi batu bara dua kontraktor itu sangat signifikan, tentu nilai royalti dan dana bagi hasil pertambangan antara kontraktor dan pemerintah juga sangat besar. Kalau ini ditahan oleh kontraktor, tentu pendapatan pemerintah akan juga terganggu. Padahal, saat ini andalan utama adalah sektor pertambangan batu bara yang lagi booming.

Pajak Batu Bara

Ada beberapa jenis pajak yang disumbangkan oleh wajib pajak PKP2B itu. Yang pertama adalah Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) yang dikenal dengan istilah PPh Pasal 25/29. PPh ini sangat terkait dengan kondisi keuangan perusahaan, di mana semakin untung perusahaan, maka PPh-nya akan semakin besar. Saat ini, harga produk batu bara dunia semakin tinggi, alhasil keuntungan akibat naiknya harga batu bara tersebut semakin tinggi, dan tentunya akan mengakibatkan PPh Badannya semakin besar. Karena pajak ini menganut sistem angsuran (lumpsum), maka otomatis angsuran (PPh Pasal 25)-nya akan semakin besar.

Jenis pajak lainnya yang berpengaruh adalah pajak pemotongan dan pemungutan (witholding tax). Pajak atas penghasilan karyawan (PPh Pasal 21) akan semakin besar seiring dengan banyaknya tambahan tenaga kerja akibat perusahaan yang terus berkembang demi mengejar produksinya. Sudah mafhum bahwa gaji di kontraktor PKP2B sangat menggiurkan dan tentunya di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang hanya Rp 13.200.000,- setahun!

Dalam suatu wajib pajak PKP2B, banyak sekali perusahaan subkontraktor yang terlihat. Dimulai dari sub pekerjaan tertentu (misalnya pemurnian, angkutan, dll) sampai yang paling kecil, yaitu penyediaan katering bagi karyawannya. Semakin beraktivitas suatu PKP2B tersebut -akibat mengejar produksi- maka jasa outsorcing akan semakin banyak.

Nah, di sinilah titik kritis pengenaan pajaknya. Wajib pajak PKP2B selaku pengguna jasa wajib melakukan pemotongan atas jasa yang dilakukan pihak penyedia jasa.

Pencapaian penerimaan pajak yang cukup menggembirakan saat ini sebenarnya ditopang oleh sektor-sektor yang produknya mengalami kenaikan harga jual luar biasa. Selain kelapa sawit, sektor pertambangan batu bara juga memberikan kontribusi penerimaan pajak sangat signifikan. Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengungkapkan data rencana hasil optimalisasi penerimaan pajak terhadap sektor berbasis sumber daya alam (SDA) - termasuk batu bara- akan menghasilkan penerimaan pajak Rp 6,5 triliun pada APBNP Tahun 2008 (www.economy.okezone.com, 20 Februari 2008). Artinya, Ditjen Pajak akan tetap menjaga agar sektor batu bara tidak terganggu dari hal-hal yang bisa menyebabkan potensi pajak hilang.

Win-Win Solution

Pemerintah dan DPR saat ini sedang membahas RUU PPN. Oleh karena itu, saat ini (juga) adalah waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah restitusi PPN batu bara. Sebab, persoalan yang mendasar dari polemik pajak batu bara itu terletak pada peraturan yang melandasinya. Ketika peraturan yang merangkul semua pihak terakomodasi, tentu persoalaan akan menjadi selesai.

Karena berbasis SDA dan merupakan energi alternatif, maka saya yakin batu bara masih terus menjadi primadona di masa depan. Di tengah belum stabilnya indikator perekonomian Indonesia dan banyaknya kebijakan pajak yang mengakibatkan potential loss, tingginya harga batu bara dunia yang (tentunya) berakibat tingginya pajak yang disetor ke negara, setidaknya, dapat menutupi kekurangan tersebut. Harapannya, semoga pihak-pihak terkait dapat menyelesaikan itu segera karena saat ini adalah waktu yang tepat!

Chandra Budi , staf pada Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan, di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 14 Agustus 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan