Polemik Insentif Dewan
Dewan Perwakilan Rakyat kembali disorot karena adanya insentif pembahasan undang-undang yang berjumlah total Rp 39 juta per anggota untuk 39 undang-undang yang telah disahkan, dengan perincian Rp 1 juta per undang-undang.
Insentif adalah kebijakan yang baru berlaku tahun ini. Apa pun sikap fraksi, pasti direaksi dengan beragam opini publik. Tapi ketegasan mutlak diperlukan. Meskipun ada yang mengembalikan, sebagian publik mungkin tergelitik, apakah murni kesadaran, karena modusnya, kok, selalu sama, setuju dulu menolak kemudian. Atau mereka justru merupakan korban kesemrawutan mekanisme pengambilan keputusan yang distortif di DPR. Demikian pula fraksi-fraksi yang tidak mengembalikan, meskipun ini sah-sah saja, jelas ia bukan sebuah lajur yang populer.
Di tengah ragam pilihan ini, Fraksi Kebangkitan Bangsa, misalnya, memutuskan menyalurkan dana tersebut kepada korban banjir, yang dikoordinasi melalui Dewan Pimpinan Pusat. Sebagai anggota fraksi, posisi penulis tentu tunduk pada keputusan fraksi. Meskipun disadari, dengan pilihan ini, tetap ada pertanyaan sebagian kalangan, bagaimana pengawasan publik terhadap dana yang dialihkan untuk kepentingan masyarakat tersebut. Apa pun sikap fraksi saat ini, pasti menuai pro dan kontra.
Sebagai informasi, uang insentif pembahasan undang-undang yang berjumlah Rp 1 juta per anggota untuk tiap pengesahan undang-undang ini merupakan tuntutan sejumlah anggota, dengan alasan pemerataan hak, karena para pemimpin DPR sendiri mendapatkan insentif Rp 5-6 juta per pengesahan undang-undang. Jauhnya perbandingan ini pun sempat dipolemikkan oleh sebagian anggota. Entah bagaimana, ini kemudian disepakati. Mungkin pertimbangannya adalah persoalan tanggung jawab yang berbeda antara anggota dan pemimpin. Tapi bisa dibayangkan betapa besar anggaran yang diperlukan jika anggota mendapatkan angka yang sama atau relatif mendekati pemimpin.
Apa yang harus dipersoalkan atas kebijakan ini ke depan? Mengutak-atik angka-angka insentif agar lebih berkeadilan, merumuskan kepada siapa peruntukannya, atau ada hal yang lebih mendasar, yaitu menggali lebih dalam, kenapa kebijakan ini harus ada? Saya kira hal terakhir adalah pilihan terbaik. Sebenarnya sebagian anggota masih mempertanyakan bagaimana mekanisme munculnya kebijakan ini, karena sebagian mereka justru baru tahu setelah kebijakan tersebut tersiar lewat surat pemberitahuan dari fraksi. Demikian pula soal rasionalitas alasan keputusan tersebut, bukankah mengesahkan undang-undang adalah tugas DPR? Insentif sendiri belum jelas untuk mendorong apa. Demikian pula dasar pemberiannya, apakah atas kehadiran anggota secara fisik dalam proses legislasi atau sekadar tanda tangan, ataukah insentif sebagai sesuatu yang otomatis diberikan dalam kapasitas sebagai anggota, terlepas hadir atau tidak, tanda tangan atau tidak dalam proses-proses legislasi sebelumnya.
Selain soal kepatutan dan rasionalitas alasan yang belum jelas, secara jujur DPR harus berintrospeksi atas kemunculan uang insentif pembahasan undang-undang ini, karena kualitas dan kuantitas legislasi yang dihasilkan sejauh ini belum maksimal. Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR mendata, dari 284 rancangan undang-undang yang merupakan target program legislasi nasional 2004-2009, hanya 14,78 persen atau 42 RUU yang terkait dengan kesejahteraan rakyat. Sebanyak 27,46 persen atau 78 RUU terkait dengan perekonomian; 55,98 persen atau 159 RUU terkait dengan bidang politik, hukum, dan keamanan; serta 1,76 persen atau 5 RUU merupakan RUU di luar ketiga bidang tersebut, seperti RUU tentang Bendera, RUU tentang Lambang Negara, dan RUU tentang Lagu Kebangsaan. Belum lagi jika dikaitkan dengan target kuantitas, tentu masih jauh dari harapan. Pada 2005 jumlah RUU yang dapat diselesaikan sebanyak 14 RUU, 2006 sebanyak 34 RUU, dan 2007 sebanyak 39 RUU. Bandingkan dengan parlemen Australia, misalnya, yang pada 2006 berhasil mengesahkan sekitar 300 RUU.
Beberapa penyebabnya adalah minimnya partisipasi publik dalam penyusunan program legislasi nasional, yang salah satunya karena keterbatasan Sekretariat Jenderal DPR dalam mengelola jadwal-jadwal konsultasi publik. Selain itu, disebabkan oleh kurangnya anggota staf fungsional. Dari 1.362 pegawai negeri sipil di Sekretariat Jenderal DPR RI, hanya 360 orang yang merupakan anggota staf fungsional (didukung 12 tenaga ahli). Selebihnya, 1.002 orang, adalah anggota staf administratif. Sebuah komposisi yang sangat timpang, bukan hanya bagi proses legislasi, melainkan juga bagi peningkatan kualitas DPR secara umum dan berbagai persoalan lain. Untuk itu, tim kinerja DPR telah memberikan sejumlah rekomendasi yang relevan dengan analisis beragam persoalan tersebut, antara lain pengangkatan staf ahli untuk tiap anggota. Namun, tidak satu pun yang mengungkapkan secara eksplisit ataupun implisit perlunya insentif.
Dari kasus ini dan sejumlah kasus sebelumnya, DPR perlu mengevaluasi mekanisme pengambilan keputusan di alat-alat kelengkapan/badan, membuat kriteria masalah yang merupakan wewenang badan/alat kelengkapan dengan fraksi turut mengawasi kinerja dan kredibilitas wakil-wakilnya di alat kelengkapan tersebut, serta berperan aktif dalam pensosialisasian berbagai keputusan tersebut. Tidak seperti sekarang, DPR terpojokkan karena keputusan sejumlah anggota yang duduk di badan tertentu. Keputusan-keputusan strategis wakil fraksi di alat kelengkapan DPR semestinya mencerminkan sikap fraksi sebagai perpanjangan tangan partai yang diketahui semua anggota, bukan kehendak pribadi. Dengan demikian, tidak ada fraksi yang kemudian bersikap anti terhadap keputusan yang dibuat anggotanya sendiri.
Yang juga penting adalah menciptakan transparansi secara aktif terhadap rancangan program, baik terhadap anggota DPR maupun lembaga. Selama ini pengawasan publik terhadap DPR sangat dibantu oleh kebebasan pers yang terus memberitakan program-program DPR, meskipun kadang mengecewakan publik, karena adanya sejumlah keputusan yang tiba-tiba telah disahkan, sedangkan prosesnya tidak terpublikasi. Tapi, jangankan masyarakat, anggota saja kadang tidak mengetahuinya. Seperti disebutkan di atas, ada problem mekanisme yang harus diperjelas. Rencana penyediaan laptop yang dibatalkan atau pembagian mesin faksimile per anggota DPR merupakan proyek-proyek yang tak berdasarkan keinginan bersama anggota DPR.
Bagi penulis, ini tentu menjadi bahan evaluasi diri, yang juga perlu disampaikan kepada publik agar kita bisa memandang persoalan DPR secara komprehensif. Benang kusut etika yang menjerat anggota DPR bukan dominasi ketunaan nurani. Tapi juga bagian dari warisan kealpaan kolektif untuk mendesain sistem parlemen yang terbuka, aspiratif, dan bertanggung jawab. Berbagai rekomendasi perbaikan yang telah disampaikan memerlukan ketegasan pemimpin DPR dan fraksi-fraksi. Ambisi mulia untuk mereformasi lembaga ini harus diprosedurkan, tak bisa hanya bersandar pada moralitas individu yang kadang mengalami kerentanan loyalitas di tengah limpahan kesantunan uang rakyat. Tanpa membenahi kekacauan sistem, DPR akan selalu terdokumentasi dalam lembaran keironisan. DPR harus berbenah, mengakhiri laku jamak yang gemar menabung kesalahan untuk ditinggal pergi. Untuk semua proses ini, partisipasi rakyat harus dimaksimalkan. Betapa suramnya wajah demokrasi jika elite hanya pandai mendewakan, tapi lalai mendewasakannya.
Mufid A. Busyairi, ANGGOTA TIM KINERJA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI DARI FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 23 Januari 2008