Polemik Anggaran Pendidikan

Persentase anggaran untuk sektor pendidikan pada 2008 mengalami penurunan. Sebelumnya, dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 16 Agustus 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa pemerintah akan mengalokasikan 12,03 persen. Tapi, dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang akan disahkan 8 Oktober hari ini, jumlahnya berkurang menjadi 12 persen atau turun 0,3 persen.

Sikap pemerintah membuat kecewa sejumlah kalangan. Kaukus anggota DPR untuk anggaran 20 persen langsung bereaksi dan menyatakan akan menolak RAPBN 2008 karena melanggar konstitusi. Adapun Persatuan Guru Republik Indonesia bersama Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia berencana mengadukan kembali pemerintah kepada Mahkamah Konstitusi (Koran Tempo, 6 Oktober).

Upaya tarik-ulur pemerintah berkaitan dengan pemenuhan anggaran pendidikan yang kemudian memicu polemik telah terjadi sejak angka minimal 20 persen ditetapkan dalam amendemen keempat Undang-Undang Dasar 1945. Berbagai argumentasi digunakan, dari tidak adanya anggaran, akan merugikan sektor lain, hingga penyelenggara pendidikan belum siap mengelola uang yang banyak.

Tidak hanya itu, pemerintah pun berhasil menyusupkan ketentuan mengenai pemenuhan anggaran 20 persen yang dapat dilakukan secara bertahap dalam bagian penjelasan Undang-Undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Bahkan, bersama DPR melakukan kompromi dan membuat kesepakatan bahwa anggaran 20 persen tidak dapat direalisasi sekaligus. Upaya untuk mencapainya akan dilakukan dengan cara menaikkan persentase secara bertahap hingga 2009.

Skenario mereka buat dengan menetapkan persentase minimal anggaran yang mesti dipenuhi pemerintah setiap tahun. Dimulai pada 2004 dengan persentase 6,6 persen, ditingkatkan menjadi 9,3 persen pada 2005, bertambah menjadi 12 persen pada 2006, meningkat hingga 14,7 persen pada 2007, 17,4 persen pada 2008, serta mencapai 21,1 persen pada 2009.

Tapi, dalam prakteknya, walau telah dibuat lebih longgar, pemerintah rupanya masih juga berkelit. Angka yang sudah diskenariokan dengan DPR tidak direalisasi. Memang, setiap tahun anggaran pendidikan terus bertambah. Bahkan dibanding sektor lain, seperti pertahanan dan keamanan, jumlahnya jauh lebih besar. Namun, dari sisi persentase, angkanya lebih kecil daripada kesepakatan. Sebagai contoh rencana anggaran 2008, persentase yang harus dicapai 17,4 persen, tapi pemerintah mengumumkan baru bisa menyediakan 12 persen.

Mendekati tenggang waktu yang telah dijanjikan, yaitu 2009, pemerintah justru meminta aturan yang diubah. Melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla, pemerintah menyatakan sulit memenuhi anggaran pendidikan 20 persen tanpa memasukkan unsur gaji guru. Wakil Presiden meminta dipertimbangkan kembali rumus anggaran pendidikan yang tidak memasukkan komponen gaji dan pendidikan kedinasan. Sebab, menurut dia, akan mempengaruhi keseimbangan dalam penyelenggaraan pendidikan (Tempo Interaktif, 20 Agustus).

Padahal, dalam UU Sistem Pendidikan Nasional sudah jelas bahwa anggaran 20 persen di luar gaji guru dan pendidikan kedinasan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 49 ayat 1 bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Atas usul Wakil Presiden tersebut, polemik mengenai anggaran pendidikan mengalami kemunduran. Dari perdebatan mengenai jumlah yang mesti disediakan, turun menjadi penentuan definisi anggaran pendidikan. Apalagi, karena definisi yang tidak sama, pemerintah dan DPR selalu berbeda persepsi mengenai anggaran yang telah dialokasikan setiap tahun.

Pada akhirnya pemerintah dan DPR kembali berkompromi dan merumuskan definisi anggaran pendidikan. Hasil yang telah ditetapkan oleh panitia kerja anggaran Komisi X DPR menyatakan bahwa anggaran pendidikan merupakan anggaran fungsi pendidikan di luar anggaran untuk gaji pendidik dan pendidikan kedinasan yang persentasenya dihitung berdasarkan anggaran belanja pusat (Irwan Prayitno, 2007).

Belum ada jaminan, setelah rumusan disepakati, anggaran pendidikan meningkat sesuai dengan amanat UUD 1945. Sebab, pemerintah masih berkukuh bahwa alokasi yang besar di sektor pendidikan akan mengorbankan sektor lain yang juga penting, seperti kesehatan atau infrastruktur. Apalagi Indonesia juga mesti membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri yang porsinya mencapai 25 persen dari total anggaran.

Tentunya perlu ada tekanan kuat untuk memaksa agar pemerintah memiliki komitmen dalam menjalankan kewajibannya. Tapi berkepanjangannya polemik mengenai pemenuhan anggaran juga patut disayangkan. Sebab, tersedia alokasi yang besar memang merupakan jawaban atas masalah pendidikan. Tapi, masalahnya, dalam bentuk apa jawaban tersebut dibuat. Selain itu, sampai hari ini belum dirumuskan seperti apa masalah yang akan dijawab.

Tidak jelas program yang akan dibuat oleh penyelenggara pendidikan, mulai Departemen Pendidikan Nasional, dinas, perguruan tinggi, sekolah, hingga lembaga pendidikan informal dan nonformal, dalam rangka menggunakan anggaran 20 persen, termasuk cara membagi alokasi anggaran antarlembaga tersebut, mendistribusikan, dan menggunakannya.

Karena itu, perlu upaya yang jelas untuk mensinkronkan program dan anggaran antarlembaga tersebut. Jika tidak, akan terjadi mis-alokasi atau program salah sasaran. Sebagai contoh, dalam anggaran pendidikan 2007. Hasil kajian Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran dan Indonesia Corruption Watch memperlihatkan porsi untuk birokrasi di Departemen Pendidikan Nasional mengalahkan alokasi untuk program bantuan operasional sekolah.

Kondisi tersebut belum memperhitungkan faktor korupsi. Sebab, dengan pengelolaan pendidikan yang sangat tertutup dan timpang seperti sekarang, kenaikan anggaran akan diikuti oleh kenaikan penyimpangan. Bukan tidak mungkin sisa anggaran yang diperuntukkan bagi upaya mendukung program pendidikan akan hilang karena korupsi. Apabila seperti itu, anggaran 20 persen tidak akan memiliki makna apa pun.

Penyediaan anggaran 20 persen dari total APBN untuk sektor pendidikan bukan tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan. Tidak mungkin semua masalah pendidikan akan terjawab ketika alokasi anggaran terpenuhi tanpa diawali dengan memaksa para penyelenggara pendidikan merumuskan masalah, membuat program, dan memastikan adanya transparansi serta akuntabilitas dalam distribusi dan pengelolaan anggaran.

Ade Irawan, Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch, Sekretaris Koalisi Pendidikan

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 8 Oktober 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan