Pola Korupsi dalam Birokrasi
Pola kerja penyebaran perilaku korupsi di negara mana pun, termasuk di negeri ini, secara teoretis tidak lepas dari masalah birokrasi. Tidak ada korupsi yang tidak melibatkan birokrasi.
Karena itu, sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, saya berkepentingan untuk menjelaskan kepada publik pola-pola perilaku korupsi yang telah menggurita dalam jejaring birokrasi di negeri ini. Persoalannya sangat fundamental. Jika pola perilaku korupsi dalam birokrasi sebagai sarang utama tidak segera dibongkar, dapat dipastikan upaya pemberantasan perilaku korupsi itu hanya akan berjalan di tempat. Titik fokus yang mesti dilakukan kini bukan lagi semata bagaimana kita mengadili para pelaku korupsi, tapi bagaimana melakukan upaya pencegahan dengan memutus mata rantai penyebarannya, yaitu membongkar jejaring dalam birokrasi.
Semua pihak mesti bisa diajak kerja sama untuk membongkar jejaring perilaku korupsi dalam birokrasi sebagai tumpuan utama roda pemerintah. Pihak-pihak yang memiliki kompetensi besar untuk membongkar jejaring ini adalah para menteri dalam setiap departemen, kepala direktorat jenderal, kepala subdirektorat jenderal, dan lain-lain, termasuk media massa dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka diharapkan dapat melakukan pengawasan dan penelitian mengenai pola-pola perilaku korupsi dalam birokrasi itu. Berikut ini akan saya jelaskan pola-pola korupsi yang selama ini terjadi dalam birokrasi di negeri ini.
Pertama, perilaku korupsi dalam birokrasi itu secara umum berawal dari tidak profesionalnya para pelaku birokrasi dalam menyusun anggaran pendapatan dan belanja negara. Setelah saya lakukan satu analisis, ternyata proses penyusunan APBN dari berbagai departemen hanyalah copy-paste dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terbukti dengan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara draf dari tahun ke tahun yang mereka ajukan ke DPR. Para pelaku birokrasi dalam menyusun draf APBN itu tidak memiliki standar analisis yang reasonable dan terukur. Mestinya suatu departemen terlebih dulu melakukan penelitian (analisis detail) terhadap kebutuhan masyarakat terkait dengan misi departemen yang dipimpinnya, sehingga dana APBN tersebut dapat terserap pada sektor yang memiliki dimensi pemberdayaan masyarakat.
Selama ini terlihat tidak ada satu departemen pun yang menyusun anggaran dengan mempertimbangkan pemberdayaan masyarakat. Dana APBN hanya dipergunakan untuk kebutuhan belanja instan departemen yang bersangkutan, seperti yang biasa disebut belanja rutin. Di sinilah duduk persoalannya yang sangat krusial. Belanja rutin pun tidak dikelola secara transparan, terbukti dengan masih banyaknya kebocoran anggaran, seperti yang selama ini dilansir Badan Pemeriksa Keuangan.
Ada informasi menarik berkenaan dengan dana belanja rutin ini. Menurut satu informasi--meskipun masih perlu diteliti secara lebih detail akurasinya--belanja rutin ini tak lepas dari jarahan tangan koruptor. Tentu saja pelakunya para birokrat itu sendiri. Pola mereka melakukan korupsi dalam belanja rutin ini adalah dengan cara me-mark up harga-harga barang ataupun jasa yang mereka gunakan. Dalam konteks inilah kolaborasi perilaku korupsi terjadi antara kaum birokrat dan pengusaha swasta.
Kedua, pola perilaku korupsi di departemen ini acap kali mereka lakukan dengan cara tidak menenderkan suatu proyek yang semestinya harus ditenderkan sesuai dengan undang-undang. Ada kasus menarik dan aktual yang saya peroleh dari satu laporan masyarakat berkenaan dengan kasus ini, yaitu proyek Revitalisasi Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Rangka Kesatuan Bangsa dan Sosialisasi Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Rangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa, yang ditangani oleh salah satu departemen di negeri ini.
Menurut informasi yang saya terima, nilai proyek ini mencapai Rp 300 juta dan dilakukan tanpa melalui proses tender. Padahal, menurut undang-undang, nilai proyek Rp 50 juta ke atas sudah harus diproses melalui tender. Tapi mengapa hal ini bisa terjadi? Hemat saya, inilah jejaring busuk birokrasi kita selama ini. Pola kerjanya dengan cara mereka langsung menawarkan secara lisan kepada rekan-rekan dekatnya bahwa ia (seorang kepala subdirektorat jenderal) memiliki proyek di departemen pada bidang yang ditangani, seperti yang telah saya sebutkan di atas. Ditawarkan tanpa tender, jelas ini adalah satu pelanggaran hukum dalam gerak langkah untuk melakukan korupsi.
Pola perilaku korupsi ini kejam. Mereka menawarkan proyek dalam harga sesuai dengan nilai pagu Rp 300 juta, tapi mereka sudah memotongnya sekitar 40 persen. Secara kasar saya diberi informasi bahwa nilai proyek Rp 300 juta itu hanya ditawarkan Rp 190 juta. Sementara itu, nilai proyek Rp 110 juta lainnya dibagi-bagi dengan sesama pejabat di departemen yang menangani proyek. Itu pun--masih menurut informasi yang saya terima-kepala subdirektorat jenderal itu masih turut menikmati sebagian uang dari nilai proyek Rp 190 juta yang ditawarkan kepada koleganya yang punya production house. Besarannya yang sudah pasti-- menurut informasi itu--adalah Rp 30 juta, yang rencananya akan digunakan untuk iklan penulisan artikel menyangkut tema tersebut di media massa.
Hal yang sangat menarik untuk dicermati di sini, mengapa perilaku korupsi seperti ini bisa terjadi--justru di era reformasi ketika kebijakan-kebijakan birokrasi tengah diperbaiki. Belum lagi kalau kita mengkaji materi proyek itu secara substansial. Pertanyaannya, apakah proyek itu memiliki signifikansi fungsi strategis bagi upaya pemberdayaan masyarakat, yang hingga kini masih dalam belenggu kemiskinan dalam berbagai aspek. Jika tidak, mengapa proyek seperti itu bisa dimasukkan dalam draf anggaran belanja departemen. Memang, harus diakui kesalahan ini menyangkut banyak pihak, termasuk DPR yang mengesahkan APBN, dengan anggaran departemen itu termasuk di dalamnya.
Namun, hemat saya, mestinya para pejabat terkait di berbagai departemen bisa memilah mana proyek yang layak dikerjakan dan mana yang tidak layak dikerjakan karena proyek itu tidak memiliki signifikansi fungsi strategis bagi upaya memberdayakan kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tapi memang, haruslah diakui bahwa fenomena ini merupakan bagian dari sisi kelam pelayanan publik (social service) di negeri ini.
Ketiga, yang sangat sadis pola perilaku korupsi dalam jejaring birokrasi sebenarnya adalah korupsi yang dilakukan secara konspiratif, yang melibatkan berbagai pihak dalam poros-poros pengambilan kebijakan publik dan politik (stakeholder). Menurut catatan Mahmudi Hairuddin (2005), proyek-proyek negara yang terserap selama ini hanyalah berkisar 60 persen dari total anggaran yang tersedia. Disinyalir 5 persen dari anggaran tersebut diambil pihak departemen yang menangani proyek itu, 5 persen disetor untuk menurunkan dananya ke pihak departemen terkait, 5 persen untuk pihak terkait yang turut melegitimasi keputusan adanya suatu proyek, 5 persen untuk tim audit laporan keuangan, 5 persen untuk pihak terkait dalam pemerintah di tingkat provinsi, 5 persen untuk pihak terkait di tingkat kabupaten, dan sisanya (10 persen) untuk mereka yang mengerjakan proyek itu.
Jika betul informasi ini, sungguh ironis dan pantas saja negeri ini terus terpuruk dalam berbagai aspek dan dimensinya.
Mohammad Yasin Kara, ANGGOTA DPR DARI FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 2 Agustus 2006