PKS: Bisnis Keluarga Pejabat Rawan Kolusi

Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring khawatir, izin dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bagi keluarga pejabat untuk berbisnis akan menyuburkan budaya kolusi. Saya tidak setuju dengan pernyataan itu, kata Tifatul kemarin di Jakarta.

Menurut Tifatul, keluarga pejabat pasti memiliki keistimewaan saat berbisnis. Alasannya, bawahan-bawahan sang pejabat akan merasa takut kepada atasannya. Kendati begitu, ia mengakui, keluarga pejabat yang sebelumnya telah berbisnis memang tidak seharusnya dilarang.

Ia menyarankan, bisnis keluarga pejabat seharusnya tidak terkait dengan posisi pejabat yang bersangkutan atau terkait dengan proyek pemerintah. Akan tidak etis, kata dia, apabila seorang keluarga pejabat di Departemen Perhubungan ikut dalam tender proyek di instansi itu. Kalau keluarga Menteri Perhubungan berdagang, kan tidak apa-apa, katanya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas juga mengakui, semua orang boleh berusaha. Namun, ia meminta, kedudukan seseorang dalam pemerintahan tidak seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis milik keluarganya. Apalagi ada konflik kepentingan atau hak istimewa untuk usaha milik keluarganya, katanya.

Ia mengingatkan kasus pembelian tank Scorpion pada 1995 dan 1996, yang menurut dia, nggak bener. Pembelian tank dari Inggris untuk TNI Angkatan Darat itu melibatkan perusahaan milik mantan Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, yang ternyata diduga diwarnai pemberian uang komisi hingga miliaran rupiah.

Kami melihatnya ada konflik kepentingan atau tidak, pejabat itu memberi hak istimewa atau tidak. Kalau memang persaingannya sehat dan transparan, ya tidak apa-apa, ia menegaskan.

Semua itu, kata Erry, berpulang kembali pada kode etik dan perilaku pejabat yang bersangkutan untuk bisa memilah bisnis yang bermuatan konflik kepentingan dan yang tidak. Jadi yang penting itu aturan dan etika, baik untuk pejabatnya atau untuk pengusahanya, tuturnya.

Saat bertemu dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dikutip menyatakan mengizinkan keluarga pejabat untuk berbisnis. Namun, Presiden memberi syarat, bisnis harus dilakukan secara adil, transparan, dan mengikuti iklim persaingan usaha yang sehat (Koran Tempo, 21/12).

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memang berlatar belakang pengusaha tentu saja tidak mempermasalahkan keluarganya untuk melakukan aktivitas bisnis. Menurut dia, bisnis adalah pekerjaan yang halal dan terhormat. Apanya yang salah? ia balik bertanya.

Jusuf menyatakan, hampir semua keluarga dan saudaranya hidup dari aktivitas bisnis. Untuk hidup, kata dia, tidak mungkin melarang keluarganya untuk tidak berbisnis. Jadi, menurut dia, tidak jadi masalah bagi keluarga pejabat untuk berbisnis asal tidak menggunakan fasilitas ataupun kekuasaan sang pejabat.

Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud juga mendukung izin Presiden kepada keluarga pejabat untuk berbisnis. Namun, pemimpin Grup Bosowa itu mengatakan, setiap keluarga pejabat yang berbisnis tetap harus diperlakukan sama dan tidak boleh diistimewakan. Saya minta diperlakukan normal saja, katanya.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi meminta masyarakat melihat keluarga pejabat yang berbisnis dengan berbaik sangka. Ia berpendapat, banyak lembaga pemantau yang bisa mencegah mereka melakukan kolusi. Ia pun menegaskan, korupsi ada sejak zaman Soekarno hingga Yudhoyono. Segalanya harus memperhatikan aturan main, tuturnya.

Kabinet Indonesia Bersatu memang diisi sejumlah menteri dari kalangan pengusaha atau pebisnis. Di sana ada Aburizal Bakrie, Sugiharto, Fahmi Idris, dan Jero Wacik. Anindya N. Bakrie, putra Aburizal, yang kini menjadi bos ANTV dan PT Bakrie Telecom menolak berkomentar tentang pernyataan Presiden. Saya no comment kalau untuk itu, katanya.

Juru bicara kelompok Bakrie, Lalu Mara, menyatakan, Bakrie sebagai entitas bisnis sudah berdiri sejak 1942. Karenanya, kata Lalu, tidak begitu saja grupnya akan memanfaatkan atau diuntungkan oleh posisi Aburizal saat ini. purwanto/sutarto/flamboyan/yura syahrul

Sumber: Koran Tempo, 22 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan