Pintu Baru Pengusutan Harta Soeharto
Proyek Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang diluncurkan oleh PBB dan merupakan proyek kerja sama antara United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan Bank Dunia, merupakan langkah tepat secara internasional untuk mengembalikan aset hasil kejahatan ke negara yang berhak. Dan sekaligus menegaskan kembali bahwa tidak satu negara pun yang dapat dijadikan safe haven (surga aman) dalam penempatan aset hasil kejahatan. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa aliran dana hasil kejahatan lintas negara per tahun diperkirakan sebesar US$ 1 triliun sampai US$ 1,6 triliun (satu triliun enam miliar).
Sudah tentu program StAR ini sangat membantu, terutama bagi negara berkembang, karena harta curian itu akan sangat membantu peningkatan kesejahteraan bangsa dari negara yang bersangkutan. Di dalam daftar pemimpin negara terkorup, tercantum nama mantan presiden Soeharto dengan nilai tertinggi di antara 10 pemimpin negara yang lain. Sudah tentu niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menemui Presiden Bank Dunia dalam kaitan ini patut diapresiasi dengan harapan bahwa pengembalian aset Soeharto di negara lain dapat segera diwujudkan.
Program tersebut memperkuat implementasi Konvensi Antikorupsi PBB 2003 (KAK PBB) yang juga telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 karena konvensi inilah satu-satunya yang memuat ketentuan yang bersifat komprehensif tentang pengembalian aset (asset recovery). Terlepas dari harapan besar akan inisiatif dan keberhasilan pemerintah Indonesia dalam proyek tersebut, perlu ditegaskan di sini bahwa proyek tersebut masih jauh dari harapan akan keberhasilannya. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan.
Pertimbangan pertama, sampai saat ini belum semua negara meratifikasi KAK PBB 2003. Bahkan, dari negara peratifikasi, sangat sedikit yang telah selesai melakukan harmonisasi ke dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya. Sedangkan KAK PBB 2003 merupakan satu-satunya payung hukum internasional dalam pengembalian aset khusus hasil korupsi.
Pertimbangan kedua, efektivitas perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual assistance in criminal matters) sebagai sarana hukum dalam proses pengembalian aset tersebut sampai saat ini masih diragukan keberhasilannya; bahkan memerlukan waktu yang cukup lama serta biaya yang tidak sedikit. Sebagai contoh, pengembalian aset Marcos (mantan Presiden Filipina) dan Sani Abacha (mantan Presiden Nigeria) baru berhasil lebih dari 5 (lima) tahun.
Pertimbangan ketiga, dalam setiap perjanjian internasional, prinsip state-sovereignty masih sangat dominan dan tetap merupakan hambatan politik yang serius untuk melaksanakan kerja sama internasional yang efektif terutama berkaitan dengan sistem hukum nasional yang berbeda-beda. Kebanyakan negara cenderung lebih suka bekerja sama melalui perjanjian bilateral dan model dialog, sebagaimana yang selalu ditekankan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan berbagai kasus hubungan internasional, dibandingkan dengan perjanjian multilateral.
Pertimbangan keempat, sampai saat ini pedoman teknik implementasi KAK PBB 2003 (A Technical Guidelines for the Implementation of UNCAC) belum selesai disusun, dan baru merupakan draf awal, tapi belum termasuk ketentuan mengenai asset recovery (Bab V). Sedangkan pedoman tersebut sangat diperlukan dan amat berguna dan merupakan standar universal dalam prosedur pengembalian aset hasil korupsi.
Dalam konteks Indonesia, proyek StAR ini mempertebal semangat pemerintah dan rakyat Indonesia untuk segera memperoleh kembali aset negara yang diduga kuat ditempatkan di negara lain, termasuk harta kekayaan mantan presiden Soeharto. Namun, masih terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam kebijakan pemerintah untuk memburu harta kekayaan Soeharto di negara lain. Ketika pemerintah Indonesia turut menandatangani perjanjian Mutual Assistance in Criminal Matters (MLA) dengan tujuh negara anggota ASEAN lainnya (Singapura, Filipina, Thailand, Burma, Laos, Kamboja, dan Malaysia) pada 29 November 2004, telah disetujui bahwa perjanjian tersebut tidak berlaku surut (non-retroactive) sehingga semua aset hasil kejahatan yang terjadi sebelum 2004, termasuk permohonan penyitaan yang telah diajukan sebelum berlakunya perjanjian ini, dengan sendirinya tidak dapat ditindaklanjuti (Pasal 22 ayat 3).
Konsekuensi logis perjanjian tersebut, seluruh aset hasil dugaan korupsi oleh mantan presiden Soeharto tidak akan dapat diperoleh kembali dalam lingkup negara anggota ASEAN tersebut. Dampak kontraproduktif dari MLA ASEAN tersebut, ketika pemerintah Indonesia meminta bantuan penyitaan dan pengembalian aset hasil kejahatan termasuk korupsi kepada negara lain termasuk aset mantan presiden Soeharto, isu non-retroaktif akan mencuat kembali dan akan menghambat percepatan pengembalian aset dimaksud ke Indonesia. Terlebih akan sulit lagi jika tidak ada MLA antara pemerintah Indonesia dan negara yang bersangkutan, kecuali negara diminta (requested state) menyetujuinya secara resiprositas.
Hambatan berikutnya di dalam negeri. Masalah pengusutan kriminal dan gugatan keperdataan harta kekayaan mantan presiden Soeharto belum sampai pada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sedangkan mantan presiden itu telah lengser sembilan tahun yang lampau; sehingga, ketika pemerintah Indonesia berniat menuntut pengembalian harta kekayaan mantan presiden tersebut, masih akan dipersoalkan keseriusan pemerintah Indonesia dalam kaitan pengembalian harta kekayaan tersebut.
Hambatan lain adalah bahwa, dalam KAK PBB 2003, prinsip-prinsip due process of law dan independence of judiciary merupakan hal yang mutlak dan wajib diimplementasikan secara benar sehingga logis dan sewajarnya jika pembenahan proses peradilan di Indonesia segera diselesaikan terlebih dulu, terutama dalam proses penyidikan dan penuntutannya. Di balik hambatan-hambatan tersebut di atas, sudah tentu masih ada setitik cahaya harapan, yaitu masih adanya komitmen kuat dan langkah proaktif pemerintah Yudhoyono dalam melaksanakan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi, sekalipun masih tersendat-sendat.
Romli Atmasasmita, anggota ahli United Nations Office on Drugs and Crime untuk Konvensi Antikorupsi PBB 2003
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 22 September 2007