Pimpinan KPK Jangan Jadi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) yang mengarah pada penunjukan Pelaksana Tugas (Plt.) Pimpinan KPK telah ditanda-tangani Presiden ditengah deretan penolakan dan kecaman. Perpu ini diragukan dapat menjadi “obat” penyelamatan KPK. Yang terjadi justru, masyarakat khawatir, Presiden tergoda menjadi penguasa absolut yang tidak mempertimbangkan secara serius suara publik. Berikut press release ICW dan beberapa komponen masyarakat.

Press Release
Pimpinan KPK Jangan Jadi “Boneka” Kekuasaan Eksekutif

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) yang mengarah pada penunjukan Pelaksana Tugas (Plt.) Pimpinan KPK telah ditanda-tangani Presiden ditengah deretan penolakan dan kecaman. Perpu ini diragukan dapat menjadi “obat” penyelamatan KPK. Yang terjadi justru, masyarakat khawatir, Presiden tergoda menjadi penguasa absolut yang tidak mempertimbangkan secara serius suara publik.

Berdasarkan informasi yang diterima, Perpu akhirnya merevisi Pasal 33 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dan menambahkan dua poin. Pertama, pengertian kekosongan pimpinan KPK adalah jika berjumlah kurang dari tiga orang. Dan, Kedua, Dalam kondisi kekosongan seperti itu, Presiden mempunyai kewenangan menunjuk Plt. Pimpinan KPK.  Rencana awal, Keputusan Presiden (Kepres) sebagai turunan dari Perpu akan segera diterbitkan sebelum lawatan Presiden ke Amerika dalam acara KTT G-20. Akan tetapi, rencana tersebut berubah hingga akhirnya Presiden dikabarkan membentuk semacam Panitia Seleksi yang berjumlah lima orang (Tim 5).

Kami masih menolak Perpu revisi UU KPK tersebut karena materi dan substansinya sangat membahayakan independensi KPK. Akan tetapi, keadaan yang berkembang penting diawasi dan disikapi, khususnya tentang pembentukan “Tim 5”. Untuk menghindari akibat yang lebih buruk bagi pemberantasan korupsi dan KPK, maka proses seleksi tersebut harus dilakukan secara terbuka dan memberikan ruang bagi publik untuk memberikan masukan dan penolakan terhadap calon tertentu.

Satu hal prinsip yang perlu diingat semua pihak, bahwa meskipun Perpu telah diterbitkan, akan tetapi semua pasal lain dalam UU KPK masih berlaku dan wajib dipatuhi. Termasuk syarat pimpinan KPK, sifat kelembagaan KPK, sumpah jabatan, konsep zero tolerance terhadap korupsi dan anti-intervensi politik . Artinya, Tim 5 tidak boleh memilih orang-orang yang diperkirakan akan tunduk dan dapat dipengaruhi Presiden. Tim ini dan orang-orang yang dipilihnya seharusnya berkomitmen untuk tidak menjadi “boneka” kekuasaan eksekutif dan partai pendukungnya. Terdapat beberapa kriteria dan batasan-batasan yang terlarang bagi calon pimpinan KPK.

Pertama, jika pimpinan KPK berasal dari advokat, maka ia adalah advokat yang tidak pernah membela kasus korupsi. Khususnya, advokat yang tidak pernah beracara di Pengadilan Tipikor ataupun mendampingi tersangka dan terdakwa yang diproses KPK sebelumnya.

Kedua, KPK tidak boleh disusupi oleh pihak yang punya kepentingan politik atau terafiliasi dengan partai politik tertentu. Hal ini sangat penting, agar tidak terjadi ketimpangan dan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Kami masih melihat, Parlemen dan politisi yang menjadi pejabat negara sebagai prioritas yang harus dibersihkan dan diawasi oleh KPK. Karena hampir semua kebijakan publik ditentukan oleh kekuatan ini. Bahkan, akar korupsi sebenarnya bersumber dari persekongkolan kelompok bisnis dan mafia politik, terutama jika kelompok bisnis tersebut mendanai kegiatan partai politik.

Ketiga, pimpinan KPK bukan orang yang dikenal dekat dan punya hubungan khusus dengan Presiden. Hal ini sesuai dengan penolakan kami terhadap Perpu Plt. KPK yang dikhawatirkan menjadi alat bagi Presiden untuk mempengaruhi dan mengkontrol kerja KPK. Karena itu, Presiden melalui tim 5 harus membuktikan, itikad baik untuk menyelamatkan KPK yang seringkali diucapkan.

Keempat, tidak memasukan pejabat aktif di Kepolisian dan Kejaksaan dalam tubuh KPK. Dari awal sesungguhnya keberadaan unsur Polisi dan Jaksa di jajaran kepemimpinan KPK menjadikan lembaga ini sulit untuk bisa berbuat banyak membersihkan institusi tersebut. Jika UU KPK dicermati lebih dalam, sebenarnya latar belakang pembentukan KPK adalah karena belum efektifnya Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan korupsi. Apalagi saat ini, terdapat dugaan konflik kepentingan antara POLRI dengan KPK, terutama terkait kriminalisasi dua pimpinan KPK (CMH dan BSR) dan Skandal Bank Century yang sedang diperiksa terkait dengan petinggi POLRI dengan inisial SD.

Kelima, memenuhi syarat-syarat utama pimpinan KPK, yaitu:

  1. Mempunyai integritas tinggi dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Konsekuensi logis dari poin ini, rekam jejak, prestasi dan masa lalu calon pimpinan harus menjadi pertimbangan penting. Belajar dari kejadian di KPK saat ini, Tim 5 sepatutnya tidak kompromistis dengan segala kesalahan yang dilakukan oleh calon.
  2. Jujur dalam melaporkan harta kekayaan pribadi. Jika calon pernah menjadi pejabat negara, hal ini perlu di cek dari LHKPN terakhir.
  3. Mempunyai kekayaan yang wajar dan pantas saat dibandingkan dengan penghasilan resmi/sah. Calon yang tidak mampu menjelaskan kekayaannya pada publik, dan memiliki harta diluar penghasilan sah tentu tidak pantas berada di KPK. Karakter seperti ini justru berbahaya bagi pemberantasan korupsi, karena kita tidak ingin kasus-kasus di KPK dimanfaatkan untuk melipatgandakan kekayaan pimpinannya.

Setidaknya lima kriteria diatas menjadi persyaratan minimum (minimum requirement) yang perlu diperhatikan oleh Presiden, Panitia Seleksi dan masyarakat yang mengawasi proses ini. Akan tetapi, semua ketentuan UU KPK yang terkait dengan Pimpinan KPK dan pelaksanaan tugas tetap harus diperhatikan dan tidak boleh dilanggar. Karena kalaupun Perpu ini dipaksakan berlaku, ia tidak boleh mengakibatkan kekacauan hukum dan kerusakan yang lebih besar.

Sangat terkait dengan penyelamatan KPK, Kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK yang sesungguhnya merupakan bagian dari serangan terhadap Intervensi KPK tetap harus dikecam. Koalisi ini juga mendesak Presiden untuk memerintahkan Kapolri mengkaji ulang proses hukum yang meragukan tersebut. Kekuasaan Eksekutif hari ini tidak boleh mundur pada era ketika UU subversif diberlakukan, yakni saat proses hukum digunakan sebagai tameng dan legitimasi untuk membenarkan kriminalisasi dan upaya membuang orang-orang yang mengkritik penguasa.

Oleh karena itu, kami:

  1. Mengingatkan Tim 5 dan semua calon Pimpinan Plt. agar tidak menjadi “boneka” kekuasaan eksekutif yang dapat dikontrol dan diintervensi dalam pelaksanaan tugas.
  2. Mengingatkan semua pihak untuk ikut mengawasi kekuasaan yang sedang berjalan agar tidak mengkhianati amanat pemberantasan korupsi yang menjadi bagian dari pesan reformasi;
  3. Meminta Presiden dan POLRI menghentikan proses kriminalisasi dua pimpinan KPK jika dalam waktu dekat tidak ditemukan bukti yang kuat.
Jakarta, 23 September 2009


Indonesia Corruption Watch (ICW) – Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) –Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) – Lerry Sarah Mboeik – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih Periode 2009-2014

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan