Pilkadal Rawan Politik Uang
Di bawah Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah diselenggarakan secara langsung. Mulai Juni 2005 ada 226 daerah akan menyelenggarakan pemilihan kepada daerah secara langsung (Pilkadal).
Pemilih akan memilih pasangan calon kepala daerah dan wakilnya yang diusulkan partai atau gabungan partai politik sehingga akan mengurangi kewenangan DPRD, mengubah pola hubungan kepala daerah dengan DPRD dan pemilih.
Gagasan demokrasi langsung dalam memilih pemimpin politik dari sudut pandang antikorupsi sejatinya guna menghindari jual beli suara di parlemen, selain guna meningkatkan legitimasi dan akuntabilitas publik mereka. Sejak era reformasi hampir setiap pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Tanah Air senantiasa diwarnai dengan politik uang di DPRD.
Memang sistem baru ini tidak bisa menghapuskan praktik politik uang. Bahkan realitas pembelian suara dalam pemilihan langsung kepala desa, yang sudah lumrah di mana-mana, patut dikhawatirkan. Namun pembelian suara dalam skala pemilih yang luas dan jumlah besar akan lebih sulit dilaksanakan untuk menjamin loyalitas pemilih yang dibeli. Berbeda dengan politik uang di DPRD dengan jumlah orang yang kecil dan relatif homogen akan lebih aman, mudah, dan murah.
Beli kandidat
Bentuk politik uang tergantung dengan sistem pemilu yang diterapkan. Ada empat moda korupsi pemilu yang bertemali dengan politik uang, yaitu beli suara (vote buying), beli kandidat (candidacy buying), manipulasi pendanaan kampanye dan manipulasi administrasi dan perolehan suara (administrative electoral corruption).
Beli suara di parlemen merupakan fenomena baru pada era demokrasi multipartai. Walaupun sejak dulu jabatan-jabatan politik, birokrasi, atau badan usaha negara telah jadi komoditas. Kepala daerah pada era Orde Baru biasanya titipan dari atas. Dan pemilihan oleh DPRD, yang dikuasai Partai Golkar saat itu, lebih bersifat upacara peresmian.
Kini calon kepala daerah harus berjuang mencari dukungan dari partai dan merebut suara anggota DPRD. Ibarat sebuah tender terbuka, pembelian suara biasanya dimenangkan oleh the highest bidder. Karena itu banyak kasus calon yang didukung oleh fraksi kuat di DPRD acap harus gigit jari karena bisa dikalahkan oleh calon dari partai gurem.
Walaupun dalam dua tahun terakhir, misalnya, dalam pemilihan gubernur di Jawa Barat dan Bali tampak pola Orde Baru terulang lagi. Penyelimutan politik uang pun terjadi. Misalnya dalam kasus di Bali yang terbongkar karena testimoni dua anggota fraksi PDI-P dibantah oleh pemuka PDI-P bahwa pembagian uang kepada anggota fraksi PDI-P saat Pilkada itu bukan politik uang tetapi bantuan internal partai untuk anggota fraksinya.
Dari pengalaman pemilu legislatif yang lalu, sesungguhnya pembelian suara pemilih hampir tidak efektif, kecuali untuk menjamin loyalitas konstituen tradisional partai. Tetapi pembelian tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh di dalam realitas locked-in electorates (meminjam istilah James Scott) yakni pemilih yang sangat terikat dengan kondisi sosial-ekonomi dan dipengaruhi oleh community leader-nya, hal itu tidak bisa diabaikan.
Proses pencalonan Pilkadal lewat partai atau gabungan partai yang menguasai 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara, selain memupus calon independen, patut dikhawatirkan akan menyuburkan praktik candidacy buying. Bisa jadi partai menjual tiket ke Pilkadal tidak hanya kepada satu calon. Sebab, jual-beli kursi telah lazim dalam pemilihan calon anggota legislatif oleh partai. Hal ini berkaitan dengan sistem pencarian dana politik, dan masalah internal pemilu di dalam partai yang tidak demokratis.
Politik uang juga bisa memengaruhi fenomena phantom voters, pemilih yang berulang kali mencoblos, yang mungkin dimobilisasi dari kabupaten atau provinsi yang bertetangga. Apalagi soal independensi KPUD, yang sekarang sedang diajukan ke Mahkamah Agung oleh sejumlah LSM, menambah persoalan itu.
Investor politik
Menurut ketentuan, sumber pendanaan kampanye berasal dari pasangan calon, partai atau gabungan partai yg mengusulkan, serta perorangan maksimum Rp 50 juta dan perusahaan swasta Rp 350 juta. Tetapi yang wajib melaporkan rekening dana kampanye kepada KPUD dan diaudit oleh akuntan publik hanya pasangan calon, sementara partai politik tidak diwajibkan. Walau secara tahunan parpol punya kewajiban diaudit dananya.
Artinya, ada celah terbuka bagi penyelundupan dana kampanye liar, baik donasi yang melewati batas maksimum maupun donasi yang dilarang, yakni yang berasal dari donasi asing, tidak jelas identitas penyumbangnya, pemerintah, BUMN, dan BUMD. Apalagi sumbangan dari partai politik tidak dibatasi jumlahnya.
Pendek kata, abusive donation bakal sulit dijejaki di tengah sistem pencatatan transaksi keuangan dan perpajakan yang juga tidak mendukung. Para investor politik yang mencukongi calon kepala daerah akan semakin leluasa dan mengancam asas-asas kebijakan publik dan anggaran daerah.
Tidak ada pembatasan jumlah maksimum pengeluaran dana kampanye calon, dalam kerangka politik uang tadi akan memberi keuntungan sendiri bagi pasangan calon yang didukung sumber pendanaan yang kuat. Prinsip persaingan politik yang setara (political equality), yang penting dalam demokrasi, bisa-bisa terpinggirkan.
Memang pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang bisa dianulir dan calon penggantinya dipilih oleh DPRD selambat-lambatnya selama 60 hari. Tapi secara teknis aturan itu sulit dilakukan karena harus menunggu putusan pengadilan tetap, yang membutuhkan waktu yang relatif lama karena tidak melalui pengadilan khusus pemilu. Ambil contoh, KPU dan Panwaslu dalam pemilu presiden lalu kesulitan untuk memproses secara hukum bagi pembatalan pasangan calon presiden dan wakilnya, meskipun ditemukan adanya dana-dana ilegal dalam kampanye mereka.
Tidak ada resep instan untuk mengubah keadaan itu dalam waktu singkat, karena ini menyangkut perilaku politik mayoritas politisi kita dan kualitas pemilih. Walaupun sekarang pemilih telah relatif otonom. Maka kualitas pemilu internal partai dalam seleksi pasangan calon menjadi teramat penting untuk diperhatikan. Model konvensi yang transparan barangkali bisa menghindari investor politik membeli pasangan calon. Gerakan tidak pilih politisi busuk dan ketersediaan informasi mengenai jejak rekam pasangan calon adalah pendidikan politik yang vital untuk menumbuhkan pemilih rasional.
Terakhir, pemilih harus dijamin oleh konstitusi untuk menarik kembali suaranya manakala pemimpin yang telah dipilihnya berkhianat. Dengan begitu tali mandat yang biasanya putus setelah pesta pemilihan usai bisa disambungkan kembali.(Teten Masduki Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW))
Tulisan ini diambil dari Kompas, 11 Februari 2005