Pilkadal, Optimis atau Pesimis?

KITA optimis bahwa pilkadal (pemilihan kepala daerah langsung) baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi bisa dijalankan dengan sukses, artinya lancar, aman, dan menghasilkan pasangan pemimpin baru. Tetapi apakah proses tersebut dapat melahirkan pasangan pemimpin yang benar-benar berkualitas? Ini masih tanda tanya besar, lebih tepatnya pesimis.

Berbicara pilkadal kita seperti sedang berhadapan dengan sebuah dilema antara biaya politik yang terlalu besar vs hasil yang belum tentu maksimal; antara tema demokratisasi vs tema kesejahteraan; antara optimisme vs pesimisme. Situasi harap-cemas seperti ini terungkap dalam sebuah diskusi terbatas di Hotel Hyatt, Ahad (7/3) malam, yang diikuti beberapa peserta kalangan muda dari aktivis Islam maupun akademisi. Diskusi menghadirkan seorang tokoh pejuang kawakan Jawa Barat, Tjetje Hidayat Padmadinata, yang sedang menulis biografi Setengah Abad Perlawanan dan seorang fungsionaris partai Jawa Barat, Rd. Gani Galuraningrat Kusumabrata. Acara dipandu oleh moderator Rully dan difasilitasi oleh politikus muda Yomanius Untung dan grup pengajian politiknya.

Diskusi secara tajam menyoroti dua persoalan, yaitu apakah pilkadal akan lebih menjamin percepatan kesejahateraan rakyat? Ini persoalan dampak. Berikutnya menyangkut substansi, apakah dengan pilkadal demokratisasi benar-benar terjadi? Tak terelakkan pembahasan kemudian diperkaya dengan wacana tentang sejauh mana signifikansi partai politik dalam pilkadal, khususnya ketika kita harus bercermin pada pemilu presiden lalu, di mana pengaruh faktor partai amat kecil.

Samalah ibarat bikin pesawat. Kita bisa memproduksi pesawat baru yang canggih hingga sukses first flight dengan sejuta tepuk tangan, namun apakah pesawat itu bisa disertifikasi untuk diproduksi secara seri dan layak jual? Ternyata tidak mudah. Justru kita gagal hanya gara-gara kelemahan pada administrasi dan dokumentasi. Pengalaman PTDI sudah mengorbankan biaya begitu banyak untuk membuat beberapa model N-250 untuk disertifikasi, semuanya nihil.

Fakta ini mengatakan pada kita, bahwa ternyata ada persoalan budaya pada diri kita. Menjalankan demokrasi juga membutuhkan persyaratan budaya. Di Barat, demokrasi bisa dijadikan alat untuk bukan saja memilih pemimpin tetapi sekaligus memperoleh pemimpin yang berkualitas. Yang jadi persoalan di kita adalah, alat demokrasi digunakan, tetapi hasilnya belum jaminan akan melahirkan pemimpin yang menjanjikan keadilan dan kesejahteraan.

Kita sangat ahli bobok-tarok, artinya barang apa pun bisa kita buat (baca: tiru), dan akan lebih mudah lagi jika tidak disertai dokumen legal. Contohnya pembajakan barang-barang canggih seperti kaset, software, dan VCD, konon katanya, Indonesia termarak di dunia setelah Cina. Terakhir, bahkan sampah pun bisa sukses kita urus, adapun kemudian muncrat dan longsor menimpa penduduk hingga merenggut ratusan nyawa, itulah yang terjadi. Pak pejabat cukup bilang, masyarakat haruslah tabah. Bangsa ini terasa lebih sukses lagi bagaimana membuat korupsi jadi legal. Adalah gaya lama pula ketika penguasa mengalihkan isu kenaikan BBM dengan membakar semangat perang Blok Ambalat.

Pilkadal dan demokratisasi
Ada semacam optimisme bahwa pilkadal menjadi bagian demokratisasi; bahwa rakyat sebagai sahibul kedaulatan mendapat tempat untuk berperan langsung dalam memilih pemimpinnya. Meski belum berpengalaman dengan pilkadal, kita pun tidak punya kekhawatiran akan munculnya konflik horizontal, karena masyarakat di desa pun sudah terbiasa memilih kuwu (kepala desa) secara langsung. Soal dana pun tidak begitu masalah, baik APBD maupun APBN sudah antisipatif untuk itu. Sementara pihak penyelenggara, KPUD, kiranya sudah lebih berpengalaman dengan dua pemilu (legislatif dan presiden) sebelumnya. Lalu apalagi? Teknis dan nonteknis, kita sudah siap. Dalam prakondisi ini, maka sudah terbayangkan adanya happy ending, bahwa pilkadal akan berjalan tertib, aman, dan sukses (pasangan kepala daerah dan wakilnya terpilih).

Hanya sampai di situ? Tentu saja tidak. Dalam perspektif demokrasi tentu saja sebuah sistem diselenggarakan ada tujuannya. Yaitu dalam hal ini memilih pemimpin yang berkualitas. Namun dengan pilkadal yang ada, diyakini bahwa orang yang sama akan dilahirkan baik oleh pemilihan legislatif maupun pemilihan langsung oleh rakyat. Ini karena, yang akan jadi calon-calon kepala daerah adalah terdiri dari orang-orang yang itu-itu juga. Apalagi calon hanya dapat melalui satu pintu, yaitu partai politik. Artinya, esensi demokrasi kaitan dengan pilkadal (dipilih rakyat langsung) ini akan sama dengan pilkada (dipilih oleh DPRD). Lalu secara pragmatis kita bertanya, buat apa pilkadal? Hanya buang-buang waktu dan hambur-hambur dana! Padahal kondisi ekonomi masyarakat yang sedang menjerit. Apa tidak lebih baik, jika dana pilkadal itu digunakan untuk kepentingan publik langsung?

Misalnya saja di Jawa Barat. Untuk empat tahun ke depan, terdapat sekurang-kurangnya 25 kali pilkadal kabupaten/kota (2005: 5 pilkadal, 2006: 2 pilkadal, 2007: 2 pilkadal, 2008: 16 pilkadal), ditambah tahun 2008 pilkadal tingkat provinsi. Jika kita asumsikan anggaran untuk sebuah pilkadal membutuhkan sekira Rp 10 miliar (ini minimal), maka jumlah ini lebih dari cukup jika dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat, misalnya untuk pengobatan ataupun biaya pendidikan gratis.

Dalam perspektif demokrasi, pilkadal juga diharapkan bisa menuju kepada good governance sebuah daerah. Salah satu indikator penting adalah bahwa proses pilkadal harus lebih terbebas dari praktik money politics, premanisme politik, perjudian politik, dan percaloan politik. Namun menurut pengamatan beberapa peserta diskusi di atas, justru pilkadal akan menjadi sebuah pesta demokrasi yang sangat mahal disebabkan memanjangnya rantai celah-celah money politics, premanisme politik, perjudian politik, dan percaloan politik.

Dengan paradigma politik kotor itu, maka kalau dulu seorang calon cukup menyediakan dana untuk menguasai 50%+1 anggota dewan, sekarang harus menyediakan sejumlah itu ditambah untuk kampanye yang pasti tidak kecil, dan seperti biasa untuk serangan fajar orang per orang pemilih saat pemilu digelar. Hingga ada seorang peserta diskusi yang memperkirakan biaya yang dibutuhkan seorang calon kepala daerah untuk berani tandang dalam pilkadal di Kabupaten Bandung sekira Rp 110 miliar. Ini belum tentu menang!

Nah berapa jumlah total dana yang dikeluarkan untuk sebuah pesta demokrasi lokal, seperti halnya pilkadal yang didanai APBN/APBD plus kocek pribadi sang calon? Konsekuensi dari logika ini, maka orang bersih dan berkemampuan sepertinya tidak atau hanya sedikit memiliki peluang untuk ikut bertarung dalam pilkadal. Jelas situasi ini sangat menguntungkan posisi incumbent; artinya jelas pula bahwa pilkadal tidaklah efektif; bahwa yang akan bermain dan terpilih adalah tetap para pemain lama yang notabene telah akut terjangkit tabiat corruption of power dan corruption of money.

Pilkadal dan kesejahteraan
Ini esensi lebih jauh dari demokrasi. Bahwa pilkadal diciptakan sebagai sebuah sistem untuk melahirkan kepala daerah yang berkualitas. Artinya selain sang figur dapat dipercaya dan memiliki kualifikasi memadai untuk menduduki jabatan kepala daerah, juga dapat secara nyata memberikan arah dan harapan bagi perubahan dan perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk yang terpenting adalah aspek keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Meski demikian, dalam kasus demokratisasi di Indonesia, cita-cita kesejahteraan mungkin terlalu mewah jika harus dikaitkan dengan pilkadal saat ini. Tetapi setidaknya dengan pilkadal diharapkan ada efek positif bagi pencerahan politik masyarakat. Namun hal yang minimal ini pun terancam oleh sebuah situasi budaya politik yang bobrok. Seperti ditengarai Tjetje Hidayat, partai politik (parpol) selama ini lebih memerankan sebagai bentuk transaksi politik-ekonomi sebagian elitenya; politik sebagai sebuah produk permainan kebijakan untuk menghasilkan sejumlah uang. Tak heran jika seorang peserta diskusi mengatakan peran parpol berkaitan dengan pilkadal bisa terwujud dalam konspirasi politik.

Contoh konkret, money politics. Untuk kondisi masyarakat yang miskin, maka money politics dalam pilkadal akan diterjemahkan oleh mereka sebagai lumayan menambah penghasilan. Sementara bagi elite, money politics tidak dirasakan sebagai sebuah kejahatan tetapi sebagai prosedur menuju puncak kekuasaan.

Harapan
Menyikapi berbagai pemikiran yang berkembang dalam forum diskusi terbatas itu, memang terasa amat pesimis. Tetapi ada juga beberapa harapan, meskipun tipis. Pertama, barangkali cukup penting untuk mulai mempertimbangkan soal peran jaringan dalam sebuah pilkadal. Meskipun kemenangan SBY dipersepsi banyak kalangan sebagai kemenangan karisma dan popularitas personal, sebagaimana lazimnya disebut mitologisasi, namun terdapat juga alasan-alasan bahwa kemenangan SBY didukung oleh kekuatan jaringan, khususnya militer dan purnawirawan. Sudah terbukti, bahwa partai-partai besar yang meninggikan bendera, tidak mampu memenangkan pemilihan presiden langsung. Menurut Tjetje, ke depan partai dengan berbasis jaringan dianggap paling potensial akan menjadi partai dominan asal konsisten dan tidak gede hulu.

Kedua, pilkadal dengan segala pesimismenya juga harus dapat dipandang sebagai peluang untuk memunculkan partai dan figur bersih. Dalam kacamata yang lebih religius, pilkadal dapat dikatakan sebagai ajang pertarungan hak vs batil; sistem bersih vs sistem bobrok.

Kita sudah memiliki fakta dalam pemilu-pemilu sebelumnya, bahwa kekuatan uang bukan segala-galanya. Ini sebuah harapan. Bahwa rakyat, meskipun dalam keadaan miskin, tidak seluruhnya akan terpengaruh oleh money politics atau premanisme politik. Sudah terdapat sejumlah umat yang sadar politik, memahami seutuhnya siapa yang harus dicoblos dalam pemilu.

Ketiga, terbukanya peluang bagi peran jaringan dan figur/partai bersih dalam pilkadal menyiratkan adanya perbaikan sistem politik kita. Ini peluang bagi partai-partai kecil namun memiliki soliditas dan idealisme, sekaligus ancaman bagi partai massa yang bekerja lebih mengandalkan kekuatan dana. Dalam hal ini kita optimis bahwa demokratisasi akan berjalan lebih optimis dan alamiah. Mungkin prediksi pergeseran ini belum banyak terjadi pada interval 2005-2009, namun diyakini akan mulai dirasakan pada periode 2009-2014. Wallahu a'lam.(Husin M. Al-Banjari,Sekretaris Dewan Syariah PK Sejahtera Jawa Barat; anggota Komisi A DPRD Provinsi Jawa Barat)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan