Pilkada yang Mahal, Pangkal Soal?

Setelah lama menjadi wacana, akhirnya pemerintah memastikan mengusulkan klausul, pemilihan gubernur tak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung, tetapi oleh DPRD provinsi. Ketentuan itu akan dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah. RUU itu berada di urutan ke-42 daftar Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2011.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menyebutkan, gubernur dipertimbangkan tidak dipilih langsung. Otonomi luas di kabupaten/kota, sementara di provinsi terbatas (Kompas, 10/12). Alasan lain adalah penghematan biaya dan energi sosial. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pernah prihatin atas demokrasi berbiaya tinggi itu.

Pendapat pun terpecah menyikapi rencana penghapusan pilkada langsung itu. Politisi di DPR jelas terbagi menjadi dua blok. Partai politik penguasa, yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan Koalisi Parpol Pendukung Presiden Yudhoyono-Wakil Presiden Boediono, mendukung usul agar gubernur tidak dipilih secara langsung.

Dalam seminar di Semarang, Jawa Tengah, November lalu, Ketua Partai Golkar Priyo Budi Santoso menyebutkan, perlu keberanian mengevaluasi pelaksanaan pilkada langsung yang selama ini dibanggakan, tetapi banyak masalah pula. Evaluasi itu tidak berarti untuk memutar jarum sejarah. Konstitusi menyatakan, kepala daerah dipilih secara demokratis. Ketentuan itu bisa saja diimplementasikan, misalnya, dengan pelaksanaan pilkada langsung tidak dimulai dari tingkatan kabupaten/kota.

Biaya mahal?
Namun, jika alasannya karena pilkada langsung dinilai terlalu mahal, pertanyaannya siapakah sebenarnya yang mengeluarkan biaya mahal itu? Prinsipnya, anggaran untuk pilkada bisa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu biaya penyelenggaraan dan pencalonan. Penyelenggaraan pilkada menjadi tanggungan anggaran negara, dikeluarkan oleh institusi penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Fitriyah, menjelaskan, belanja pilkada bergantung pada jumlah pemilih, tempat pemungutan suara (TPS), wilayah administratif di daerah pemilihan, jumlah pasangan calon, dan jumlah putaran pelaksanaan pilkada.

”Belanja APBD untuk pilkada punya manfaat ekonomi bagi daerah, misalnya uang honorarium untuk penduduk setempat dan pengadaan barang untuk pengusaha lokal,” katanya.

Jika penyelenggaraan pilkada dinilai mahal, solusi yang ditawarkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah dengan penyelenggaraan pilkada serentak provinsi dan kabupaten/kota. Menurut Fitriyah, yang mantan Ketua KPU Jawa Tengah, cara ini pernah terbukti ketika sejumlah daerah menyelenggarakan pilkada berbarengan dengan pemilihan Gubernur Jateng. Lembaga Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) juga menyatakan, anggaran pilkada bisa ditekan lebih murah.

Biaya pencalonan adalah beban kandidat, antara lain untuk belanja kampanye, saksi, dan biaya pencalonan di parpol atau pendukung untuk jalur perseorangan. Walau ada ”pembatasan”, diyakini kandidat mengeluarkan lebih banyak dana ketimbang yang dilaporkan sebagai bagian dari dana kampanye.

Pengeluaran besar kandidat itu yang membuat pemerintahan lalu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Calon butuh biaya besar, ada pendana yang membiayainya, dan akhirnya mesti ada kompensasi setelah calon itu menang.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, mengingatkan, yang juga penting dituntaskan adalah pelaksanaan pilkada yang ditengarai penuh ”persekongkolan”, yang akhirnya hanya akan menghasilkan loyalitas kepada klien politik ketimbang kepada masyarakat. Pemenang pilkada akan mencari kompensasi atas biaya yang dikeluarkan. Kondisi pascapilkada tetap memburuk. Muncul pemerintah-bayangan, otoritas informal yang berada di luar, tetapi bisa mengendalikan struktur formal pemerintahan. Kondisi ini yang merongrong pemerintahan.

Akankah masalah itu bisa terjawab dengan mengalihkan pemilihan gubernur di DPRD provinsi lagi? (sidik pramono)
Sumber: Kompas, 17 Desember 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan