Pilkada Rawan Korupsi
Perbaiki Aturan dan Pengawasan Pemilihan Kepala Daerah
Potensi korupsi dalam pemilihan kepala daerah tahun 2010 yang dilakukan di 244 daerah dinilai sangat tinggi. Potensi korupsi itu makin tinggi di daerah yang salah satu calonnya adalah pihak yang tengah berkuasa atau incumbent.
Potensi korupsi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) terutama dalam bentuk penyalahgunaan anggaran negara, manipulasi dana kampanye, dan politik uang.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Fahmi Badoh menuturkan hal itu di Jakarta, Kamis (7/1). ”Pilkada tahun ini sangat dekat waktunya dengan Pemilu 2009 sehingga beberapa persoalan terkait pemilu lalu, termasuk pola korupsinya, bisa ditiru dalam pilkada,” katanya.
Salah satu pola korupsi, menurut Fahmi, adalah menggunakan anggaran negara untuk program populis dari calon yang memiliki akses ke kekuasaan. Hal ini terutama akan mudah dilakukan incumbent. ”Ini terjadi karena tak ada aturan pelarangan yang tegas terkait penggunaan uang negara untuk pilkada. Seperti yang terjadi saat pemilu lalu, incumbent bisa membuat program populis menjelang pemilihan,” katanya.
Dari catatan ICW, menjelang pemilu lalu terjadi pembengkakan penggunaan APBN sebesar 50 persen untuk program bantuan sosial yang bersifat populis. ”Kami khawatir pola ini ditiru dalam pilkada,” ujarnya.
Penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kekuasaan juga diperkirakan marak pada pilkada tahun 2010. Hal ini juga mewarnai pelanggaran Pemilu 2009. Dari hasil pemantauan ICW dan jaringan kerja di empat daerah, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta, ditemukan 54 indikasi pelanggaran ketentuan terkait dengan fasilitas jabatan.
Fenomena penggunaan fasilitas jabatan yang terjadi pada Pemilu 2009, kata Fahmi, justru lebih banyak terjadi di daerah ketimbang di tingkat nasional. Potensi korupsi itu diperkirakan akan terjadi lagi, terutama di daerah yang minim pengawasan dari masyarakat dan media.
Abdullah Dahlan, peneliti ICW, menambahkan, potensi manipulasi dana kampanye terjadi karena longgarnya aturan. ”Lemahnya aturan dikhawatirkan akan memudahkan masuknya aliran dana dari sumber haram ke rekening pemenangan kampanye pasangan calon. Kondisi ini akan diperparah dengan lumpuhnya pengawasan atas dana kampanye,” ujarnya
Selain itu, kata Abdullah, potensi korupsi dalam pilkada juga dimungkinkan karena tidak ada standar anggaran pilkada. Sampai sekarang tak ada standar penggunaan dana APBD untuk kepentingan pilkada.
Politik uang dalam pilkada, kata Abdullah, sangat mungkin terjadi mulai dari penentuan nominasi kandidat oleh partai politik pendukung hingga pencoblosan. ”Sebagaimana Pemilu 2009, di perkotaan, pembagian uang secara langsung dilakukan pada masa kampanye. Di pedesaan, praktik politik uang terjadi dalam bentuk pemberian sembako, pembagian uang dalam forum pengajian, serta dalih dana bantuan desa,” lanjutnya.
Abdullah mengatakan, korupsi pilkada akan sangat sulit diusut pula. (AIK)
Sumber: Jawa Pos, 8 Januari 2010