Pilkada Minus Kualitas?

Setelah pemilu presiden (pilpres) 2004 terlewati, ritual demokrasi politik Indonesia menghadapi tantangan baru, yang tak kalah mengkhawatirkan, yakni pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada langsung) yang semarak diberlangsungkan pada 2005. Dulu banyak pihak khawatir pilpres secara langsung akan gagal, dan imbasnya buruk bagi tidak saja masa depan demokrasi, tetapi juga keberlangsungan bangsa Indonesia. Kini, sejumlah kekhawatiran merebak terkait dengan pilkadal, di mana tingkat risiko kegagalannya lebih besar.

Besarnya risiko kegagalan, antara lain disebabkan oleh lebih sempitnya arena pertarungan politik yang ada, sehingga konsentrasi konflik lebih tinggi. Bila dalam pilpres dalam skala nasional di mana publik daerah berada dalam posisi kepentingan yang jauh dari konteks sehari-hari, maka tidak demikian halnya dengan pilkada. Emosionalitas dan keterlibatan antara para elite-aktor dengan massa (publik) lebih kental pada fenomena pilkada, mengingat intensitas mereka cukup tinggi dan terkait dengan kehidupan sehari-hari. Belum lagi potensi benturan primordial yang dapat tampil menyusul benturan politik di daerah, hubungannya dengan pilkadal. Tak kalah mengkhawatirkannya, setidaknya, adalah rawanya politik uang, dan kekerasan (premanisme) politik.

Kalau demikian, dapatkah pilkadal mendatang, yang lagi-lagi dipersiapkan secara 'tergesa-gesa' ini, mampu menunjukkan kualitasnya dalam konteks demokrasi?

Mungkin tidak akan terlalu berubah segala aturan hukum yang telah ditetapkan 'berdasar UU No 32 tahun 2004 dan PP Pilkada', dalam penyelenggaraan pilkada. Segala perdebatan mengenai kekurangan dan kelemahan 'payung hukum' tersebut diasumsikan tidak akan mengubah secara mendasar teknis pelaksanaan pilkada tahun ini. Kalau demikian, maka sebaiknya, wacana mengenai pilkada dikembangkan ke persoalan antisipasi kegagalan pelaksanaannya. Dengan kata lain, terlepas dari kesan ketidaksiapan, rencana penyelenggaraan pilkada tetap akan dijalankan apa pun risikonya.

Modal minimal
Menilik keberhasilan pemilu 2004 (khususnya pilpres), maka sesungguhnya kekhawatiran akan gagalnya pilkada 2005, sedikit tertepis. Mestinya konstituen (rakyat) sudah paham akan hak-hak politiknya dan tidak dapat ditekan-tekan untuk memilih calon yang tidak didukungnya. Artinya, sudah ada kesadaran kultural, sebagai modal penting rakyat untuk menyukseskan eksperimentasi politik pilkada 2005.

Di sisi lain, secara struktural keberhasilan pengalaman pilpres 2004 juga dapat dijadikan cermin. Kalau pilpres penyelenggaranya Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat, maka pilkada diselenggarakan oleh KPU Daerah (KPUD)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan