Pilkada Masih Membuka Ruang Bagi Para Koruptor

Press Release – Indonesia Corruption Watch

Fenomena yang memprihatinkan ketika tersangka kasus korupsi melenggang dengan mulus menang dalam Pilkada 2010, dan di lantik oleh mendagri. Sekali lagi, ini adalah preseden buruk demokrasi di tingkat lokal karena Pilkada masih memberikan ruang untuk koruptor dan gagal menciptakan pemerinatahn yang bersih dan berwibawa.
Ada beberapa aktor dalam fenomena majunya tersangka korupsi dalam pilkada, yaitu incumbent sendiri, pelaksana Pilkada (KPUD), dan Aparat penegak hukum yang sedang menangani perkara.
incumbent sendiri biasannya akan menggunakan segala cara agar dia bisa lolos untuk ikut Pilkada lagi. Hal ini dimungkinkan karena belum ada putusan dari aparat hukum yang menyebabkan penahanan. Status korupsi yang masih di hambat oleh penegak hukum ini menyebabkan KPUD dengan lancar memuluskan incumbent yang notabennya koruptor melenggang.
Ketiga institusi tadi di khawatirkan bekerja sama untuk satu tujuan. Analisisnya adalah ketika incumbent terpilih lagi, maka kemungkinan kasus korupsi yang terjadi akan tertutup lagi.
Kondisi berbeda akan kita temui jika incumbent koruptor ini mendapat saingan lawan yang setimpal sehingga mampu mendorong penegak hukum untuk segera menindaklanjuti kasus dan menangkapnya sehingga incumbent tersebut tidak dapat bersaing lagi dalam Pilkada.
Modus Incumbent dalam Pemenangan Pilkada
Terpilihnya tersangka koruptor menjadi kepala daerah ini merupakan preseden buruk bagi demokrasi lokal karena alat UU dan regulasi yang ada belum mampu untuk membatasi dan menyeleksi calon kepala daerah yang bersih dan mumpuni.
Ketentuan pasal 59 Ayat (1) UU No. 12 tahu 2007 tentang persyaratan Calon kepala daerah belum mampu menjadi jaminan terciptannya sistem seleksi yang baik. Beberapa syarat misalnya :

  1. Surat keterangan tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan Negara.
  2. Surat keterangan tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  3. Surat keterangan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

RUANG PEMAKZULAN
Dalam proses hukum, jika kepala daerah terpilih tersebut ditetapkan sebagai terdakwa maka proses yang dilakukan untuk menyelamatkan pemerintahan local adalah pemakzulan.
Landasan hukum usulan pemberhentian kepala daerah tersebut,  Mengacu pada Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah. Dalam landasan hukum tersebut kepala daerah dapat dimakzulkan ketika memang terbukti melanggar hukum.
Untuk mendorong proses pemakzulan ini, perlu peran beberapa pihak.
1.    Penegak Hukum
Penegak hukum harus  MEMPERCEPAT dan MENUNTASKAN proses hukum  para tersangka korupsi kepala Daerah.
2.    DPRD
Untuk hal pemakzulan DPRD dapat menggelar sidang paripurna untuk mengusulkan, memproses dan memberhentikan Bupati atau kepal daerah yang terbukti bersalah. Hal ini seperti diatur dalam UU No. 27 tahun 2009 tentang mekanisme pemberhentian Kepala daerah.
3.    Masyarakat Sipil.
Untuk tujuan terciptanya local good governance maka masyarakat sipil perlu bergerak untuk mengawal dan memantau proses hokum dan pemakzulan.
Untuk mendorong segera proses hokum, masyarakat pelu mendorong penegak hokum.
Untuk pemakzulan, setidaknya masyarakat perlu menggalang kekuatan agar proses tersebut dapat berjalan lancer tanpa hambatan politik golongan tertentu.Hal ini penting demi masadepan daerah itu sendiri.
Terpilihnya Kepala Daerah  Tersangka korupsi  akan berimplikasi pada :

  1. Potensial munculnya kepemimpinan dan  pemerintahan yang koruptif, hal ini didasarkan bahwa kepala daerah yang terpilih telah memiliki track record bermasalah. Selain itu aspek keterpilhan mereka dalam Pilkada  juga dengan menggunakan cara-cara yang koruptif. Atas dasar itu, maka    karena itu kepemimpinan yang bermasalah
  2. Dengan status tersangka yang disandang oleh kepala daerah terpilih, jelas memberikan pencitraan buruk dan menjadi beban moral dalam kepemimpinan birakrasi dan pemerintahannya.
  3. Terganggunya pemerintahan daerah jika proses hukum yang berjalan atas kepemimpinan kepala daerah yang bermasalah tersebut.

Dari pemaparan diatas kami menyatakan beberapa hal sebagai berikut ;

  1. Korupsi pada saat Pilkada masih marak terjadi, terutama dalam bentuk; penggunaan anggaran negara, manipulasi dana kampanye, dan politik uang.
  2. masih terbukanya ruang regulasi yang memungkinkan kandidat bermasalah (tersangka Korupsi) turut dalam kontestasi pilkada
  3. KPUD gagal dalam proses penyaringan calon yang bebas dari korupsi. Hal ini karena belum ada regulasi yang benar-benar melarang, selain karena penegak hokum yang tidak tegas menetapkan tersangka kasus korupsi sehingga calon tersebut dapat dengan mudah ikut Pilkada.
  4. Peran Panwas gagal dalam mengawasi dan mempublikasi temuan adanya pelanggaran hokum salah satu calon. Hal ini memyebabkan public terbutakan dan kesalahan tetap berlanjut.
  5. Pilkada masih memberikan ruang terhadap partisipasi tersangka korupsi. Sehingga proses demokrasi yang substantive belum tercapai yaitu pemimpin yang bersih yang mampu menciptakan local good governance.
     

Terkait dengan hal ini kami menuntut:
Terkait dengan masih adanya ruang untuk koruptor dalam Pilkada, kami menyampaikan ;

  1. Kepada pemerintah dan DPR agar merevisi ketentuan tentang persyaratan calo kepala daerah, termasuk larangan terhadap calon tersangka korupsi untuk terlibat dalam kontestasi pilkada.
  2. Kepada pemerintah agar menunda kepala daerah terpilih yang sudah di tetapkan tersangka, sampai adanya kepastian  proses hukumnya.

Jakarta, 3 Agustus 2010

silahkan klik di sini untuk mengunduh file ini lebih lengkap dalam format PDF

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan