Pilkada Langsung dan Arus Balik Demokrasi
Memasuki akhir kuartal abad kedua puluh, sebagian pengamat dunia menakbirkan aura optimisme dalam tahapan demokrasi. Mereka melihat kuartal abad kedua puluh ini merupakan periode demokrasi yang paling menjanjikan dalam sejarah peradaban modern.
Aura optimisme ini tidak menyandarkan diri pada argumen-argumen profetik, bahwa demokrasi adalah titik-titik akhir evolusi (perjalanan) ideologi manusia dan bentuk final pemerintah (mereka), seperti yang pernah dilansir Francis Fukuyama. Tapi aura optimisme itu lebih disandarkan pada satu kenyataan bahwa memasuki kuartal abad kedua puluh ini, banyak negara yang menjadi demokratis.
Dalam kerangka seperti inilah, isu pilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, menjadi momentum untuk mempertegas aura optimisme dalam lajur pengembangan dan penumbuhan demokrasi. Pilkada secara langsung, mau tak mau meletakkan aspirasi publik sebagai bagan awal dalam pengembangan dan penumbuhan demokrasi, yang lahir dari realitas bawah. Realitas arus bawah sering kali dianggap sebagai bentuk pengejawantahan dari aspirasi publik riil, yang dianggap sebagai parameter dari pengembangan dan penumbuhan demokrasi.
Terlepas dari kenyataan bahwa demokrasi bisa dipandang secara berbeda, sebenarnya ada unsur-unsur dasar atau family resemblance yang membuat sebuah sistem dapat disebut demokratis. Ada baiknya sebelum melihat realitas Pilkada secara langsung, pikiran Robert A Dahl yang termaktub di bukunya yang berjudul Polyarchy: Participation and Opossition, dapat dijadikan pijakan awal dalam membaca peta demokrasi. Dahl melihat bahwa sebuah rezim politik dapat dianggap sebagai demokratis jika ia (1) menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas (2) mengembangkan pola kehidupan politik yang kompetitif; (3) dan memberi perlindungan terhadap kebebasan masyarakat (civil liberties).
Mengikuti cara berpikir yang dikembangkan Dahl, Juan Linz juga mengajukan pengertian-pengertian demokrasi yang lebih ketat. Menurutnya, sebuah sistem politik baru bisa dikatakan demokratis jika ia (1) memberi kebebasan bagi masyarakatnya untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka, melalui jalur-jalur perserikatan, informasi, dan komunikasi; (2) memberikan kesempatan bagi warganya untuk bersaing secara teratur, melalui cara-cara damai, dan (3) tidak melarang siapa pun untuk memperebutkan jabatan-jabatan politik yang ada.
Dari pikiran Robert A Dahl dan Juan Linz dapat diambil satu konklusi awal, bahwa demokrasi menghendaki adanya beberapa unsur dan tuntutan, sebelum pemerintahan baru yang disebut demokratis tercipta.
Arus bawah
Berkaitan dengan Pilkada secara langsung, perlu ditengok ulang bahwa pilkada langsung bisa menjadi arus balik demokrasi, jika beberapa prasyarat standar tidak dipenuhi. Unsur-unsur dasar atau family resemblance demokrasi itu dipengaruhi, dibentuk dan diperkaya oleh kultur dan struktur masyarakat yang ada. Di negara mana pun, unsur-unsur demokrasi akan terbentuk dan berkembang jika ia sejalan dengan realitas bangunan sosial budaya masyarakat.
Kerentanan akan munculnya konflik-konflik lokal di berbagai daerah dalam menghadapi arus demokrasi langsung tersebut, susah untuk dihindari. Kemungkinan-kemungkinan konflik domestik bisa lahir ketika proses demokrasi akan segera dibangun. Sebagaimana dikemukakan Sorensen (1993), konflik domestik yang terjadi pada berbagai level dan segmen masyarakat, yang bersumber dari dan mengakibatkan kemerosotan otoritas kekuasaan, dan pada gilirannya diikuti dengan kekerasan dan anarki, sama sekali tidak kondusif bagi penciptaan dan pengembangan kebudayaan politik demokratis. Apalagi dalam terminologi Robert Hefner kebudayaan politik demokratis itu untuk menumbuhkan keadaban demokratis.
Pengembangan kebudayaan politik untuk menumbuhkan keadaan demokratis di Indonesia ini dalam pikiran yang dikembangkan Sorensen, proses transisi menuju Indonesia ke arah demokrasi yang lebih genuine, dan otentik jelas merupakan proses yang sangat kompleks dan panjang, apalagi dengan kecenderungan kian memburuknya situasi politik dan ekonomi. Terlepas dari itu, transisi menuju demokrasi setidak-tidaknya mencakup reformasi dalam tiga bidang besar secara simultan. Pertama, reformasi sistem (constitutional reforms), yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar dan perangkat legal system politik. Kedua, reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan (institutional reforms and empowerment) lembaga-lembaga politik. Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik (political culture).
Ketiga poin di atas, sangat tepat jika kita kaitkan dengan pilkada secara langsung yang akan digelar di berbagai daerah. Reformasi sistem yang diajukan berkaitan erat dengan falsafah, kerangka dasar dan perangkat legal di daerah yang perlu dirumuskan ulang sebelum pilkada secara langsung digelar. Perumusan kembali ini penting agar pilkada tidak meninggalkan cacat historis bagi proses pengembangan demokrasi yang ada. Perumusan ini juga menjadi penting jika dikaitkan dengan pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik yang ada di berbagai daerah. Sejauh mana lembaga-lembaga politik mampu memberi kontribusi positif bagi konstelasi kehidupan publik di daerah? Mampukah komponen-komponen daerah melakukan pembelajaran bagi arus publik di tingkat daerah, yang dianggap belum mempunyai perangkat-perangkat daerah secara komprehensif.
Arus bawah seperti kita ketahui bersama terdiri dari berbagai strata ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya yang beraneka ragam. Keanekaragaman ini akan membawa dampak perilaku terhadap kultur politik di daerah. Tampaknya situasi ini tidak dibaca secara cermat oleh pengambil kebijakan untuk menentukan pilkada secara langsung. Jika tidak dicermati sejak awal, bisa jadi pilkada secara langsung, justru akan menjadi arus balik demokrasi, yakni terciptanya kembali otoriterianisme.
Untuk itu, pembentukan warga negara yang memiliki kesadaran berdemokrasi, adalah langkah awal dalam menuju lajur demokrasi yang benar. Sebagaimana disampaikan Murray Print (1999), pembentukan warga negara yang memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara efektif hanya melalui pendidikan kewarganegaraan (civic education). Civic education dengan demikian, merupakan sarana pendidikan yang dibutuhkan oleh negara-negara demokrasi baru untuk melahirkan generasi muda yang mengetahui tentang pengetahuan, nilai-nilai dan keadilan yang diperlukan untuk mengaktualisasikan, memberdayakan, dan melestarikan demokrasi.
Mengaktualisasikan, memberdayakan dan melestarikan demokrasi ini adalah infrastruktur politik, khususnya di daerah. Infrastruktur politik yang terdiri (political party) dari kelompok gerakan (movement group) dan kelompok penekan (pressure group). Partai politik di daerah menjadi salah satu elemen penting yang ikut melakukan pemberdayaan publik dalam rangka pilkada secara langsung di daerah. Tanpa itu, semua jangan harap, pilkada secara langsung akan tercipta dengan baik. Maka sejak awal harus ada panduan yang jelas bagi arus bawah, bagaimana harus menjalankan pilkada secara langsung dengan baik. Dan tentu, komponen yang paling penting adalah keterlibatan secara aktif arus bawah.
Keterlibatan aktif arus bawah akan jadi parameter, apakah sebuah pemilihan langsung bisa dijadikan tolak ukur pertumbuhan dan perkembangan demokrasi? Atau ia sekadar lipstik dari para penguasa bahwa negara telah menerapkan unsur-unsur demokratis. Dalam perspektif perkembangan praktik demokrasi, sebenarnya tidak ada yang bisa dikatakan sebuah negara telah menerapkan dan menjalankan demokrasi secara sempurna. Maka sangat wajar jika ilmuwan sosial seperti Michael Burton, Richard Gunther, dan John Higley, memiliki pendapat bahwa banyak rezim yang menyelenggarakkan pemilihan umum secara teratur, belum dapat disebut sebagai demokratis. Beberapa rezim mengatur hak pilih (warganya) atas dasar kekayaan, sebagaimana yang pernah berkembang di negara-negara Barat pada abad kesembilan belas. Sementara di beberapa negara yang lain, seperti di Afrika Selatan dan Selatan Amerika, mengingkari hak pilih etnik tertentu.
Para pemikir demokrasi itu melihat bahwa menilai konsep dan praktik demokrasi dengan ukuran prosedural, tidak akan membawa kita pada batasan yang jelas, antara pemerintahan demokratis dan bukan demokratis. Tapi yang pasti ukuran standar dalam pemilihan langsung adalah, keterlibatan aktif dan peran serta berbagai komponen dalam pemilihan, adalah roh dari proses demokrasi. Maka akankah pilkada yang mulai digelar paruh 2005 dengan melibatkan 163 daerah pemilihan, bisa melibatkan secara aktif unsur-unsur masyarakat dari berbagai elemen. Kita tunggu saja.(M Harry Mulya Zein, Alumnus Pascasarjana FISIP UI)
Tulisan diambil dari Media Indonesia, 31 Desember 2004