Pilkada, Jangan Ditunda!
Belakangan ini masyarakat mulai ramai mendiskusikan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung (pilkada). Masalah pilkada makin lama makin bertambah buncah. Soalnya, pengaturan pilkada telah ditetapkan melalui penerbitan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi sejumlah pasalnya masih mengandung kontroversi.
UU tersebut mengamanatkan penyelenggaraan pilkada dimulai bulan Juni 2005, yang notabene sudah di pelupuk mata alias tinggal enam bulan lagi, tetapi peraturan pemerintah (PP) tentang pilkada sampai saat artikel ini dibuat masih belum selesai digodok pemerintah. Berbagai desakan lembaga masyarakat dan lembaga negara sendiri seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar pemerintah memasukkan berbagai pengaturan yang tidak terakomodasi dengan baik di dalam UU Pemerintahan Daerah ke dalam PP kian kencang. Bahkan, 30 Desember 2004, 16 KPU Provinsi telah mengajukan judicial review UU Nomor 32 Tahun 2004 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK pun dengan gerak cepat 7 Januari 2005 telah memulai sidang perdananya.
Sementara itu, dalam rapat kerja gubernur baru-baru ini terungkap pula kekurangjelasan penyiapan dana pilkada di dalam APBN dan APBD. Semua itu, masih ditambah lagi dengan lebih dari separuh kepala daerah di Indonesia (239) akan mengakhiri masa jabatan pada tahun 2005, terdiri atas 14 gubernur, 192 bupati, dan 33 wali kota. Apabila pilkadanya ditunda, maka ratusan jabatan kepala daerah akan diisi oleh para penjabat (caretaker) yang mempunyai kewenangan terbatas dalam memimpin pemerintahan daerah.
Pilkada sebetulnya merupakan alternatif untuk menjawab hiruk-pikuk, gaduh, kisruh, dan jeleknya proses maupun hasil pemilihan kepala daerah secara tidak langsung lewat DPRD di bawah UU Nomor 22 Tahun 1999. Pilkada menjadi kebutuhan mendesak guna mengoreksi sesegera mungkin segala kelemahan dalam pemilihan kepala daerah pada masa lalu. Pilkada bermanfaat untuk menegakkan kedaulatan rakyat atau menguatkan demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan (governance) maupun lingkungan kemasyarakatan (civil society).
Paling tidak ada 5 (lima) implikasi penting dari kehadiran pilkada terhadap kelembagaan dan manajemen pemerintahan daerah kita ke depan. Pertama, pilkadal berpotensi untuk mengurangi 'arogansi' lembaga DPRD yang selama ini sering kali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang representatif. Pilkada akan memosisikan kepala daerah juga sebagai pemegang mandat rakyat, yaitu untuk memerintah (eksekutif). Lembaga DPRD lebih dikhususkan pada pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan kebijakan.
Kedua, pilkada berpotensi membatasi kekuasaan dan kewenangan DPRD yang terlalu besar seperti memegang fungsi memilih, meminta pertanggungjawaban, dan memberhentikan kepala daerah. Pilkada membuat akuntabilitas publik kepala daerah tidak bulat kepada DPRD, tetapi kini juga kepada masyarakat daerah selaku konstituennya. Dengan begitu, manuver politik para anggota Dewan akan berkurang, termasuk segala perilaku bad politics-nya, misalnya melakukan blackmailing, meminta proyek dan fasilitas.
Ketiga, pilkada berpotensi menghasilkan kepala daerah yang lebih bermutu, karena pemilihan langsung berpeluang mendorong maju dan menangnya calon kepala daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat daerah, menguatkan derajat legitimasi dan posisi politik kepala daerah sebagai konsekuensi dari sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat.
Keempat, pilkada berpotensi menghasilkan suatu pemerintahan daerah yang lebih stabil, produktif, dan efektif. Tidak gampang digoyang oleh politikus lokal, terhindar dari campur tangan berlebihan pemerintah pusat, tidak mudah dilanda krisis publik, dan berpeluang melayani masyarakat secara lebih baik.
Kelima, pilkada berpotensi mengurangi praktik politik uang (money politics) yang pervasif dalam proses pemilihan kepala daerah, dan dalam proses penyampaian laporan pertanggungjawaban kepala daerah maupun pengangkatan sekda. Sehingga, pilkada akan dapat menaikkan kembali citra lembaga DPRD, di samping melindungi kepala daerah dari jebakan perilaku kolutif dengan legislatif.
***
Selain itu, apabila kita tinjau dari lingkungan kemasyarakatan (civil society), sesungguhnya pilkada bakal memiliki implikasi yang tidak kecil pula terhadap penguatan kehidupan politik masyarakat di daerah. Paling tidak pilkada akan memajukan lembaga kemasyarakatan dan menyehatkan perilaku politik masyarakat lokal kita di dalam 5 (lima) hal sebagai berikut.
Pertama, pilkada bakal meningkatkan kesadaran politik (conscientization) masyarakat daerah dalam segenap proses pemilihan, mulai dari pendaftaran, pencalonan, kampanye, pemungutan suara, penetapan, dan pelantikan calon terpilih. Pemahaman dan pengetahuan mereka terhadap realitas politik di daerahnya akan kian meningkat seiring dengan keterlibatan, keaktifan, dan pengalaman mereka dalam berpemilu. Pendek kata, pilkada menjadi suatu mekanisme perubahan politik yang teratur, tertib, dan periodik, tidak menyeramkan, dan bahkan ditunggu-tunggu kedatangannya. Misalnya, orang tidak perlu mati atau berkelahi, maupun mogok mencoblos jika calon kepala daerah unggulannya kalah.
Kedua, pilkada bakal memicu aktivitas politik masyarakat dan memberi kesempatan lebih besar pada setiap orang untuk berpartisipasi dan mengembangkan organisasi madani. Pengorganisasian masyarakat lewat berbagai macam bentuk LSM dan ormas, pendidikan anggota masyarakat menjadi pemilih yang cerdas, dan keterlibatan warga dalam segenap tahapan pemilihan merupakan latihan demokrasi bernilai tinggi. Dengan begitu, proses pemilihan pemimpin pemerintahan daerah tidak hanya dilepaskan ke tangan segelintir elite di DPRD yang mengatasnamakan rakyat, tetapi dengan melibatkan masyarakat sebagai stakeholder.
Ketiga, pilkada bakal memperluas akses masyarakat lokal untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka, misalnya dengan turut langsung menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin pemerintahan daerah yang akan membawa mereka menggapai mimpi hidup sejahtera dan bahagia serta tetap terus terlibat sebagai active-citizens dalam memengaruhi pembuatan kebijakan publik yang dilakukan oleh kepala daerah terpilih sebagaimana janji-janjinya pada waktu kampanye dulu, bahkan dalam mengawasi sang kepala daerah jika menyalahgunakan kekuasaan ketika memangku jabatan. Jadi, pilkada memaksa kepala daerah untuk tetap memerhatikan aspirasi masyarakat dalam menjalankan roda pemerintahan.
Keempat, pilkada bakal memotivasi media lokal untuk lebih aktif terlibat dalam segenap tahapan pemilihan mulai dari pendaftaran pemilih hingga pelantikan kepala daerah terpilih. Misalnya, tiras koran lokal akan naik, halamannya pun akan bertambah baik karena ada rubrik khusus pilkada maupun karena pemasangan iklan politik oleh para calon. Informasi pemilihan dan sosialisasi pemilu juga akan ramai menghiasi media lokal kita. Pada hari-hari terakhir pemungutan suara, endorsement pasangan calon unggulan versi koran bukan tidak mungkin juga mereka lakukan.
Kelima, pilkada bakal mendorong berkembangnya spirit kemandirian di dalam tubuh partai politik di daerah dan sekaligus mengurangi intervensi pengurus pusat partai politik, karena pasangan calon yang ditetapkan agar dapat memenangi pemilihan tidak dapat tidak mestilah yang punya nilai jual tinggi di mata pemilih di daerah itu, bukan karena pesanan bos partai dari Jakarta.
Menimbang banyaknya kebaikan yang bakal diperoleh melalui penyelenggaraan pilkada, sungguh tidak bijak jika pelaksanaannya tidak kita segerakan, apalagi ditunda. Kecuali bila benar-benar tidak bisa dihindari, seperti bagi daerah-daerah di Aceh yang tertimpa bencana tsunami. Karena itu, pertama, untuk menjamin terselenggaranya pilkada yang jujur dan adil, pemerintah seyogianya tidak ragu-ragu memasukkan aturan-aturan yang tertinggal atau yang kurang jelas di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 ke dalam PP Pilkada, seperti tentang tugas KPU Pusat memberikan supervisi dan bimbingan teknis kepada KPU Daerah, rincian bentuk pertanggungjawaban KPU Daerah kepada DPRD, dan keterlibatan masyarakat dalam pembentukan Panwas pemilihan oleh DPRD.
Kedua, untuk mencegah kebingungan para petugas pelaksana pilkada, KPU Pusat hendaknya mengambil langkah antisipatif dengan menyiapkan sejak sekarang rancangan pedoman pilkada yang otomatis bisa dipakai langsung sebagai acuan bagi KPU Daerah jika ternyata judicial review dikabulkan MK.
Ketiga, untuk menjamin kelancaran jalannya kegiatan pilkada, pemerintah daerah yang bakal menggelar pilkada harus mengalokasikan biaya penyelenggaraannya di dalam APBD tahun 2005 seefisien mungkin, dan pemerintah pusat sendiri mesti menyediakan dana bantuan pilkada dalam APBN khususnya bagi daerah-daerah miskin.(Djohermansyah Djohan, Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jakarta)
Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 10 Januari 2004