Pilkada DKI Di Bawah Ancaman Politik Uang dan Intimidasi

Jelang hari pemungutan suara 19 April 2017, persaingan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua semakin sengit. Rilis sejumlah lembaga sigi menunjukkan elektabilitas antara kandidat yang terpaut sangat tipis. Dalam pasar politik, masing-masing kandidat dan/atau tim sukses sangat mungkin melakukan pelbagai cara untuk keluar sebagai pemenang. Kali ini, isu yang mengemuka tidak hanya dugaan kampanye yang membawa-bawa suku, ras, dan agama tertentu, tetapi juga dugaan adanya politik uang dan intimidasi terhadap pemilih.

Politik Uang

Dalam beberapa hari belakangan, media massa disesaki dengan berbagai informasi dugaan politik uang yang dilakukan oleh kandidat, jaringan tim sukses dan partai pendukung. Badan Pengawas Pemilu DKI juga sudah menerima informasi dugaan terjadinya praktek politik uang berupa pembagian sembako oleh pendukung masing-masing kandidat.

Dilihat dari berita dan gambar yang telah tersebar, politik uang tersebut berbentuk pembagian sembako beserta selebaran ajakan untuk memilih calon tertentu. Lebih parahnya lagi, ada dugaan kuat penyebaran sembako ini dilakukan secara sistematis, terstruktur dan massif di sejumlah tempat. Upaya ini tentu tidak bisa dilepaskan akibat gap elektabilitas yang tipis antara masing-masing kandidat.

Harus dipahami, politik uang adalah penyakit lama dan berulang dalam pemilu. Selain merusak pemilu itu sendiri, politik uang membuat biaya pemenangan semakin mahal dan memicu korupsi. UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sudah mengatur sanksi bagi penerima dan pelaku pemberi politik uang itu sendiri yaitu “pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan  denda  paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00.” (Pasal 187A ayat 1 dan 2).

Walau telah dilarang dan ditetapkan sanksinya, politik uang tidak hilang dari pemilu. Selain kemiskinan, permisifisme, politik uang juga marak terjadi karena kelemahan penegakan hukum pemilu disinyalir sebagai salah satu penyebab.a Hal ini menunjukkan adanya sikap acuh tak acuh dari pelaku dan belum munculnya efek jera dalam kasus politik uang.

Cara instan yang diterapkan ini, apabila benar terjadi, merusak integritas pasangan calon, pemilu, dan proses demokratisasi di Jakarta. Siapapun pelaku intelektualnya, baik itu tim sukses yang terdaftar atau pun tidak, Bawaslu DKI harus terus memproses dengan cepat kejahatan pemilu ini demi terwujudnya pemilu yang berintegritas dan munculnya efek jera politik uang. Pelaku dan penerima politik uang ini dapat dikenai sanksi pidana dan denda dalam Pasal 187A ayat 1 dan 2.


Pola dan Modus Politik Uang

Masa Tenang dan Hari H


Pelaku

Target

Bentuk Pemberian

Modus

Waktu

Langsung:

1.     Kandidat

2.     Tim sukses terdaftar

Pemilih secara luas

Janji uang atau materi (langsung/ programatik)

Diucapkan saat berkampanye atau menemui warga

Kampanye, paska terpilih

Tidak Langsung:

1.     Tim sukses tidak terdaftar/ Simpatisan

2.     Masyarakat (Ketua RT, broker pemilu, tokoh masyarakat, dll)

Individu, keluarga, pemilih dalam satu kawasan tertentu (RT, RW, dll), petugas pemilihan

Uang, sembako, alat ibadah, voucher pulsa, discount/ kupon pembelian barang, pembangunan jalan/ tempat ibadah, dll

Diberikan secara tunai door to door, pra bayar/ paska bayar (sebelum/ setelah pemungutan suara), memborong suara satu keluarga atau kelompok masyarakat.

Kampanye, hari tenang, hari pemungutan suara, penghitungan suara

Selain menindak tegas sesuai regulasi yang saat ini berlaku, antisipasi politik uang di kemudian hari perlu dilakukan dengan memperketat pengaturan, pengawasan, audit, dan sanksi dana kampanye. Dana kampanye saat ini seolah telah diatur secara tegas dalam UU namun jauh dari pengawasan yang substansial.

Pemantauan ICW terhadap dana kampanye pemilu presiden, legislatif, dan pilkada sebelumnya, laporan dana kampanye belum mencerminkan realisasi penerimaan dan pengeluaran kandidat. Masih terdapat penerimaan dan pengeluaran yang tidak tercatat dalam pemilu. Pengeluaran dalam bentuk pemberian uang kepada pemilih adalah salah satu bentuk penerimaan dan pengeluaran yang selama ini tidak dicatat.

KPU dan Bawaslu sebagai wasit dalam penyelenggaraan pemilu perlu memastikan semua penerimaan kandidat tercatat dalam laporan dana kampanye dan menelusuri seluruh aktivitas pengeluaran, baik yang dilaporkan maupun tidak. KPU dan Bawaslu tidak bisa hanya mengandalkan kejujuran kandidat dalam pencatatan dan pelaporan serta audit kepatuhan laporan dana kampanye. Lebih dari itu, KPU dan Bawaslu perlu menerapkan pengawasan pendanaan kampanye sejak kampanye dimulai hingga pemenangan selesai. Hasil pengawasan ini penting menjadi data pembanding dalam proses audit.

Mengenai dana kampanye, dua pasang calon Pilkada DKI sama-sama mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Basuki-Djarot dalam dua putaran mengeluarkan sedikitnya Rp 85,4 Miliar dan Anies-Sandi sedikitnya Rp 82,6 Miliar. Jika dibandingkan dengan dana kampanye daerah lain atau Pilkada DKI 2012, dana kampanye Pilkada DKI 2017 yang dimulai sejak akhir Oktober 2016[1]tergolong tinggi. Pada 2012, Foke-Nara menghabiskan dana sedikitnya Rp 62,6 Miliar dan Jokowi-Ahok sedikitnya Rp 16,1 Miliar. Padahal, pada Pilkada 2017, telah diterapkan subsidi dana kampanye. Melihat tingginya dana kampanye walau telah ada subsidi dana kampanye, pos-pos pengeluaran kandidat perlu ditelusuri.

Intimidasi Pemilih

Selain politik uang, kejahatan pemilu lain yang muncul dalam kontestasi kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI adalah intimidasi kepada pemilih. Polda Metro Jaya dan Bawaslu DKI Jakarta menyebut telah menerima banyak informasi adanya intimidasi ini.

Intimidasi dilakukan secara langsung maupun tidak dan berdampak pada terganggunya rasa nyaman pemilih serta prinsip bebas dalam pemilu. Bentuknya pun beragam, mulai dari pemasangan spanduk yang bernuansa intimidasi hingga ajakan untuk memilih atau tidak memilih pasangan calon tertentu secara intimidatif.

Memilih adalah hak. Oleh karena itu, kebebasan dalam menentukan pilihan harus dihormati, dihargai, dan dilindungi. Walau Polda dan penyelenggara pemilu telah melakukan langkah-langkah antisipasi, pasangan calon, tim sukses, dan masyarakat perlu sama-sama menyadari bahwa intimidasi terhadap pemilih adalah kejahatan pemilu yang harus dihindari.

Sama halnya dengan politik uang, telah ada larangan dan sanksi intimidasi dalam UU Pilkada. Pasal 182A menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih dipidana penjara minimal 24 bulan dan paling banyak 72 bulan atau enam tahun.”

Selain politik uang dan intimidasi pemilih, hal lain yang patut diawasi dalam Pilkada DKI adalah proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi penghitungan suara. Proses ini tidak kalah rawan mengingat merupakan babak penentu calon terpilih. Berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya, ada banyak kecurangan yang potensial dilakukan pada tahap ini. Salah satunya adalah pemilih tambahan fiktif dengan modus menggunakan DPTb sepanjang surat suara masih tersedia.

Politik uang, intimidasi pemilih, dan bentuk-bentuk pelanggaran atau kecurangan lain dalam pilkada ini patut diawasi dan diantisipasi bersama. Langkah antisipasi yang diambil oleh penyelenggara pemilu dan kepolisian patut diapresiasi dan ditingkatkan serta didukung oleh komitmen kandidat, tim sukses, simpatisan, dan masyarakat luas demi terciptanya Pilkada DKI yang berintegritas.

Oleh karena itu, Koalisi mengajak:

1.     Pasangan calon, tim sukses, dan simpatisan kandidat Pilkada DKI 2017 untuk terus menjaga integritas pilkada dari segala bentuk politik uang, intimidasi pemilih, dan kecurangan-kecurangan dalam pemungutan serta penghitungan suara.

2.     Pemilih DKI Jakarta untuk tidak menerima politik uang dan segera melaporkan dugaan politik uang ke pengawas pemilu.

3.     Pengawas pemilu dan penegak hukum pemilu untuk memperketat pengawasan, langkah-langkah antisipasi, serta dengan cepat menindak informasi, temuan, dan laporan kecurangan pemilu.

4.     Bawaslu DKI mempercepat proses penindakan dugaan politik uang.


Jakarta, 18 April 2017

Indonesia Corruption Watch, Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi, Ikatan Alumni Universitas Indonesia




[1] Basuki-Djarot sejak 24 Oktober 2016 dan Anies-Sandi sejak 21 Oktober 2016 (KPU, 2017)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan