Pidana Mati untuk Dicky

Dari tokoh-tokoh penting yang telah dan sedang menjalani proses hukum dalam kasus pembobolan Bank BNI Cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,2 triliun yang dilakukan Grup Gramarindo, tuntutan pidana mati bagi Dicky Iskandardinata merupakan tuntutan hukum tertinggi yang pernah dijatuhkan jaksa penuntut umum.

Sebelumnya pengadilan menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada mantan konsultan investasi perusahaan Grup Gramarindo, Adrian Waworuntu, dan mantan Kepala Bidang Pelayanan Nasabah Luar Negeri Bank BNI Cabang Kebayoran Baru Edy Santosa. Hukuman seumur hidup yang dijatuhkan itu sesuai tuntutan jaksa.

Lalu, bagaimana menjelaskan tuntutan pidana mati untuk Dicky? Dapatkah tuntutan pidana mati itu menjadi titik penting penanganan kasus korupsi ke depan?

Masuk akal
Tuntutan pidana mati untuk Dicky menimbulkan banyak penafsiran. Perbedaan tafsir timbul karena di antara para tokoh penting yang terlibat kasus pembobolan ini hanya Dicky yang dituntut pidana mati. Padahal, peran yang dilakukan tokoh lain tidak kalah penting dibandingkan dengan peran Dicky. Misalnya, peran Adrian Woworuntu dan Edy Santosa yang hanya dituntut hukuman seumur hidup.

Dengan adanya perbedaan tuntutan jaksa, sebagian kalangan berspekulasi, ancaman hukuman lebih tinggi itu terkait berbagai keterangan Dicky yang mampu mengurai aliran dana dari Bank BNI Cabang Kebayoran Baru. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan keterangan Dicky menjadi titik penting terkuaknya praktik suap selama penyidikan yang melibatkan banyak perwira tinggi di Mabes Polri.

Namun, saya tak ingin terbawa spekulasi itu. Secara hukum, tuntutan jaksa masuk akal. Berdasarkan berita Kompas (7/6), tuntutan pidana mati diberikan karena Dicky sengaja menempatkan kekayaan yang diketahui atau diduga merupakan hasil pencairan surat kredit dengan dokumen fiktif di Bank BNI Cabang Kebayoran Baru oleh Grup Gramarindo ke dalam penyedia jasa keuangan. Tindakan itu dilakukan Dicky untuk menyamarkan asal usul kekayaannya itu.

Tidak hanya itu, menurut jaksa, tindakan Dicky bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan KKN dan dilakukan saat negara dalam keadaan krisis. Apalagi, tambah jaksa, Dicky merupakan residivis, pernah dihukum berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan tetap pada perkara pidana Bank Duta. Dalam kasus Bank Duta tersebut Dicky tidak membayar uang pengganti.

Atas argumentasi itu, tindakan Dicky memenuhi anasir UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 Ayat 1 UU No 31/1999 menegaskan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak satu miliar rupiah.

Ancaman pidana mati didasarkan pada peluang hukum yang ada dalam Pasal 2 Ayat 2 UU No 31/1999, tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhkan pidana mati. Kemudian, Penjelasan dalam Pasal 2 Ayat 2 ditegaskan, yang dimaksud keadaan tertentu yaitu jika tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan bahaya, bencana alam nasional, atau saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Berdasarkan ketentuan itu, semua tokoh penting dan aparat penegak hukum yang ada di balik pembobolan Bank BNI Cabang Kebayoran Baru mestinya juga dapat dituntut hukuman mati. Selain dilakukan di tengah krisis ekonomi, pembobolan itu berdampak luas terhadap perekonomian negara, terutama sektor perbankan. Meski hukuman seumur hidup masih masuk akal, hukuman mati akan membawa pesan amat jelas dalam agenda pemberantasan korupsi.

Titik penting
Sebenarnya jika dilihat dari kasus-kasus korupsi yang muncul dalam beberapa tahun terakhir, hampir semua kasus dapat dijangkau dengan klausul keadaan tertentu yang ada dalam Pasal 2 Ayat 2 UU No 31/1999. Praktik korupsi tidak hanya terjadi saat Indonesia dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, namun juga meluas di daerah yang mengalami bencana alam.

Selama ini, tidak ada jaksa yang berani menuntut hukuman mati bagi pelaku korupsi. Pengalaman China membuktikan, hukuman mati amat ampuh guna mengurangi praktik korupsi. Apalagi melihat kuantitas dan kualitas korupsi yang terjadi, hukuman mati akan menjadi salah satu cara ampuh untuk memberi shock therapy guna menghambat laju praktik korupsi.

Karena itu, langkah jaksa menuntut Dicky dengan pidana mati harus dijadikan starting point dalam agenda pemberantasan korupsi. Artinya, dalam memberikan tuntutan pidana mati, kejaksaan tidak boleh berhenti hanya sampai kasus Dicky. Jika hanya berhenti di situ, spekulasi di atas bisa benar adanya, tuntutan pidana mati hanya untuk Dicky Iskandardinata.

Saldi Isra, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang

Tulisan ini disalin dari Kompas, 9 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan