Petugas Pajak Divonis Enam Tahun

Dedy Suwardi, pegawai pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat, divonis enam tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dia terbukti bersalah menerima suap atas jasa menurunkan kewajiban pajak Bank Jabar tahun 2001-2002.

”Terdakwa terbukti turut serta melakukan korupsi,” kata ketua majelis hakim Herdin Agusten, Selasa (11/1). Dedy dinilai bersalah melanggar Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Selain memvonis hukuman penjara, hakim juga menghukum terdakwa membayar denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yang meminta terdakwa dihukum tujuh tahun enam bulan penjara.

Menurut Herdin, hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa berdampak buruk bagi penerimaan negara di sektor pajak. Hal yang meringankan, terdakwa sudah mengembalikan semua uangnya, menyesal, memiliki tanggungan keluarga, dan belum pernah dihukum.

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyebutkan, Dedy, selaku supervisor, turut serta bersama Edy Setiadi (Kepala Kantor Pajak Bandung I) bernegosiasi dengan PT Bank Jabar guna menurunkan pajak terutang bank tersebut.

Setelah negosiasi, nilai pajak terutang PT Bank Jabar tahun 2001 mengalami pengurangan dari Rp 129,2 miliar menjadi Rp 9,97 miliar. Tahun 2002 berkurang dari Rp 51,8 miliar menjadi Rp 7,2 miliar.

Dedy menerima uang itu dengan dalih sebagai dana konsultasi dari pengurangan nilai pajak terutang tahun 2001 sebesar Rp 150 juta dan tahun 2002 sebesar Rp 400 juta. Uang itu diterima pada tahun 2004.

Total uang yang diberikan PT Bank Jabar kepada pegawai Kantor Pajak Bandung I selama dua tahun mencapai Rp 1,55 miliar. Selain kepada Dedy, uang itu juga diberikan kepada Edy Setiadi. Tiga pemeriksa pajak lainnya, yaitu Roy Yuliandri, Muhammad Yazid, dan Dien Rajana Mulya, juga mendapat bagian. Mereka masing-masing dihukum 3 tahun, 2 tahun, dan 1,5 tahun penjara.

Berbeda pendapat
Dalam sidang itu, dua hakim anggota, yaitu I Made Hendra dan Hendra Yospin, mengajukan pendapat berbeda. Keduanya menilai Pengadilan Tipikor di Jakarta tidak berwenang mengadili terdakwa.

Menurut Made, perkara terdakwa dilimpahkan setelah Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor diberlakukan. Sesuai UU tersebut, dalam kurun dua tahun sejak diundangkan, Pengadilan Tipikor harus sudah dibentuk di setiap ibu kota provinsi. ”Jika belum ada, berkas akan dilimpahkan ke pengadilan negeri setempat,” kata Made.

Hendra Yospin menambahkan, ”Yang berwenang mengadili terdakwa adalah PN Bandung karena lokasi kejadian di wilayah mereka. Terlebih sekarang Pengadilan Tipikor di Bandung telah terbentuk.” (AIK)

Sumber: Kompas, 12 januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan