Pesta Anggaran Belum Berakhir [12/06/04]

SEJUMLAH anggota DPRD di Sumatera Barat, Kalimantan Barat, atau Kabupaten Garut (Jawa Barat) sedang menanti ganjaran hukum menyusul aksi korupsi setelah pesta anggaran APBD. Di saat sama anggota DPRD Kalimantan Timur sedang menanti kompensasi uang asuransi menjadi tali asih Rp 500 juta sebelum mengakhiri masa tugas mereka. Pesta pora anggota DPRD dengan menggunakan uang rakyat ternyata belum berakhir.

AKSI anggota legislatif dan eksekutif memanfaatkan uang rakyat dengan cara saksama dalam tempo sesingkat-singkatnya kini mulai menuai badai. Era pelaksanaan otonomi daerah memang menjadi masa keemasan penyalahgunaan anggaran dengan dalih kewenangan mengajukan anggaran.

Sebagai contoh adalah Kalimantan Timur. Saat anggota DPRD mengakhiri masa bakti, mereka mendapat pemutihan mobil dinas. Kehidupan mewah belum lagi berakhir bagi mereka setelah lima tahun mengurus anggaran triliunan rupiah di provinsi kaya itu.

Menurut Koordinator Hubungan Antar Lembaga Kelompok Kerja 30 (Pokja 30) di Samarinda, Kalimantan Timur, Senci Han Serang Kadir, konversi dana asuransi anggota dewan menjadi uang tali asih merupakan pelanggaran hukum. Namun, keganjilan juga tampak di eksekutif. Menjelang akhir jabatan DPRD, gubernur Kaltim sibuk merenovasi rumah dinas yang megah dengan dana sebesar Rp 40 miliar, jauh di atas rumah yang baru dibeli penyanyi Inul Daratista di bilangan Pondok Indah, Jakarta.

Kaltim merupakan salah satu aib penggunaan dana APBD. Gedung DPRD dan kantor gubernur yang megah ternyata tidak sebanding dengan deretan rumah reyot dan perkampungan kumuh Kota Samarinda. Padahal penduduk provinsi yang memiliki anggaran triliunan rupiah itu hanya sekitar 2,5 juta jiwa.

Mengakses dokumen APBD di tingkat provinsi atau kabupaten dan kota di Kaltim secara keseluruhan tergolong sulit. Padahal APBD adalah dokumen publik, masyarakat berhak mengetahui penggunaan uang mereka secara rinci, kata Senci Han yang bersama sejumlah aktivis berusaha memantau alokasi APBD.

Tali asih sebesar Rp 1 miliar juga sempat menjadi wacana di Kabupaten Kutai Kartanegara. Untunglah yang terealisasi, lanjut Senci, pemutihan mobil dinas. Aksi pemutihan-pengalihan menjadi milik pribadi- mobil dinas legislatif dan eksekutif kini sedang menjadi tren di Kalimantan Timur. Namun, belum diketahui apakah pemutihan massal tersebut sudah sesuai dengan prosedur.

Apa pun yang terjadi, DPRD provinsi dan kabupaten serta kota di Kalimantan Timur masih dapat hidup nyaman relatif tidak tersentuh tangan hukum. Demikian pula para anggota DPRD di provinsi lain di Indonesia yang belum merasakan status tersangka seperti di sejumlah daerah yang kini menuai buah perbuatan mereka akibat aksi korupsi bersama.

AWAL korupsi massal di DPRD semasa otonomi daerah bermula saat Mahkamah Agung (MA) menyatakan pembatalan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000. Peraturan pemerintah ini sebetulnya secara substantif memberi batasan tegas alokasi keuangan DPRD dengan norma yang wajar ternyata secara asas formal hukum bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.

MA menerima permintaan uji materi dari DPRD Sumatera Barat-yang kelak mereka menjadi terpidana-mengambil putusan hukum berdasarkan pertimbangan asas lex superiori derogat lex inferiori atau hukum lebih tinggi (UU) mengalahkan hukum di bawahnya (PP). Padahal, secara substansi, rasa keadilan, dan kenyataan di lapangan, isi PP Nomor 110 Tahun 2000 lebih bermanfaat bagi masyarakat demi mengamankan penggunaan uang rakyat.

Pengamat otonomi daerah Zudan Arif Fakrulloh berkata PP No 110/2000 sebetulnya menjadi panduan agar DPRD tidak membuat anggaran melampaui plafon lembaga eksekutif. Tindakan hukum sejumlah kejaksaan terhadap dugaan korupsi oleh anggota DPRD akibat penyalahgunaan anggaran dewan di beberapa daerah sesungguhnya merupakan tindakan terlambat.

Upaya menumpas korupsi harus berlangsung tegas dan cermat, janganlah semata menggunakan dakwaan pelanggaran PP No 110/2000 sebagai dasar tuntutan. Sebabnya adalah PP ini dan Surat Edaran Mendagri penggantinya belumlah sempurna karena membuat norma dan pembatasan tetapi tidak ada sanksi terhadap pelanggaran, kata Zudan. Judicial review MA di lain pihak tidak melihat realitas di lapangan betapa otonomi daerah membuka peluang bagi pihak legislatif sedemikian bebas, bahkan dalam menyusun dan penggunaan anggaran. Realitas lapangan ternyata harus tersingkir demi pendekatan asas hukum tanpa mengindahkan kenyataan.

Karena telanjur muncul keputusan MA, masih ada pendekatan untuk menggunakan PP No 110/2000 melalui asas rule of recognition. Secara sosiologis tetap ada pengakuan bagi PP No 110/2000. Setidaknya itu tecermin dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 161/3211/SJ tentang Pedoman Kedudukan Keuangan Pemimpin dan Anggota DPRD.

Keberadaan sebuah peraturan pemerintah sebetulnya muncul karena kebutuhan faktual. Mengubah sebuah undang-undang memerlukan waktu lama sehingga antisipasi bisa saja melalui pembuatan peraturan pemerintah. Inilah yang terjadi antara PP No 110/2000 dan Undang-Undang No 25/1999. PP No 110 merupakan antisipasi terhadap kemungkinan penyimpangan keuangan di daerah karena persoalan ini belum tercakup dalam UU No 25/1999.

Zudan menambahkan ketiadaan batasan penggunaan keuangan merupakan bom waktu karena dapat memicu kebangkrutan keuangan daerah, ketidakpatuhan terhadap hukum dengan dalih otonomi daerah, friksi antara pemerintah pusat dan daerah, friksi kabupaten/ kota dengan provinsi, friksi antara pemerintah kabupaten dan kota.

Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) P Agung Pambudhi membenarkan kisruhnya alokasi APBD. Penelitian terhadap komitmen APBD 200 kabupaten dan kota se-Indonesia memperlihatkan rasio yang timpang. Besaran dana pembangunan rata-rata ternyata hanya mencapai 29 persen.

Angka tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian lain yang mencatat anggaran pembangunan hanya sebesar 17 persen. Dengan kata lain, hampir sebagian besar uang rakyat dan kekayaan negara terserap untuk membiayai birokrasi dan badan legislatif di seluruh Indonesia!

Ini terjadi karena belanja rutin demikian besar, pembiayaan tinggi terhadap aparatur pemerintahan dan adanya pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu. Indikator terhadap kemungkinan penyimpangan juga bisa terlihat dari besaran retribusi terhadap pajak. Jika pemasukan retribusi lebih besar daripada pajak, ini akan mengakibatkan ekonomi berbiaya tinggi.

Kemungkinan membesarkan anggaran bagi legislatif bisa terjadi dengan menggenjot pendapatan asli daerah atau PAD melalui pelbagai pungutan yang mengada-ada. Logikanya adalah dengan PAD yang semakin besar menjadi pembenaran untuk meningkatkan anggaran DPRD. Sering kali untuk kepentingan jangka pendek peningkatan PAD merupakan kiat mencitrakan keberhasilan pembangunan suatu daerah. Padahal keberhasilan pembangunan sebetulnya terlihat dari peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB), bukan PAD!

NASI sudah menjadi bubur, kini jeruji penjara menjadi antiklimaks terhadap pesta APBD anggota DPRD. Praktikus hukum Todung Mulya Lubis secara tegas menyatakan hukuman bagi perkara korupsi pejabat publik harus maksimal. Bahkan pidana bagi anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus mendapat tambahan sepertiga dari pidana pokok!

Aparat harus segera mengambil tindakan tegas mengingat para pejabat publik pelaku korupsi sudah menyalahi peran sosial mereka sebagai pemberi teladan bagi rakyat. Komisi Pemberantasan Korupsi juga harus terlibat aktif menangani korupsi legislatif. Rangkaian kasus korupsi ini sudah sangat merugikan publik, kata Todung Mulya Lubis.

Pihak partai harus segera mencopot anggota dewan bermasalah semasa proses hukum berlangsung demi mengajarkan budaya politik yang benar. Mereka tidak boleh menggunakan dalih asas praduga tak bersalah demi mempertahankan kedudukan.

Pengamat hukum Hamid Awaluddin menambahkan untuk mencegah korupsi anggaran, perlu perimbangan kekuatan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Salah satu kiat adalah pemilihan kepala daerah langsung untuk menghindari utang budi politik kepada DPRD seraya menguatkan lembaga penegak hukum. Tak ketinggalan keberadaan pers bebas dan kontrol masyarakat terhadap rincian penggunaan APBD merupakan salah satu cara mengawasi penggunaan uang rakyat.

Lembaga peradilan saat ini masih berisi personel berkemampuan rendah. Mereka juga terikat dalam pola patron-klien dengan lembaga eksekutif, kata Hamid. Saat ini sebagian besar lulusan terbaik perguruan tinggi justru bekerja di sektor swasta. Untuk itu, pemerintah harus jeli meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama aparat hukum. Sistem perekrutan harus memiliki standar tinggi, tanpa itu kecerdasan SDM yang rendah akan memicu korupsi.

Pegawai berkemampuan intelektual rendah cenderung berpikir pendek mencari jalan pintas termasuk dalam soal kesejahteraan. Demikian pula kualitas SDM yang rendah membuat seseorang tidak laku di bursa kerja sehingga ketika dia mendapat posisi akan cenderung melakukan korupsi. Perilaku ini tidak ada kaitannya dengan iman dan takwa seseorang. Masyarakat kita masih mudah terkecoh oleh perilaku para koruptor yang berlindung di balik simbol keagamaan.

Zudan Arif Fakrulloh berharap di masa mendatang masyarakat benar-benar terlibat dalam penyusunan APBD sehingga terjadi pengawasan langsung. Sejak awal proses pembahasan hingga pengesahan, masyarakat berhak mengetahui secara rinci penggunaan uang rakyat.

Selama ini berkembang pandangan dokumen APBD termasuk anggaran DPRD merupakan hal rahasia. Padahal segala sesuatu yang tercantum dalam peraturan daerah dan lembaran daerah seperti APBD merupakan dokumen publik, kata Zudan. Pengumuman APBD di media massa dalam hitungan global saja tidaklah cukup. Masyarakat harus mengetahui alokasi anggaran hingga satuan tiga atau rincian akhir untuk mengawasi penggunaan uang rakyat.

Pihak eksekutif dan legislatif tidak boleh mengelak terhadap tuntutan ini karena pada dasarnya sebuah pemerintahan yang sehat harus memenuhi unsur transparansi, akuntabilitas, dan rule of law.

Meski kejaksaan dan kepolisian agak terlambat menangani kasus korupsi DPRD, upaya ini harus tetap berlanjut. Jangan hanya terjadi menjelang pemilihan presiden saja. Kepala Polri dan Jaksa Agung harus memerintahkan seluruh bawahan di provinsi, kabupaten, dan kota untuk secara aktif memeriksa dan memantau penggunaan APBD.

Posisi laporan keuangan DPRD selama ini membingungkan karena pihak legislatif yang bertindak sebagai pengawas justru harus mempertanggungjawabkan keuangan. Namun, pertanggungjawaban tersebut justru menjadi bagian pihak eksekutif, yakni laporan bupati atau wali kota.

Siapa mengontrol siapa? Tentunya ini dapat menimbulkan persekongkolan eksekutif dan legislatif karena mekanisme pertanggungjawaban DPRD tidak jelas. Hasilnya: pesta anggaran belum lagi berakhir! (Iwan Santosa)

Sumber: Fokus Kompas, 12 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan