Pesan dari Demo Antikorupsi
Saat berkomunikasi, setiap orang pasti mempunyai tujuan tertentu. Itulah salah satu prinsip komunikasi.
Namun, maksud komunikasi bisa bersifat eksplisit, yang menjadi sasarannya, bisa juga implisit, sasaran tersembunyi.
Maka, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya tak salah saat mengimbau agar pengunjuk rasa memperingati Hari Antikorupsi Sedunia tetap waspada; jangan sampai ditunggangi pihak tertentu yang memiliki motivasi politik. Mengapa aksi itu bisa ditunggangi pihak lain?
Itulah arti ”maksud tersembunyi”. Pura-pura ikut unjuk rasa untuk menunjukkan kelompoknya bagian dari komunitas antikorupsi, tetapi di balik itu mereka mencari ”udang di balik batu”; mencari kesempatan dalam kesempitan. Tujuannya beragam. Yang jelas, aksi mereka tidak terkait pemberantasan korupsi. Mungkin mereka bermaksud membuat huru-hara; menggoyahkan bahkan menjatuhkan pemerintahan sekarang.
Kita coba analisis apa yang terjadi pada aksi unjuk rasa memperingati Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 2009.
Secara keseluruhan, aksi di Jakarta berjalan aman dan tertib. Lebih dari 5.000 orang berkumpul di seberang Istana Merdeka, sekitar Monumen Nasional. Sejumlah tokoh berorasi, menyanyi, membaca puisi, dan deklarasi di atas ”panggung”. Sempat juga terjadi dorong-mendorong antara mahasiswa dari sebuah universitas swasta dan polisi di Jalan Merdeka Timur sehingga terjadi peningkatan tensi.
Rumor
Namun, aksi diwarnai sejumlah rumor. Siang hari beredar isu, di daerah Raden Saleh, Jakarta Pusat, terjadi rusuh. Sejumlah toko dijarah dan dirusak isinya. Wakil Kepala Kepolisian Resor Jakarta Pusat segera membantahnya. Juga ada rumor, seorang peserta aksi meninggal di Bundaran Hotel Indonesia, salah satu tempat konsentrasi massa. Polisi sigap membantah. Memang ada seorang dari Pemalang meninggal di RS Budi Kemuliaan dan tidak terkait aksi. Anehnya, rumor ini langsung dikabarkan kepada Presiden di Bali.
Aksi massa memang ladang subur tumbuhnya aneka rumor. Salah satu penyebabnya, ada pihak-pihak yang mengail di air keruh. Untuk apa? Itulah maksud tersembunyi tindak komunikasi. Selalu ada pihak yang memanfaatkan aksi keramaian untuk motivasi jahat yang tidak diketahui oleh para pengunjuk rasa.
Berbeda dengan Jakarta, aksi serupa di Makassar diwarnai rusuh meski tidak dalam skala besar. Bentrok antara massa dan polisi pecah saat permintaan pendemo untuk menemui Gubernur Sulawesi Selatan tidak berhasil. Hampir saja terjadi baku hantam massal. Sebagai ”gantinya”, massa melampiaskan kejengkelan dengan merusak sebuah gerai makan cepat saji di Jalan Sam Ratulangi. Tiga mobil yang sedang diparkir di depan restoran itu ikut menjadi korban.
Di Bima, Nusa Tenggara Barat, juga terjadi bentrok antara polisi dan pengunjuk rasa. Penyebabnya sama, massa kecewa sebab permintaan bertemu gubernur tidak terpenuhi. Tidak ada seorang pejabat pemerintah daerah pun yang mau menemui massa. Hal ini amat kontras dengan kejadian di Surabaya. Gubernur Jawa Timur Soekarwo dengan spontan bergabung dengan massa memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Situasi di Surabaya pun aman dan tenteram.
Komunikasi
Komunikasi, itulah kunci penyelesaian tiap masalah manusia. Saat saluran komunikasi tersumbat, apalagi sengaja disumbat, segala kemungkinan bisa terjadi, termasuk peristiwa paling ekstrem. Di mancanegara, termasuk di negeri sendiri, ujung aksi bisa menggulingkan sebuah rezim.
Sayang, sebelum aksi di Jakarta mencapai puncak sekitar pukul 13.00, Presiden Yudhoyono sudah ke Bali. Ini pun berita mengejutkan. Presiden seharusnya menghadiri acara resmi di Makassar. Namun, acara itu dibatalkan, mungkin waswas dengan situasi di Ibu Kota. Tidak satu pihak pun mengetahui jika hari itu presiden dijadwalkan terbang ke Denpasar. Ada apa?
Lebih cantik bila saat keluar Istana, Presiden mendatangi pengunjuk rasa yang berkumpul di seberang kantornya; berdialog basa-basi dengan mereka sekitar lima menit lalu kembali ke Istana. Bukankah malam sebelumnya Presiden berkata, ”Korupsi adalah musuh peradaban; musuh kita semua!” Bukankah para pengunjuk rasa pun melancarkan aksi untuk tujuan yang sama?
Dari Bali, Presiden pasti mengikuti semua aksi unjuk rasa di sejumlah kota. Ia pasti menangkap esensi pesan dari aksi-aksi itu, yaitu agar pemerintah tidak lagi bersandiwara dengan program pemberantasan korupsi.
Yang terpenting, skandal Bank Century harus segera dibongkar. Hukum siapa pun yang terlibat. Rakyat akan gusar dan turun ke jalan lagi, dengan jumlah jauh lebih besar, manakala ada yang menutup upaya pengungkapan skandal ini.
TJIPTA LESMANA Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan
Tulisan ini disalin dari kompas, 11 Desember 2009