Pertimbangkan Panggil Sri Mulyani dan Kwik; Program JPS, Kejati Periksa 14 Saksi
Penyidikan dugaan kasus proyek fiktif program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Bappenas pada 2002 terus bergulir. Tim penyidik sampai kemarin sudah memeriksa sedikitnya 14 saksi dan sedang menyiapkan calon tersangka pimpinan proyek (pimpro) proyek Rp 5,2 miliar tersebut.
Kepala Kejati DKI Darmono mengatakan, tim penyidik saat ini mengevaluasi perlu tidaknya memasukkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan mantan Meneg PPN/Ketua Bappenas Kwik Kian Gie dalam daftar saksi. Kalau memang ada kaitannya tentu akan dipanggil, kata Darmono di Gedung Kejagung, kemarin.
Menurut Darmono, selaku pimpinan, baik Sri Mulyani atau Kwik seharusnya menerima laporan penggunaan anggaran JPS pada 2002 yang diduga fiktif, apalagi pimpro berusaha menutupinya dengan APBN 2005.
Selain itu, kata Darmono, Sri Mulyani juga dianggap mengetahui semua lalu lintas pengeluaran APBN. Mereka seharusnya tahu, tetapi kepastian dipanggil atau tidak, itu tergantung (hasil evaluasi) nanti, kata mantan kepala Kejari Jakarta Barat itu.
Tim penyidik saat ini lebih berkonsentrasi memanggil para saksi dari kalangan pelaksana. Dari Gedung Kejati DKI, tim penyidik memanggil beberapa saksi yang merupakan pelaksana program JPS 2002. Sayangnya, nama-nama para saksi belum diketahui.
Saya nggak ingat siapa-siapa para saksinya. Yang pasti, mereka bukan pejabat eselon I, apalagi menteri. Mereka hanya para pelaksana, kata Kasi Penyidikan Pidana Khusus (Pidsus) Kejati DKI Made Suarnaman saat dihubungi koran ini, kemarin. Sesuai rencana, tim penyidik akan melanjutkan pemanggilan para saksi beberapa hari ini.
Menurut Made, para tersangka kemungkinan kuat berasal dari pimpinan proyek (pimpro) dari Bappenas.
Dalam kasus ini, tim penyidik menemukan indikasi awal terjadinya perbuatan melawan hukum dan kerugian negara. Ini terkait pelaporan pelaksanaan sebagian program JPS secara fiktif yang merugikan negara senilai USD 203 ribu (Rp 1,84 miliar). Nilai program JPS-nya sendiri berkisar USD 573 ribu (Rp 5,2 miliar) berasal dari bantuan Bank Dunia pada 2002.
Dari penyelidikan tim intelijen, ditemukan dugaan penyalahgunaan enam pelayanan JPS yang dilaksanakan secara fiktif. Hingga berakhirnya pelaksanaan proyek, Bank Dunia menolak laporan akhir sang pimpro.
Enam pelayanan yang diduga dilaporkan fiktif meliputi pelatihan JPS, biaya sewa konsultan, pekerjaan sewa rumah, percetakan, penyewaan kompleks dan sewa kendaraan.
Pelaporan fiktif proyek JPS ini bertentangan dengan Keppres No 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di Instansi Pemerintah. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 11 April 2007