Pertentangan Meruncing; Beda Penafsiran Dewan Pers dan Menhan atas RUU Rahasia Negara

Pertentangan antara pemerintah dan kalangan masyarakat sipil semakin meruncing, terkait perlu tidaknya Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara versi Departemen Pertahanan terus dibahas sampai disahkan oleh DPR dan pemerintah.

Dalam diskusi yang digelar Dewan Pers, Kamis (13/8), pemerintah yang diwakili Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menegaskan, RUU Rahasia Negara diperlukan dan proses pembahasannya harus berlanjut. Sebaliknya, Dewan Pers, perwakilan media massa, dan LSM meminta proses itu segera dihentikan mengingat banyaknya pasal bermasalah. ”Dalam UU Pokok Pers, pers diamanatkan untuk menjadi profesional, berperan memperjuangkan keadilan serta kebenaran, melaksanakan fungsi kontrol, kritik, koreksi, sekaligus buat memenuhi hak rakyat untuk tahu,” ujar anggota Dewan Pers, Leo Batubara.

Namun, lanjutnya, untuk menjalankan amanat itu, media massa dan jurnalis masih harus berhadapan dengan banyak ”tembok besar” berhubung masih adanya keinginan pemerintah mengkriminalisasi pers, baik lewat aturan hukum yang ada maupun dalam produk UU baru.

”Dalam revisi KUHP saja ada 37 pasal yang bisa mengirim wartawan ke penjara. Sepanjang tahun 2008, pemerintah dan DPR juga memproduksi dua UU yang dapat membredel media cetak dan juga tiga produk UU lain yang mengkriminalisasikan pers. Sekarang, apa mau ditambah lagi dengan RUU Rahasia Negara?” sergah Leo.

Leo mencontohkan, Pasal 49 RUU Rahasia Negara berpotensi menjadi aturan pembredelan baru terhadap media massa. Dalam pasal itu, korporasi bisa dipidana dengan ditetapkan di bawah pengawasan, dibekukan, dicabut izinnya, atau bahkan sampai ditetapkan menjadi sebuah korporasi terlarang.

Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah menilai, baik pemerintah maupun legislatif masih memiliki semangat negatif untuk membalas dendam dengan berupaya terus menghancurkan, mematikan, membredel, dan membungkam media massa lewat aturan UU yang mereka buat. Semangat itu tidak hanya muncul dalam RUU Rahasia Negara, tetapi juga dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

Menanggapi itu, Juwono mengatakan, bukan masalah jika terdapat perbedaan penafsiran soal pasal tertentu dalam RUU Rahasia Negara akibat perbedaan kepentingan. Namun, menurut dia, dalam dunia global saat ini telah terjadi pergeseran kepemilikan kekuatan dari yang sebelumnya didominasi negara menjadi juga dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta.

Dengan begitu, perusahaan bermodal kuat dapat memengaruhi dan mendominasi kekuatan-kekuatan politik, sosial, dan ekonomi sehingga bisa memengaruhi sebuah kebijakan dan keputusan yang diambil negara.

”Saya bisa terima, (kekuasaan) negara di mana pun memang harus dicurigai, terutama oleh pers, sehingga dia harus dibatasi dengan yang namanya kekuatan opini publik. Namun, harus juga diingat, jangan sampai kemerdekaan pers jadi kekuatan tandingan yang melebihi kekuatan negara,” ujar Juwono.

Juwono mengkritik pers yang terkesan menganggap diri selalu benar dan tidak bisa disalahkan. Apalagi jika sampai ada pemberitaan yang menghakimi, memfitnah, atau membohongi masyarakat dengan mengatasnamakan kebebasan pers. (DWA)

Sumber: Kompas, 14 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan