Pertanggungjawaban Reses DPR

Masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat RI sudah dibuka kembali pada 16 Agustus 2006, tepat sehari setelah masa reses anggota DPR RI selesai.

Dimulainya masa persidangan kali ini merupakan momentum yang baik bagi anggota DPR untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap kegiatan reses, yang dilakukannya selama kurang-lebih tiga minggu di daerah pemilihan masing-masing.

Pentingnya pertanggungjawaban hasil reses, pertama, untuk menjawab gencarnya sorotan publik yang memasalahkan naiknya alokasi dana reses bagi setiap anggota DPR. Kedua, untuk mengukur penyerapan aspirasi yang dilakukan dan kaitannya dengan pelaksanaan fungsi DPR ke depan.

Kedua hal di atas sangat penting diketahui melihat posisi reses sebagai mekanisme penting di DPR ketika anggota dapat bertemu langsung dengan konstituen dan melakukan dua hal sekaligus: mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya atas mandat dari rakyat pemilih dan menyerap hal-hal yang harus diperjuangkan di masa persidangan mendatang. Naiknya anggaran reses, menurut penulis, merupakan kabar baik karena diharapkan reses dapat lebih menjangkau basis-basis konstituen yang selama ini tidak tersentuh. Yang terjadi selama ini, reses umumnya hanya digunakan untuk kunjungan basis yang tidak lain kantor sekretariat partai masing-masing. Naiknya anggaran juga dapat mengurangi kecenderungan anggota DPR sebagai pejabat pusat yang kerap kali difasilitasi oleh pemerintah daerah dari dana anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk keperluan penginapan, transportasi, dan lainnya.

Jika ketergantungan pada daerah terus berlangsung, daya kritis anggota DPR terhadap proyek-proyek daerah, terutama yang dibiayai APBN, akan semakin tergerus. Adanya alokasi yang sering disebut sebagai pos koordinasi instansi vertikal di beberapa dokumen anggaran daerah juga menyulitkan pertanggungjawaban anggaran di daerah dan sering menjadi faktor pendorong terjadinya korupsi, terutama berkaitan dengan pengurusan dana alokasi umum (DAU) untuk daerah. Di beberapa daerah yang berencana dimekarkan, alokasi ini juga kerap menjadi pos untuk mempengaruhi anggota DPR dan pejabat pusat untuk memuluskan pembahasan rancangan undang-undang daerah yang dimekarkan.

Kinerja anggaran
Untuk menghindari jebakan-jebakan korupsi seperti di atas, peningkatan alokasi reses DPR menjadi beralasan. Tapi pengelolaan anggaran ini di tingkat DPR masih bermasalah. Alokasi yang cukup besar untuk setiap anggota Dewan (masing-masing mendapatkan Rp 31,5 juta ditambah ongkos transportasi), seharusnya tidak hanya dipertanggungjawabkan setara dengan kas atau sekadar bukti pengeluaran kas yang ditandatangani anggota DPR yang menerima. Bukti pertanggungjawaban keuangan seharusnya menjangkau kenyataan ekonomis, yaitu transaksi aktual yang terjadi ketika pelaksanaan penyerapan aspirasi.

Jika anggota DPR melaksanakan forum-forum yang memobilisasi konstituen di suatu tempat, pengeluaran, seperti bukti katering untuk konsumsi, sewa sound system, panggung, dan ruangan, harus dapat dideskripsikan dengan jelas. Bukti-bukti kenyataan ekonomis ini penting untuk mengkonfirmasi tidak hanya apakah benar anggota DPR melakukan temu konstituen di masa reses, tapi juga untuk mengklarifikasi apakah pengeluaran untuk reses benar dilakukan dan dibayar sendiri oleh anggota DPR. Bukti-bukti lain yang menjelaskan pencapaian substansi dan keberhasilan pelaksanaan reses juga perlu disertakan, seperti daftar absen peserta yang datang, rekaman pembicaraan, bahkan jika perlu rekaman visual yang dapat membuktikan besarnya partisipasi masyarakat konstituen dan dinamika jalannya diskusi dalam temu konstituen.

Penjelasan Sekretaris Jenderal DPR bahwa pertanggungjawaban proses reses hanya dilakukan kepada fraksi dan konstituen sangat tidak beralasan, karena reses adalah bentuk aktivitas anggota DPR yang memiliki konsekuensi anggaran dan pada masa reses kemarin dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara. Karena anggaran DPR dari APBN ini juga akan turut diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, panduan aktivitas berikut model pertanggungjawaban keuangannya juga harus dibuat dan diputuskan di tingkat DPR. Bagaimana baiknya agar tidak terlalu mengekang, tapi juga tidak terlalu longgar sehingga menjadi mudah diselewengkan. Pemimpin ataupun fraksi di DPR juga harus kritis melihat hal ini, karena ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban keuangan dapat menjebak dan menyeret anggota DPR melakukan penyimpangan kode etik dan korupsi, yang pada akhirnya merusak citra partai politik dan DPR pada umumnya.

Representasi dan daya serap
Dalam pelaksanaan reses, isu representasi menjadi signifikan dibicarakan. Dalam riset Indonesia Corruption Watch pada 2004 tentang representasi, ditemukan bahwa 65,4 persen anggota DPR RI sekarang, sebelum menjadi anggota tinggal di Jakarta. Sisanya tinggal di Bekasi (8 persen), Tangerang (5 persen), serta Bogor dan Depok masing-masing 3 persen. Dengan komposisi DPR yang 85 persen anggotanya sebenarnya berasal dari Jakarta dan sekitarnya, reses menjadi tantangan tersendiri. Apakah para anggota ini mampu melebur kembali dengan setiap daerah pemilihannya serta mencoba memahami persoalan yang ada dan menyerapnya untuk kemudian dibawa ke proses kebijakan yang ada di Jakarta. Tentu ini ujian bagi para anggota DPR RI untuk membuktikan bahwa janji-janji kampanye mereka pada saat pemilu, terutama mengenai isu-isu kedaerahan, dapat dijadikan dasar dalam melaksanakan fungsi sebagai anggota DPR, bukan sekadar untuk merebut simpati pemilih pada saat pemilu.

Masa reses harus menjadi titik temu pemberi mandat dan penerima mandat. Meskipun beberapa survei menerangkan bahwa para kandidat banyak tertolong oleh popularitas partai saat pemilu, bukan berarti pertanggungjawaban kepada konstituen pemilih dinomorduakan. Reses harus menjadi sarana pertanggungjawaban mandat dan mekanisme untuk mendapatkan mandat baru. Balik dari daerah pemilihan masing-masing, setiap anggota DPR harus membawa pemetaan masalah dan prioritas dari daerah pemilihan untuk dipertanggungjawabkan di awal masa sidang. Fraksi di DPR juga seharusnya mengambil peran dalam mengumpulkan berbagai persoalan dari hasil reses anggotanya dan membuat semacam peta aspirasi. Peta inilah yang seharusnya dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan proyek dari pusat ke daerah. Praktek percaloan baru-baru ini adalah contoh kekacauan yang bakal terjadi ketika mekanisme ini tidak ada.

Ibrahim Fahmy Badoh, MANAJER DIVISI KORUPSI POLITIK INDONESIA CORRUPTION WATCH

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 26 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan