Persetujuan Antikorupsi
Kewenangan Presiden untuk memberikan persetujuan atas pemeriksaan hukum pejabat negara kembali menjadi topik diskusi yang hangat, utamanya di kalangan para pejuang dan pemerhati isu antikorupsi.
Izinkan saya pada kesempatan penulisan kolom kali ini menuliskannya dan memberikan beberapa penjelasan dan pendapat terkait isu tersebut. Pertama-tama, saya menggunakan istilah ”persetujuan presiden”dan bukan ”izin presiden”, sebagaimana lazim digunakan dalam banyak pemberitaan. Karena, bagi orang hukum, istilah yang berbeda dapat berbeda makna – bahkan keliru.
Penggunaan istilah harus sangat diperhatikan. Meskipun tidak jarang perdebatan yang semata pada persoalan pemakaian istilah menjadi tidak berguna, terlebih jika melupakan inti persoalan yang sesungguhnya. Istilah ”persetujuan presiden” menjadi lebih tepat karena itulah frase yang digunakan dalam hukum positif kita. Tidak hanya satu-dua undangundang, tetapi beberapa.
Di antaranya, UU Pemerintahan Daerah, UU MPR, DPR, DPD dan DPRD, UU Mahkamah Konstitusi, UU Komisi Yudisial, UU Mahkamah Agung, dan beberapa UU lain terkait lembaga negara. Di dalam undang-undang tersebut diatur ketentuan bahwa jika akan ada proses hukum yang terkait pejabat negara, di antaranya kepala daerah dan anggota Parlemen, persetujuan presiden diperlukan. Proses hukum yang dimaksud adalah terkait masalah pidana, dalam hal pejabat negara terkait diperlukan keterangannya baik sebagai saksi ataupun tersangka.
Agaknya pembuat undang-undang menganggap perlu ada proses administratif persetujuan dari Presiden selaku kepala negara.Tidak jelas benar kenapa mekanisme persetujuan Presiden itu diperlukan. Perlu dibuka notulensi pembuatan masing-masing undang- undang tersebut untuk mengetahui original intent pembuat peraturan mengapa persetujuan kepala negara dipersyaratkan.
Dalam peraturan yang lain, persetujuan Jaksa Agung misalnya dipersyaratkan UU Kejaksaan untuk dimulainya proses hukum pidana yang terkait anggota kejaksaan. Salah satu alasan yang mungkin menjadi alasan persetujuan demikian adalah untuk tertib administrasi.Selaku pejabat negara, proses hukum yang penting bagi keberlangsungan jalannya roda kehidupan bernegara perlu diketahui kepala negara.
Dengan demikian,proses yang diperlukan dan kewenangan yang diberikan dalam persetujuan Presiden memang cenderung administratif – tidak lebih. Meskipun––sebagaimana peraturannya–– menyatakan pemberian persetujuan, tentu terbuka peluang persetujuan tidak diberikan.Pilihan kebijakan untuk memberikan persetujuan atau tidak itulah yang harus diputuskan dengan tepat agar sejalan dengan tujuan proses penegakan hukum yang adil dan antikorupsi.
Presiden tentu bukan penegak hukum.Dengan demikian, proses persetujuan Presiden bagi diperiksanya seorang pejabat negara tentu saja bukan proses hukum itu sendiri. Karena itulah,undang-undang sudah mengaturnya dengan tepat: tidak menjadikan persetujuan presiden itu sebagai syarat mutlak bagi berjalannya ataupun berhentinya proses penegakan hukum pidana.
Dalam hal pemeriksaan kepala daerah, jika persetujuan Presiden tidak diberikan dalam jangka waktu 60 hari, proses penegakan hukumnya tidak kemudian berhenti. Undangundang dengan jelas mengatakan proses hukum pidananya dapat terus dilanjutkan. Demikian pula halnya jika yang dimintakan persetujuan adalah anggota Parlemen.Jika dalam waktu 30 hari persetujuan Presiden tidak diberikan, proses hukumnya dapat terus berjalan.
Dengan konsep demikian, pembuat undang-undang memberikan kewenangan persetujuan administratif kepada Presiden, bukan kewenangan eksekusi yang bisa mengintervensi proses penegakan hukum pidana yang sedang berjalan. Karena itu, jikapun ada suatu proses hukum pidana yang tidak berjalan karena alasan menunggu persetujuan Presiden, penegak hukum yang bersangkutan sebenarnya tidak memahami dengan baik aturan yang sudah jelas menyatakan bahwa persetujuan Presiden bukanlah persyaratan mutlak untuk terus atau berhentinya proses penegakan hukum pidana.
Mengapa Presiden dapat tidak menyetujui suatu permohonan persetujuan pemeriksaan pejabat negara? Dalam praktiknya, sangat boleh jadi perkara yang diajukan kepada Presiden adalah persoalan politis, bukan yuridis. Misalnya, menjelang suatu pemilihan kepala daerah, bermunculan kasus-kasus hukum untuk saling menyerang dan menjatuhkan calon kepala daerah.Tidak semua kasus yang muncul itu mempunyai dasar hukum dan bukti yang kuat untuk diproses menjadi kasus pidana, tetapi kepentingan politik telah memengaruhi proses penegakan hukum.
Seharusnya, untuk kasuskasus yang bernuansa nonyuridis demikian aparat kepolisian dan kejaksaan lebih jeli dan tidak memprosesnya, apalagi mengajukan persetujuan pemeriksaan kepada Presiden.Namun, dalam praktiknya, kasus pidana yang sarat kepentingan politik masih saja muncul,dalam kasus demikian Presiden wajar tidak memberikan persetujuan pemeriksaan atas pejabat negara yang dijerat dengan kasus tidak berdasar tersebut.
Tetapi, pilihan kebijakan Presiden untuk tidak memberikan persetujuan – sekali lagi – tidak berarti kasusnya berhenti. Kasusnya dapat berjalan terus, sesuai ketentuan perundangan yang tidak menjadikan persetujuan Presiden sebagai syarat mutlak proses penegakan hukum kepada pejabat negara. Guna menjaga agar proses pemberian persetujuan Presiden terus akuntabel, Sekretaris Kabinet telah membentuk tim yang bertugas membantu Presiden dalam memverifikasi proses persetujuan tersebut.
Saya sendiri – sebagaimana telah disampaikan oleh Seskab Dipo Alam – adalah salah satu anggota tim kecil tersebut. Kami bekerja dengan mekanisme yang sangat ketat. Kami memastikan bahwa setiap permohonan persetujuan yang diajukan sudah lengkap secara administrasi, dan siap untuk ditandatangani Presiden. Meskipun hanya proses administratif,persetujuan Presiden tetap sangat strategis dan menjadi perhatian para pihak, khususnya pejabat negara dan masyarakat luas yang terkait proses hukum pidana yang dimohonkan persetujuannya.
Apalagi jika yang dimohonkan persetujuan adalah dugaan kasus korupsi pejabat negara, persetujuan Presiden sering disalahartikan sebagai proses penegakan hukum itu sendiri. Suatu sudut pandang yang keliru dan sangat salah kaprah, karena justru meletakkan proses persetujuan Presiden ke dalam proses penegakan hukum yang jelas-jelas merupakan kewenangan penegak hukum yang merdeka,dan tidak boleh dicampuri siapa pun – tidak terkecuali oleh Presiden sekalipun.
Poin terakhir, saya mengikuti pendapat yang menyoal konsep persetujuan Presiden tersebut. Saya berpandangan, sebagai suatu konsep undangundang, tentu saja terbuka peluang kewenangan persetujuan Presiden diuji konstitusionalitasnya ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Sudah sejak lama saya mendengar kabar beberapa LSM antikorupsi berencana menguji materi persetujuan Presiden tersebut ke meja merah MK. Namun,hingga sekarang kabar tersebut tidak kunjung direalisasikan.
Saya tidak paham mengapa.Yang jelas,uji materi ke hadapan MK adalah cara yang paling tepat untuk memperdebatkan dasar konstitusional persetujuan Presiden atas pemeriksaan pejabat negara. Hal lain, utamanya terkait dugaan kasus korupsi pejabat negara, jika ada kasus yang hingga sekarang tidak berjalan dengan alasan belum ada izin Presiden – padahal bukan syarat mutlak – maka jika kasus korupsinya memang kuat buktinya, di samping perlu dicari di manakah surat permohonan persetujuannya kepada Presiden tertahan, maka peluang KPK untuk mengambil alih kasus terkait harus dibuka lebar.
Karena proses hukum antikorupsi yang ditangani KPK memang punya kekhususan dikecualikan dari proses permohonan persetujuan Presiden. Tentu saja karena korupsi dianggap kejahatan luar biasa, dan KPK salah satu upaya luar biasa kita untuk terus memberantas korupsi. Tetap berdoa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia.
DENNY INDRAYANA,Guru Besar Hukum Tata Negara UGM,Staf Khusus Presiden Bidang Hukum,
HAM & Pemberantasan KKN
Tulisan ini disalin dari Harian Seputar Indonesia, 16 April 2011