Perseteruan Polri dengan KPK terus Menggelinding

Bantah Salahi Wewenang, Anggap Sudah Prosedural

Bola panas perseteruan Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menggelinding. Kali ini para pim­pinan lembaga antikorupsi itu menilai upa­ya kriminalisasi terhadap mereka lewat du­gaan penya­lah­gunaan kewenangan terkesan dipaksakan. Komisi berpendapat bahwa lang­kah tersebut akan berakibat pada ketidakpas­tian hukum.

Menurut Wakil Ketua KPK M. Jasin, penye­lidikan, penyidikan, dan penuntutan yang di­lakukan KPK selama ini telah sejalan de­ngan undang-undang dan standar operasi­onal prosedur (SOP) yang berlaku. "Secara yuridis, kami menilai tidak ada penyalahgunaan kewenangan," ungkapnya kemarin (13/9) di Jakarta.

Namun, lanjut dia, langkah itu dipersoalkan oleh penegak hukum lain, yakni polisi. Bahkan, Mabes Polri memeriksa satu per pejabat KPK Jumat lalu. Empat pejabat KPK itu adalah Chandra Marta Hamzah, Bibit Samad Riyanto, M. Jasin, dan Haryono Umar.

Menurut polisi, status mereka masih saksi dalam dugaan penyalahgunaan wewenang penerbitan dan pencabutan surat cekal dalam kasus korupsi PT Masaro. Menurut rencana, besok (15/9) Chandra dan Bibit dipanggil lagi ke Mabes Polri.

Tetapi, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy sudah menyatakan ada tersangka dalam kasus penyalahgunaan kewenangan KPK yang ditangani Direktorat III/Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri tersebut. Itu sesuai dengan surat perintah penyidikan (SP Dik) yang dilampirkan dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang diterima Kejaksaan Agung.

''Seharusnya, ini tidak boleh terjadi. Ini berarti negara tidak ada kepastian hukum," ucap Jasin. Dia menambahkan bahwa pencekalan terhadap Direktur PT Masaro Anggoro Widjoyo dilakukan KPK untuk memperlancar tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sebab, dari penelusuran tim KPK, Anggoro yang kini buron diduga terlibat dua kasus korupsi.

Perkara pertama adalah dugaan suap kepada anggota DPR untuk meloloskan rekomendasi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Di sisi lain, KPK menemukan indikasi baru dalam proyek pengadaan tahun 2006-2007. Anggaran yang dipergunakan Rp 180 miliar. Audit BPKP menjelaskan bahwa anggaran sebesar itu total lost.

''Terus terang, langkah KPK menyelidiki Anggoro itu untuk kepentingan bangsa dan negara. Rakyat yang sudah mulai cerdas harus paham masalah ini," ucapnya. Dia menjelaskan, justru KPK yang memiliki kewenangan mengawasi Polri sepanjang terkait dengan pemberantasan korupsi.

Ini sesuai dengan pasal 6 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. "Seharusnya, yang punya kewenangan supervisi adalah KPK. Tapi, sekarang fakta yang terjadi justru sebaliknya," jelas Jasin. Dia pesimistis upaya pemberantasan korupsi oleh KPK itu bisa terus berlangsung.

Sebab, menurut dia, banyak elemen yang memusuhi dan ingin menghancurkan lembaga tersebut. Dia yakin, konflik antar penegak hukum tersebut akan sampai ke telinga dunia internasional. "Sebab, selama ini komisi memiliki reputasi yang baik di luar negeri," jelasnya.

Kalau mau menyadari, lanjut dia, gencarnya KPK dalam memberantas korupsi juga mempunyai peran mendongkrak indeks persepsi korupsi (IPK). Saat ini IPK Indonesia memang masih 2,6. Indonesia juga masih belum beranjak dari sebutan negara terkorup.

Menurut Survey Transparency Internasional Indonesia (TII), negara ini masih bertengger di peringkat 126 di antara 180 negara. Negara ini masih kalah jika dibandingkan dengan Filipina, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Agar pemberantasan korupsi terus berlangsung, yang dibutuhkan adalah political will dari pemerintah.

Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto mengungkapkan bahwa langkah KPK memberantas korupsi memang selalu membikin gerah sejumlah pihak. "Kami berharap mereka yang salah harus seleh (lapang dada). Tapi, ini tidak, mereka melakukan perlawanan," jelasnya. ''Dan mereka yang melawan niat baik komisi itu banyak sekali. Juga dengan berbagai macam cara," imbuh pensiunan jenderal polisi tersebut.

Bibit juga tidak mengetahui mengapa Anggoro yang diduga merugikan negara justru dibela. "Saya tidak tahu siapa dia, apa dia termasuk sinterklas," jelasnya.

Dia menilai bahwa pengusutan terhadap pimpinan KPK itu berawal dari tekanan politik kepada polisi saat menyelenggarakan rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR beberapa waktu lalu. Polisi mendapatkan mandat untuk mengusut lebih tuntas dugaan suap dari PT Masaro ke tubuh komisi. ''Ini semua karena ada tekanan politik," ucapnya.

Keanehan lain yang menjadi perdebatan, kata Bibit, tambahan delik-delik korupsi dalam pengusutan pimpinan KPK tersebut. "Awalnya hanya pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tapi, ada tambahan pasal lain. Saya nggak tahu dari mana itu," ungkapnya.

Besok (15/9) Bibit dan Chandra akan menghadap penyidik untuk pengusutan penyalahgunaan kewenangan lebih lanjut di kepolisian. Meski kewenangannya terus diguncang, KPK tidak akan pantang memberantas korupsi. "Pemberantasan korupsi jalan terus, tidak berhenti," katanya.

Sejumlah penggiat antikorupsi juga mengkritik keras upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK itu. Kritik tersebut ditunjukkan dalam sebuah parodi kunjungan Dewan Perwakilan Binatang (DPB) yang mengeluhkan lemahnya komitmen pemerintah dan DPR dalam pemberantasan korupsi.

Parodi tersebut diperankan sejumlah aktivis LSM antikorupsi. Mereka berdandan ala binatang dan menamakan dirinya sebagai Dewan Perwakilan Binatang. Sejumlah binatang, antara lain macan tutul, gorila, beruang madu, dan kelinci, mendatangi kantor ICW dengan mengendarai Honda CRV.

Mereka kemudian bertemu dengan koalisi LSM. Setelah berdiskusi dan bertukar cenderamata, para ''binatang" tersebut juga menyelenggarakan konferensi pers dengan wartawan. Isinya lebih banyak kecaman kepada DPR betulan dan pemerintah.

''Kami yang binatang saja mendukung KPK dan Pengadilan Tipikor. Bagaimana mungkin DPR, partai politik, dan Kejaksaan Agung justru sebaliknya," ujar Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho yang kemarin mengenakan kostum gorila.

Kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dinilai mereka akan melumpuhkan lembaga tersebut. Sementara itu, kritik kepada Kejagung tersebut menyeruak setelah Jaksa Agung Hendarman Supandji meminta pengembalian kekuasaan penuntutan dari KPK ke Kejagung.

Emerson juga meminta presiden memberikan komitmennya terkait dengan munculnya serangan kepada eksistensi KPK dan Pengadilan Tipikor. ''Presiden harus bicara soal ini. Kalau dia (presiden) mendiamkan berarti bukan pemimpin pemberantasan korupsi," tambahnya.

Menyangkut eksistensi Pengadilan Tipikor, presiden harus secara tegas menolak pengesahan RUU Pengadilan Tipikor yang kini dibahas parlemen. "Presiden harus menghentikan pembahasan kalau ada materi yang membahayakan KPK dan Pengadilan Tipikor,'' ucapnya.

Sebab, DPR saat ini dinilai telah menyimpang dari amanat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pembahasan undang-undang tersebut. Tidak hanya itu, sejumlah kewenangan KPK juga sedang dipersoalkan di parlemen. Misalnya, kewenangan penyadapan yang diwacanakan harus meminta izin lebih dahulu kepada ketua pengadilan negeri. Termasuk juga soal penuntutan yang diminta Kejaksaan Agung untuk dikembalikan ke pangkuannya.

Secara terpisah, perseteruan KPK dengan Polri diwarnai dengan laporan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (Maki) soal Kabareskrim Polri Komjen Pol Susno Duadji ke bagian Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Tidak hanya itu, Maki juga segera mengajukan gugatan praperadilan terhadap Polri terkait penanganan kasus Bank Century.

"Kami menilai sudah ada pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Kabareskrim," kata Koordinator Maki Boyamin Saiman ketika dihubungi kemarin. Laporan sudah didaftarkan ke bagian Propam akhir pekan lalu.

Dia menjelaskan, dasar laporan tersebut adalah surat yang dikirimkan ke Bank Century. Isinya menyebutkan tidak ada masalah dengan uang USD 18 juta milik Boedi Sampoerna, salah seorang deposannya. "Mestinya, itu adalah kewenangan Kapolri karena ini antarinstansi," kata Boyamin.

Sebagai Kabareskrim, lanjut dia, Susno bisa saja mengirimkan surat tersebut. Namun, atas namanya harus Kapolri dan ada nota dinas. "Nah ini? Ini seperti surat liar yang dikeluarkan oleh oknum Bareskrim," urai dia.

Menurut Boyamin, seharusnya dengan adanya laporan penggelapan dana nasabah Bank Century, Kabareskrim menindaklanjutinya dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Langkah-langkahnya, antara lain, adalah memanggil orang, saksi-saksi, dan menyita barang bukti. "Tapi, ini malah diminta dicairkan. Jadi, ini seperti bentuk penghilangan barang bukti," jelasnya.

Gugatan praperadilan yang akan diajukan, kata dia, tidak perlu menunggu respons dari bagian Propam atas laporan itu. Menurut dia, tindakan Polri yang meminta pencairan tersebut dinilai di luar kewenangan Polri, yaitu menyelidiki dan menyidik perkara. "Itu sudah di luar kewenangan," tegas dia. (git/fal/iro)

Sumber: Jawa Pos, 14 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan