Persekongkolan tentang Usia Pensiun MA

Sebuah pertemuan di Bogor, hanya kurang-lebih tiga hari, menghasilkan sesuatu yang menyesakkan. Usia pensiun hakim agung diperpanjang menjadi 70 tahun. Sebuah persekongkolan telah terjadi dan pada kenyataannya akan menafikan segala upaya untuk membersihkan institusi peradilan tertinggi dari anasir-anasir korup dan sekelompok hakim antiperubahan. Kemunduran besar terjadi di Mahkamah Agung kita.

Seperti diketahui, sampai saat ini mayoritas fraksi menyetujui usulan pemerintah memperpanjang usia pensiun menjadi 70 tahun. Berbagai argumentasi yang diungkapkan dinilai tak masuk akal. Yang menguat justru kesan "ada permainan" di balik proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung ini.

Isu ini menjadi penting karena posisi MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman dan kewenangannya yang sangat rentan terhadap judicial corruption. Di sisi lain, "pengamanan" terhadap MA dan penempatan "orang kita" di sana merupakan target umum kelompok mafioso di berbagai sektor, termasuk legislatif dan sejumlah advokat di DPR.

Bagaimana mungkin sebuah undang-undang atau produk "wakil rakyat" yang akan mengatur kehidupan publik disusun dengan tertutup, minus partisipasi dan terburu-buru? Hal inilah yang terjadi pada paket pembahasan UU Kekuasaan Kehakiman, khususnya UU MA. Hingga diselesaikannya Daftar Inventaris Masalah oleh pemerintah dan proses awal menuju pembahasan RUU MA, hampir tidak ada upaya serius untuk memasyarakatkan dan membuka ruang partisipasi bagi publik.

Padahal, asas pembentukan undang-undang, seperti yang diatur pada Pasal 5 huruf (g) UU 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mensyaratkan adanya keterbukaan. Asas ini menekankan semua proses pembentukan, mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan, harus dilakukan secara terbuka dan transparan. Publik mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan atau bahkan melakukan pengawasan.

Kontroversi pembahasan UU MA ini diperparah dengan isu suap dan pembahasan "kilat" yang notabene merupakan upaya mendukung pihak status quo di Mahkamah Agung. Dorongan agar UU tersebut selesai dalam waktu sesingkat-singkatnya mengingatkan kita pada salah satu poin tentang usia pensiun. Pasal 11 ayat (1) huruf (b) RUU mengusulkan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. Sebuah usulan yang sangat tidak berdasar dan cenderung hanya membela kepentingan sekelompok hakim yang diragukan integritasnya.

Seperti diketahui, Ketua MA dan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial akan memasuki masa pensiun pada Oktober 2008. Artinya, terhitung paling lambat akhir Oktober, demi hukum, para hakim agung tersebut harus mundur dari jabatan mereka, kecuali terjadi perubahan aturan. Poin inilah yang patut diduga menjadi target revisi UU MA, bahwa agar dua pejabat tertinggi MA tersebut dan delapan hakim lainnya tidak jadi pensiun tahun ini. Jika ini benar dan revisi berjalan dengan mulus, mudah diperkirakan sebuah tragedi terjadi di salah satu institusi agung kita.

ICW bersama sejumlah LSM dalam Aliansi Penyelamat MA tentu saja menolak skenario tersebut. Dalam bahasa sederhana, "MA tidak boleh menjadi panti jompo". Logika regenerasi harusnya didorong semaksimal mungkin.

Terburuk se-Asia

Seharusnya DPR, pemerintah, dan semua kalangan pencari keadilan melakukan introspeksi terhadap institusi kekuasaan kehakiman ini. Hingga sekarang, aroma mafia peradilan belum surut sedikit pun. Hal ini dapat dilihat dari ketertutupan pengelolaan keuangan, sulitnya mengakses putusan, rendahnya tingkat kepatuhan atas audit kerugian negara oleh BPK, dan bahkan putusan kontroversial yang sering kali menjadi produk MA.

Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2008 yang menempatkan peradilan Indonesia di posisi terburuk di Asia patut dicermati. Waktu yang cukup panjang dan anggaran yang begitu besar ternyata tidak menghilangkan kesan korup institusi peradilan Indonesia. Seperti dirilis PERC, peradilan Indonesia ditempatkan pada posisi terburuk pertama se-Asia dengan skor 8,26. PERC yang menggunakan skala 1-10 melakukan survei terhadap 1.537 responden dari pihak yang bersentuhan langsung dengan peradilan, kelompok bisnis, dan lain-lain. Disampaikan, "…the judiciary is one of Indonesia's weakest and most controversial institutions, and many consider the poor enforcement of laws to be the country's number problem" (The Jakarta Post, 15 September 2008).

Jika saja DPR dan pemerintah becermin pada penilaian publik dan melakukan evaluasi terhadap Mahkamah Agung, tentu poin-poin revisi UU MA akan berbeda. Penting didorong agar revisi benar-benar ditujukan untuk merevitalisasi dan membenahi institusi peradilan Indonesia. Berangkat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki sinkronisasi UU MA, UU Komisi Yudisial (KY), dan UU Mahkamah Konstitusi (MK), seharusnya yang diperhatikan adalah isu kewenangan pengawasan, bukan sekadar usia pensiun.

Dengan kata lain, pembahasan UU MA patut dihentikan. Selain anasir suap dan korupsi di DPR dalam pembahasan UU ini, kita tetap harus kembali merujuk kepada perintah Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian UU Komisi Yudisial. Artinya, prioritas pembahasan terletak pada poin pengawasan KY terhadap hakim MA dan MK.

Karena itulah, UU yang pertama kali direvisi sebaiknya adalah UU KY, dan kemudian dua UU lainnya disinkronisasi dengan UU KY. Bagaimanapun, institusi peradilan Indonesia harus diselamatkan dari pembajakan sekelompok elite politik, baik di DPR, pemerintah, swasta, ataupun MA sendiri. Satu poin sederhana, MA bukan panti jompo. Publik menghendaki regenerasi sistematis dan pemotongan status quo.

FEBRI DIANSYAH, Peneliti hukum, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

 

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 8 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan