Persamaan Hukum dalam Skandal BI
Fakta persidangan jelas memperlihatkan indikasi keterlibatan mantan Dewan Gubernur yang sekarang menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini.
Beberapa saat setelah pembacaan vonis untuk mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan empat tersangka baru. Salah satunya menyentuh orang terdekat Presiden. Di satu sisi apresiasi dan dukungan patut diberikan pada institusi ini. Terutama, karena lambat laun hukum mulai ditegakkan, bahkan menyentuh lingkar Istana.
Namun, apakah berhenti di Aulia Pohan (AP)? Pertanyaan ini diperkirakan akan muncul, seperti keberataan Burhanuddin Abdullah dalam pembelaan yang dibacakan untuk dirinya. Kenapa hanya saya, sementara ini adalah kebijakan kolektif, dan semua dewan gubernur BI telah menyetujuinya?
Seperti diketahui, setelah lewat 6 bulan pasca-penahanan Burhanuddin Abdullah, akhirnya KPK menentukan sikap dalam polemik status besan presiden tersebut. AP dan 3 (tiga) dewan gubernur lainnya ditetapkan sebagai tersangka baru. Sebelumnya sudah 3 (tiga) mantan dewan gubernur yang juga jadi tersangka.
Namun, bagaimana dengan status mantan dewan gubernur lainnya? Apakah karena dua dari mereka masih menjabat di posisi cukup tinggi saat ini, hingga KPK belum merasa cukup yakin menyentuh, atau ada perspektif lain di pikiran pimpinan KPK? Tentunya, ini pertanyaan serius yang harus dijawab KPK.
Merujuk pada dokumen Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI I hingga IV, sesungguhnya nama-nama yang patut dijadikan tersangka cukup jelas. Poin ini menjadi bukti yang sulit dipatahkan, karena hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pun meyakini kebenarannya sebagai Fakta Persidangan yang kuat. Bahwa, konstruksi korupsi BI di level kebijakan terletak pada persetujuan penyedian dan pencairan Rp100 miliar dari dana BI - YPPI yang melawan hukum. Sebut saja, Anwar Nasution (AN) dan Miranda Gultom (MG).
Fakta persidangan jelas memperlihatkan indikasi keterlibatan mantan Dewan Gubernur yang sekarang menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini. Tanpa berpretensi melanggar presumption of innocence, dokumen surat memperlihatkan Anwar hadir dan menyetujui keputusan pada RDG I (20 Maret 2003) yang menyetujui permohonan dana bantuan hukum untuk tiga terdakwa korupsi BLBI.
Kemudian, RDG III (22 Juli 2003) yang menghasilkan persetujuan BI tentang penyaluran Rp100 miliar pada YPPI sebagai peningkatan modal. Kita tahu, untuk poin ini, dana YPPI memang ditujukan sebagai kamuflase untuk kepentingan kepentingan penyelesaian BLBI secara politis di DPR, serta diseminasi revisi UU BI. Dan, RDG IV (22 Juli 2003) keputusan realiasasi dana dan pembentukan Panitia Sosial Kemasyarakat (PSK) sebagai kamuflase kedua aliran dana haram tersebut.
Demikian juga dengan Miranda. Ia tercatat hadir dan menyetujui hasil RDG I. Khusus poin ini, publik tentu sulit melupakan skandal lain yang terkait dengan penyerahan diri dan pengakuan Agus Chondro ke KPK perihal pemilihan deputi senior BI. Apakah KPK mempertimbangkan penetapan dua mantan dewan gubernur ini sebagai tersangka ke depannya? Ini adalah ujian terpenting dalam konteks penuntasan kasus besar di jantung institusi perbankan Indonesia.
Konstruksi BI
Membaca kasus Bank Indonesia (BI) secara utuh sesunguhnya memperlihatkan potret riil persekongkolan pusat-pusat kekuasaan untuk melindungi kepentingan masing-masing. Secara sederhana, kasus ini dapat dipilah menjadi dua fase, di level kebijakan dan level implementasi.
Level pertama berbicara tentang sebuah disain pengusulan, persetujuan dan kesepatakan mencairkan dana BI - YPPI Rp100 miliar pada berbagai pihak. Hingga, orang-orang yang terkait di sini adalah para pengambil kebijakan, yakni Gubernur BI dan sejumlah Dewan Gubernur. Sebagai sebuah kebijakan kolektif yang disetuju bersama, maka melekat di sana pertanggungjawaban kolektif.
Sedangkan level kedua, berada di wilayah ke mana dana haram tersebut mengalir. Membaca fakta persidangan dan sejumlah dokumen yang didapatkan ICW, setidaknya dana tersebut mengalir pada 52 anggota Komisi IX DPR-RI Periode 1999-2004; oknum di Kejaksaan Agung, dan sejumlah advokat. Asal muasal skandal ini tidak terpisahkan dari upaya menyelamatkan sejumlah mantan petinggi BI dari jerat hukum mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kemudian terbukti, Kejaksaan Agung bahkan mengeluarkan SP3 untuk salah seorang tersangka BLBI tersebut. Dan, DPR satu kata saat menyikapi BLBI secara politis.
Hingga, mudah dipahami, penyelesaian kasus BI punya arti strategis yang bahkan melewati konstruksi satu kasus tersebut. Dengan demikian, penuntasan skandal ini adalah keniscayaan bagi KPK.
Sampai saat ini, sayangnya keseriusan KPK untuk masuk lebih jauh di level kedua masih dipertanyakan. Baru segelintir dari 52 anggota Komisi IX yang disentuh. Bahkan, 2 (dua) di antara mantan legislator yang diindikasikan kuat menerima aliran dana BI masih bisa nyaman duduk di kabinet SBY-Kala. Sehingga, supremasi hukum dan independensi KPK sesungguhnya masih diuji.
Mari biarkan skandal Bank Indonesia ini menjadi isu hukum, dengan konsekuensi jerat siapa pun yang terlibat. Bukankah semua orang sama di hadapan hukum? Kekuasaan si pelaku tidak boleh jadi penghalang bagi penegak hukum, sama halnya dengan, juga tidak boleh menjadi target politis semata.
Febri Diansyah; Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Jurnal Nasional, 6 November 2008