Pers-Kebebasan Berekspresi Terancam
MABES Polri mencoba memanggil pimpinan dua media massa (Kompas dan Sindo). Alasan pemanggilan semula adalah untuk mengumpulkan bukti demi menjerat Anggodo jadi tersangka. Namun, agaknya itu alasan yang mengada-ada!
Mau menjerat Anggodo? Sudah lebih dari dua minggu saya melontarkan tantangan itu. Saya sampaikan itu justru demi melindungi nama baik institusi kepresidenan (siapa pun sedang menjabat sebagai presidennya). Berikut ini saya sajikan logika lurus atau logika sederhananya sehingga rakyat kecil mudah memahami.
Pertama, presiden telah mengungkapkan kegerahan karena namanya dicatut dalam pembicaraan telepon rekayasa kasus Bibit-Chandra. Karena itu, seharusnya presiden juga menuntut kasus tersebut diusut, termasuk siapa pun yang mencatut namanya. Kedua, dalam rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi, sudah terang-benderang bahwa Anggodo dan seorang perempuan (diduga Ong Yuliana Gunawan) mencatut nama presiden. Bahkan terdengar sebutan langsung: ''SBY!"
Ketiga, dalam bagian atau konteks pencatutan itu, tidak ada tempat sedikit pun untuk pembengkokan logika, misalnya dengan mempersoalkan apakah rekaman itu asli atau tidak. Segera sesudah rekaman diperdengarkan di MK, Anggodo bergegas meminta maaf kepada presiden karena menyebut nama presiden. Itu telah tersiar luas di media massa.
Kok Tidak Melaporkan?
Sekarang tinggal bagian logika lurus atau logika sederhana keempat: mana reaksi presiden? Bukankah menurut logika, karena presiden pernah marah dan menuntut diusut tuntas siapa yang mencatut namanya, presiden seharusnya segera mengadukan Anggodo ke polisi.
Pantas dicatat, sejak MK mencabut pasal penghinaan terhadap presiden (6/12/2006; saya menjadi saksi ahli pada sidang tersebut), sekarang presiden harus aktif melaporkan kasusnya ke polisi. Presiden SBY telah melakukannya dengan elegan saat melaporkan secara resmi kasus pencemaran nama baiknya oleh Zaenal Ma'arif ke Polda Metro Jaya (29/7/2007). Presiden SBY bahkan menyatakan, ''Saya datang dalam kapasitas sebagai warga negara bukan sebagai presiden dan apabila seorang warga negara dapat masalah seperti ini, maka sebaiknya langsung melapor ke kepolisian." (dikutip dari situs www.indonesia.go.id).
Sekali lagi pernyataan presiden itu elegan dan cerdas. Masalahnya, kenapa sekarang Presiden SBY seperti terhalang mata batinnya untuk melakukan anjuran dan teladan yang pernah dicontohkannya sendiri? Apakah karena itu menyangkut nama Anggodo? Lalu siapa Anggodo sebenarnya? Apakah Presiden SBY segan atau takut kepada Anggodo?
Jika iya, kenapa mesti demikian? Bukankah kami, rakyat dan kaum muda, siap di belakang Presiden SBY? Jangan lupa Presiden SBY sudah menyatakan bahwa dirinya akan berdiri paling depan untuk pemberantasan korupsi. Dengan demikian, kita siap di belakang presiden.
Harus diingat bahwa kotak pos yang baru dibuka presiden mengajak masyarakat untuk melaporkan dan bahkan melakukan ''Ganyang Mafia Hukum"! Mengapa rakyat diajak untuk melaporkan, sedangkan presiden sendiri tidak mau melaporkan? Atau, jangan-jangan presiden tidak meyakini bahwa Anggodo -dengan segala pernyataannya pada rekaman serta permintaan maafnya- adalah seorang yang terlibat dengan mafia hukum?
Logika lurus yang juga masih tersisa terdapat pada pertanyaan berikut. Jika Presiden SBY belum pernah melaporkan Anggodo, apakah polisi bisa mewakili presiden untuk melaporkan ''tindakan fitnah dan pembunuhan karakter SBY" yang dilakukan Anggodo? Ungkapan dalam tanda kutip adalah kata-kata Presiden SBY sendiri waktu melaporkan Zaenal Ma'arif ke polisi. Menurut pemahaman saya, tidak bisa, karena sekarang presidenlah sebagai korban yang harus melaporkannya.
Kembali ke pokok persoalan, daripada memanggil media massa, bukankah polisi lebih baik mengingatkan presiden untuk melaporkan Anggodo sehingga Anggodo bisa secara legal dijerat sebagai tersangka?
Kriminalisasi Kebebasan Berekspresi
Kepolisian sempat membatalkan panggilan terhadap media (tapi kemudian -sampai saat tulisan ini dibuat- Sindo dipanggil lagi) karena khawatir dianggap melakukan ''kriminalisasi pers". Publik sangat wajar memiliki persepsi seperti itu mengingat rezim Orde Baru sangat sering melakukan hal tersebut dalam aneka gaya.
Di luar kemungkinan kriminalisasi pers, perhatian harus mulai ditujukan pada peluang terjadinya ''kriminalisasi kebebasan berekspresi". Logika lurus atau sederhananya sebagai berikut. Pertama, mulai dimunculkan kelompok-kelompok demo tandingan. Walau tidak bisa digeneralisasi, media telah mampu membuktikan dalam wawancaranya bahwa sebagian pendemo tandingan itu adalah kelompok bayaran yang bahkan tidak tahu persis mereka berdemo untuk apa.
Kedua, setiap saat bisa saja terbuka peluang provokasi agar terjadi benturan dalam bentuk fisik. Ketiga, jika itu terjadi, kepolisian akan memiliki peluang untuk melakukan pemeriksaan (atau bahkan ke tingkat selanjutnya) terhadap para aktivis yang -misalnya pun- harus melakukan pembelaan diri dari serangan. Atau, pemeriksaan terhadap para koordinator aktivis demo.
Dengan cara itu, gerakan kebebasan berekspresi akan terhambat. Baik karena aktivitas para koordinator aktivis sedang dihambat dengan pemeriksaan ataupun kekhawatiran psikologis untuk ikut serta pada demo selanjutnya.
Tapi, percayalah gaya-gaya Orde Baru itu tidak akan efektif. Kita sekarang memiliki parlemen online, yaitu ruang publik internet. Entah itu lewat Facebook, berbagai blog, mailing list, dan sebagainya yang kini diikuti jutaan rakyat Indonesia. Di sana akan sangat terang-benderang siapa melakukan apa serta dengan cara apa. Termasuk kalau ada upaya pihak mana pun mengancam media atau membenturkan aktivis dengan demo tandingan.
Di atas semua itu, saya yakin masih ada polisi yang cerdas dan baik. Lagi pula, aktivis yang cerdas tidak akan memusuhi institusi kepolisian. Sampai kapan pun rakyat butuh polisi. Yang sedang dilawan rakyat adalah mafia hukum di institusi mana pun. (*)
Effendi Gazali, koordinator Program Master Komunikasi Politik UI
Tulisan ini disalin dari jawa Pos, 21 November 2009