Perpu Seleksi Hakim Agung Jangan Dianggap Serius

Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie mengatakan, ide pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang seleksi hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial tak tepat. Ide ini tak usah dianggap serius, katanya di kantornya, Jakarta, kemarin.

Menurut Jimly, perpu selalu mengundang kontroversi dan perpu sering disalahgunakan untuk kepentingan politik. Jika dibenarkan penerbitan perpu untuk mengganti semua hakim agung, pada kesempatan yang lain bisa juga dibenarkan perpu untuk mengganti anggota DPR atau DPD dengan cara mempercepat pemilu.

Sebelumnya, Komisi Yudisial mengusulkan kepada Presiden agar menerbitkan perpu untuk menyeleksi semua hakim agung yang berjumlah 49. Usul itu bermula dari dugaan kualitas hakim yang rendah dan penolakan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan memenuhi panggilan Komisi Yudisial untuk diperiksa sebagai saksi dugaan penyuapan yang dilakukan oleh staf Mahkamah Agung.

Jimly menjelaskan, ide pembuatan perpu untuk mengganti hakim agung kalah revolusioner dibanding ide mengontrak hakim dari luar negeri, yang muncul sebelumnya. Ide-ide itu mencuat karena dianggap hakim di Indonesia tak dapat dipercaya. Masyarakat menginginkan keadilan yang cepat dan sistem peradilan yang dapat dipercaya, ujarnya.

Itu sebabnya, ia melanjutkan, sistem peradilan harus benar-benar dibenahi. Kalau proses pembenahan tak bisa diselesaikan secara informal, pendekatan politik, dan pendekatan administrasi, harus ditempuh jalur hukum. Beperkara resmi saja di pengadilan. Apalagi Mahkamah Konstitusi memang lembaga yang khusus memutus sengketa antarlembaga negara. Namun, sebagai lembaga konstitusional, Mahkamah Konstitusi harus pasif. rengga damayanti

Sumber: Koran tempo, 18 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan