Perpu Komisi Yudisial, Intervensi atau Pembaruan MA?

Ide melakukan reevaluasi melalui seleksi ulang para hakim agung aktif merupakan bentuk ketidakpercayaan Komisi Yudisial terhadap institusi peradilan tertinggi di Indonesia.

Hubungan antarlembaga negara sungguh mengalami polemik yang substansial. Betapa tidak, ide progresif Komisi Yudisial dengan alasan reformasi yudikatif menimbulkan pro-kontra, lebih-lebih manakala peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) dijadikan sandaran arah legalitas. Ide melakukan reevaluasi melalui seleksi ulang para hakim agung aktif merupakan bentuk ketidakpercayaan Komisi Yudisial terhadap institusi peradilan tertinggi di Indonesia. Ada semacam resistensi Komisi Yudisial seolah sebagai representasi publik terhadap lembaga peradilan tertinggi ini.

Di satu sisi, pengamat membenarkan ide Komisi Yudisial ini sebagai salah satu bentuk mosi tidak percaya kepada Mahkamah Agung sekaligus pembersihan terhadap Mahkamah Agung sebagai simbol institusi keadilan. Tapi pendapat lain menegaskan bahwa ide Komisi Yudisial justru menempatkan norma legislasi yang kontradiktif dan membentuk demoralisasi institusi keadilan tersebut.

Tidak dimungkiri lagi, subyektivitas ide progresif Komisi Yudisial ini merupakan kepanjangan dari proses kasus suap lembaga Mahkamah Agung dalam perkara Probosutedjo. Ketidakhadiran Ketua Mahkamah Agung atas panggilan Komisi Yudisial telah memicu ketegangan hubungan antarlembaga negara ini. Ide seleksi ulang hakim agung aktif dari Komisi Yudisial mendapat respons Presiden dengan janji memberi sandaran legalitas perpu untuk merealisasi ide tersebut.

Namun, ide seleksi ulang hakim agung aktif ini perlu mendapat beberapa catatan perhatian prospektif dalam kaitan kekuasaan dan prestise sebagai alasan stereotip yang klasik. Pertama, dari sisi ketatanegaraan, hubungan antarlembaga negara, seperti Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung, berdasarkan asas distribution of power sehingga setidak-tidaknya ada koordinasi dan kooperasi di antara kedua lembaga negara. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kekuasaan yang tersentralisasi pada satu lembaga, juga agar terhindar atau tidak ada patrimonial kelembagaan, tapi lebih melihat doelgerichte atau tujuan/hasil akhir dari hubungan kelembagaan tersebut.

Separation of power yang sudah tertinggal justru menempatkan posisi lembaga negara dilandasi adanya subyektivitas patrimonial kelembagaan, artinya yang diutamakan adalah kekuasaan dan prestise kelembagaan. Dengan demikian, dalam masalah ini yang terlihat arogansi kewenangan lembaga, tapi hasil akhir kerja lembaga tidak menjadi fokus yang diprioritaskan. Dan hal ini yang tampak pada ketegangan hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Ketegangan sejarah antara MA dan kehakiman melalui pola kewenangan administrasi di kehakiman telah ditinggal, artinya pola separation of power yang penuh dengan otoriter kelembagaan harus sudah tidak eksis lagi.

Kedua, dari sisi hukum, eksistensi Komisi Yudisial sebagai lembaga negara adalah amanat Perubahan III UUD 1945 Pasal 24 B yang memberikan kewenangan limitatif berupa pengusulan dan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, kekuasaan, martabat, serta perilaku hakim, karena itu tidak termasuk melakukan reevaluasi (seleksi ulang) dari para hakim agung aktif. Selain itu, sesuai dengan Pasal 13 dan Pasal 14 UU Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial, kewenangan Komisi Yudisial hanyalah dalam rangka mekanisme pengangkatan (seleksi) calon hakim agung, bukan terhadap hakim agung aktif.

Ketiga, sandaran legalitas perpu yang akan memberikan suatu kewenangan Komisi Yudisial melakukan reevaluasi dengan pola seleksi ulang hakim agung aktif justru menyimpang dari asas lex superiori derograt lex inferiori. Karena itu, perpu itu akan menjadi obyek sengketa Mahkamah Konstitusi yang substansial dan kontradiksi dengan Pasal 24 B UUD 1945 atas kewenangan limitatif Komisi Yudisial terhadap seleksi calon hakim agung, bukan terhadap hakim agung aktif.

Dalam tataran perundangan yang lebih rendah daripada konstitusi, seleksi ulang hakim agung aktif bertentangan dan tidak menempatkannya sebagai premis legalitas atas syarat pemberhentian hakim agung sesuai dengan Pasal 11 UU Nomor 5/2004 tentang Mahkamah Agung. Lagi pula tidak ada justifikasi terhadap pembentukan perpu bagi seleksi ulang hakim agung aktif dengan alasan adanya hal-ihwal kegentingan yang memaksa. Karena dengan segala kekurangannya, hingga kini Mahkamah Agung dengan jajaran peradilannya masih memiliki mekanisme prosesual terhadap hukum yang substansial, tidak ada stagnanisasi peradilan dalam kehidupan implementatifnya.

Keempat, dari pendekatan sejarah, pemberlakuan perpu ini akan mempersepsikan bentuk terselubung intervensi kekuasaan eksternal terhadap institusi peradilan. Ide ini kembali pada pola prareformasi yang seakan kekuasaan eksternal menjadi keabsahan patrimonial--dalam bentuk saka guru terhadap seluruh institusi kenegaraan yang mengabdi padanya. Akibatnya dicarikan kepastian hukum berupa perpu untuk kepentingan sentralitas kekuasaannya. Ini semua mengingatkan bahwa kekuasaan eksekutif sebagai cara satu-satunya saka guru politik kekuasaan dan keadilan.

Bayangkan saja, andai putusan MA dianggap tidak mengabdi pada kekuasaan, saat itu pula dilakukan pemberhentian hakim agung dengan berlindung di balik perpu melalui pola seleksi ulang. Cukup sejarah Orde Lama dan Orde Baru yang dengan sikap transparansi membawa Mahkamah Agung tidak dalam posisi dan statusnya sebagai lembaga a free and independency judiciary. Ide progresif pembaruan peradilan harus didukung, tapi tetap dihindari adanya pendekatan intervensi melalui sentralitas patrimonial kekuasaan yang justru melanggar independensi lembaga negara lainnya seperti Mahkamah Agung!

Prof Dr Indriyanto Seno Adji, SH, MH, Guru Besar Bidang Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 19 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan