Perpu Bisa Putihkan MA; Mafia Peradilan Sudah Keterlaluan

Praktik korupsi dan mafia peradilan di Indonesia sudah memasuki kondisi darurat. Karena itu, pembersihan peradilan juga harus dilakukan dengan cara luar biasa, salah satunya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Seleksi Ulang Hakim Agung di Mahkamah Agung.

Demikian diungkapkan pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, dalam diskusi Seleksi Ulang Hakim Agung yang digelar Kemitraan Governance Reform in Indonesia, Kamis (12/1). Kalau ada yang belum menganggap korupsi sebagai extraordinary crime, itu kebangetan. Gara-gara korupsi, rakyat kelaparan, anak-anak bunuh diri karena tak bisa sekolah. Negara dalam darurat korupsi, yang perlu cara-cara darurat juga ujar Denny.

Saat ini korupsi di eksekutif dan legislatif terus terjadi tanpa efek jera. Koruptor di peradilan adalah teroris sejati yang memiskinkan rakyat, ujarnya.

Denny yang juga Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) menjelaskan, jika teroris yang telah membunuh sekitar 180-an orang dijerat sebuah perpu untuk memberantasnya, maka koruptor juga perlu diatasi lewat sebuah perpu. Di mana perbedaannya? Inilah yang saya maksud kegentingan memaksa. Korupsi peradilan harus diperangi, katanya.

Perpu untuk menyeleksi ulang hakim agung adalah salah satu cara untuk memberantas mafia peradilan. Sebab, MA adalah puncak perjalanan perkara.

Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Djoko Sarwoko mengatakan, mafia peradilan memang tidak bisa dimungkiri. Namun, pemberantasannya hendaknya tidak dilakukan dengan melanggar hak asasi orang lain. Betapa sulitnya menjadi hakim agung. Posisi itu kami dapat dengan susah payah. Seleksi ulang para hakim itu melanggar hak asasi manusia. Apa tak ada cara lain? ujarnya.

Ketua Komisi Yudisial Busro Muqoddas mengatakan, saat ini terjadi kemiskinan masif dari totalitas korupsi yang sistemik dan lintas sektoral. Pemberantasan korupsi itulah yang dilakukan KY, yakni membenahi MA, ungkapnya.

Revisi saja UU-nya
Wakil Ketua Komisi III DPR Mulfahri Harahap dari Fraksi Partai Amanat Nasional menyatakan, penggunaan perpu untuk seleksi ulang hakim agung dapat menjadi bentuk campur tangan eksekutif. Kalau memakai perpu kami tidak setuju, kami menawarkan revisi UU saja, katanya.

Komisi III setuju tentang perlunya seleksi ulang atau perbaikan hakim agung di MA, namun prosedurnya jangan lewat perpu. Kita tak bisa mengambil tindakan yang akan menimbulkan masalah baru, ujarnya.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Gayus Lumbuun, berpendapat serupa. Usulan tentang perlunya perpu seleksi ulang hakim agung tidak tepat karena bisa melanggar UUD dan perundang-undangan lain. Perpu harusnya dikeluarkan hanya dalam keadaan genting dan memaksa, ujarnya dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis. (sut/vin)

Sumber: Kompas, 13 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan