Pernyataan Sikap Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Aceh

JOKOWI HARUS TOLAK “PROYEK CEPAT” REVISI UU KPK!

- Tak ada satupun subtansi dalam Revisi UU KPK versi DPR yang perkuat KPK -

Pada saat pemerintah Jokowi sedang melakukan “upaya perbaikan” ekonomi rakyat, dimana rakyat Indonesia sedang terpuruk akibat korupsi yang telah melahirkan kemiskinan, pengangguran dan rapuhnya kesalehan sosial, sejumlah politisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga tidak mau kalah dengan mendorong lolosnya “proyek cepat” Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK). Meski sejumlah survey menyebutkan mayoritas rakyat menolak Revisi UU KPK, namun DPR nekat melanjutkan proses pembahasan Revisi UU KPK yang substansinya banyak merugikan KPK.

Langkah DPR berjihat dalam melakukan pelumpuhan KPK dengan merevisi UU merupakan president buruk yang ditanggung bersama oleh rakyat Indonesia yang sedang semangatnya melawan kejahatan kemanusian tersebut. Langkah DPR cenderung dalam upaya melindungi para koruptor yang masih menjadi ancaman serius terhadap bangsa ini, Koalisi Masyarakat Sipil Aceh menilai, ini kebijakan perlindungan terhadap para kejahatan kemanusiaan yang seharusnya negara berdaya  dan bangkit dalam melawan ancaman tersebut.

Kita telah dibohongin oleh para politisi yang katanya membangun bangsa dengan jujur dan rakyat sejahtera. Revisi UU KPK bukanlah solusi bagi kita tapi menjadi amanat para koruptor yang ingin bebas dalam melakukan kejahatan. Dimana mareka para partai/politisi melakukan desain tanpa merasa malu dengan semangat “KPK harus lumpuh”. 

Dari 10 fraksi, sebanyak 9 fraksi atau mayoritas Fraksi di DPR pada rapat Badan Legislasi (Baleg) pada Rabu 10 Februari 2016 memutuskan agar revisi UU KPK dilanjutkan ke tahap selanjutnya yakni menjadi inisiatif DPR untuk dibahas dalam rapat paripurna. Saat itu hanya fraksi Partai Gerindra yang menolak. Namun belakangan, Partai Demokrat disusul fraksi PKS juga menyatakan menolak melanjutkan Revisi UU KPK.

Poin Krusial Usulan Pemerintah

Poin Krusial Usulan Baleg DPR

1.    Penyadapan

2.    Rekrutmen penyelidik dan penyidik KPK

3.    Dewan pengawas

4.    Kewenangan penghentian perkara

1.    Penyadapan

2.    Rekrutmen penyelidik dan penyidik

3.    Dewan pengawas

4.    Kewenangan penghentian perkara

5.    Penyitaan

6.    Prosedur pemeriksaan Ttersangka

7.    Pengunduran diri dan pemberhentian pimpinan KPK

8.    Proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK hanya terikat pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

Koalisi mencermati Naskah Revisi UU KPK hasil Harmonisasi di Baleg DPR RI dan faktanya 8 poin krusial yang ditawarkan oleh DPR ternyata jauh lebih banyak (dua kali lipat) dari yang disepakati oleh pemerintah yang hanya usulkan 4 poin krusial. Berdasarkan naskah terbaru, Koalisi Masyarakat Sipil Aceh mencatat ada delapan poin krusial yang diusulkan oleh DPR, dan tidak ada satupun yang dapat dikatakan memperkuat KPK.

Jika delapan subtansi Revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR disahkan menjadi UU KPK yang baru maka sudah tentu akan mengancam kerja komisi antikorupsi. Keberadaan Dewan Pengawas justru akan menjadikan KPK tidak lagi independen dan mudah diintervensi. Mekanisme harus melalui “izin” Dewan Pengawas menyebakan upaya membongkar dugaan korupsi kelas kakap akan sulit dilakukan. Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pelaku korupsi yang telah menjadi “andalan” KPK juga berpotensi gagal karena proses penyadapannya dibocorkan oleh Anggota Dewan Pengawas.

Sebelumnya Luhut Binsar Panjaitan yang mewakili pemerintah menyatakan bahwa Revisi UU KPK hanya dibatasi pada empat aspek saja yaitu kewenangan penghentian penyidikan, rekrutmen penyelidik dan penyidik KPK, pembentukan dewan pengawas dan pengaturan mekanisme penyadapan. Pemerintah juga menyatakan akan menolak Revisi UU KPK jika membahas di luar empat poin krusial tersebut dan dinilai melemahkan KPK.

Pemerintah sebaiknya tidak terjebak pada “Proyek Cepat” Revisi UU KPK yang sedang digarap sejumlah Partai Politik oleh DPR. Proyek ini hanya menguntungkan segelintir elit namun merugikan nama baik Jokowi selaku Presiden. Citra pemerintah dipastikan akan menurun drastis dimata publik jika terlibat dan setuju dalam “Proyek Cepat” Revisi UU KPK. Penolakan segera terhadap Revisi UU KPK menjadi sangat mendesak agar Presiden Jokowi tidak masuk dalam catatan sejarah kelam negeri ini sebagai Presiden Indonesia yang berhasil lemahkan KPK.

Oleh karena itu, berdasarkan fakta dan realitas di atas, kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Aceh meminta agar:

1.    Pemerintah khususnya Presiden Jokowi untuk menolak “Proyek Cepat” Revisi UU KPK dan   menarik pembahasan naskah regulasi tersebut bersama dengan DPR karena secara subtansi sudah “keluar jalur” dan tidak ada satu pun yang memperkuat KPK. Penolakan Revisi UU KPK ini juga sebagai realisasi salah satu janji Presiden Jokowi dalam salah satu butir Nawa Cita khususnya memperkuat KPK.

2.    Seluruh Fraksi Partai Politik untuk membatalkan rencana Revisi UU KPK. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Aceh akan mengajak rakyat di seluruh Aceh untuk tidak memilih atau lakukan boikot terhadap Anggota DPR dan Partai Politik yang setuju Revisi UU KPK dalam Pilkada serentak 2017 di Aceh maupun Pemilu 2019 mendatang.

3.    KPK mengirimkan surat resmi yang menyatakan penolakan terhadap rencana pembahasan Revisi UU KPK dengan substansi yang melemahkan kerja KPK.

 

Banda Aceh, 14 Februari 2016

  

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Aceh

 

LBH Banda Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, KontraS Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Prodeelat, Walhi Aceh, Court Monitoring KPK Fakultas Hukum Unsyiah, Rumoh Transparansi Aceh, Solidaritas Perempuan (SP) Aceh, Balai Syura Ureung Inoeng Aceh,

ALSA (Asian Law Students Association) LC Unsyiah

 

CP: Alfian (Koordinator Badan Pekerja MaTA)  Hp 08126956622

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan