Pernyataan Komisaris Pertamina Dinilai Menyesatkan [28/06/04]
Gelombang protes bermunculan menyusul pernyataan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi mengenai penjualan tanker raksasa PT Pertamina (Persero) akhir pekan lalu. Sebagian besar menolak penjelasan Laksamana yang juga menjabat sebagai komisaris utama perusahaan minyak nasional yang menyatakan penjualan tanker merupakan pengalihan utang.
Masyarakat Profesional Madani yang dipimpin Ismed Hasan Putro menilai, pernyataan Menteri BUMN itu menyesatkan dan mencerminkan sikap yang tidak profesional. (Pernyataan itu) sulit dipahami akal sehat, kata Ismed dalam siaran pers kepada koran ini kemarin.
Dia menjelaskan, pembelian kapal melalui utang yang tidak tercatat dalam neraca Pertamina adalah mustahil. Alasannya, dari segi akuntansi, jika muncul utang di sisi pasiva maka otomatis harus dicari pula padanannya di sisi aktiva. Setidaknya kapal tanker itu dicatat dengan istilah work in progress di neraca Pertamina, ujarnya.
Kecaman serupa juga dikemukakan Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia pimpinan Otto Geo Diwara. Menurut Otto Geo Diwara, pembayaran cicilan pembelian kapal oleh Pertamina seharusnya dikonversi menjadi aset atau aktiva agar neraca perusahaan menjadi seimbang. Dia juga menolak penjelasan yang menyatakan bahwa penjualan itu merupakan pengalihan utang.
Menurut Otto, kontrak pembelian kapal tanker antara Pertamina dengan Hyundai Heavy Industries meliputi hak dan kewajiban, bukan perjanjian utang piutang. Selain itu, perjanjian pengalihan utang (novasi) seharusnya melibatkan tiga pihak, yakni kreditor, debitor, dan pihak yang menerima pengalihan.
Perjanjian yang ada sekarang hanya melibatkan Pertamina dan Frontline Ltd. (pemenang tender penjualan kapal), tanpa melibatkan Hyundai sama sekali, ujarnya, dalam keterangan persnya.
Dia juga merujuk pada perjanjian jual-beli yang ditandatangani Pertamina dan Frontline. Perjanjian itu menekankan bahwa Frontline akan menyerahkan uang ke Pertamina, dan perusahaan minyak negara itu akan menyerahkan kapal ke pemenang tender itu. Serah terima itu dilakukan setelah Hyundai menyerahkan pula kapal tanker tersebut ke Pertamina. Secara yuridis, kapal tanker yang diterima dari Hyundai menjadi milik Pertamina, baru diserahkan ke Frontline, katanya.
Otto juga mempertanyakan penunjukan Menteri Keuangan Boediono dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro sebagai penasihat ahli komisaris Pertamina oleh Laksamana. Penunjukan itu tertuang dalam Surat keputusan Komisaris Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina Nomor 005/KPTS/K/DK/2003 dan Nomor 006/KPTS/K/DK/2003, dan ditandatangani Komisaris Utama pada 23 Oktober 2003.
Tim penasihat bertugas memberikan nasihat dan masukan kepada komisaris, sesuai bidang yang dikuasainya. Boediono bertugas memberi nasihat dan masukan mengenai keuangan dalam kaitan dengan subsidi pemerintah untuk bahan bakar minyak (BBM) dan pengembangan usaha. Sedangkan Purnomo memberi nasihat dan masukan mengenai perkembangan pasar dan harga minyak mentah dunia dan tugas-tugas penyediaan dan pelayanan BBM di dalam negeri dalam kaitannya dengan subsidi pemerintah.
Dalam surat keputusan itu, ditetapkan bahwa honorarium bagi para penasihat ahli setara dengan gaji komisaris utama. Selain itu, biaya pelaksanaan tugas penasihat ahli, termasuk biaya perjalanan dinas dalam dan luar negeri dibebankan pada anggaran komisaris Pertamina.
Menurut Otto, penunjukan itu tidak sesuai dengan Anggaran Dasar Pertamina setelah berubah status menjadi persero. Mana ada, posisi penasihat ahli dalam struktur organisasi komisaris Pertamina? ujarnya.
Otto menilai, penunjukan itu merupakan perampokan, karena setidaknya perusahaan harus membayar sekitar Rp 75 juta setiap bulan bagi setiap penasihat ahli ini. Jumlah ini, kata dia, sesuai dengan persetujuan Laksamana sebagai komisaris utama atas usulan Komite Remunerasi tentang honorarium komisaris utama, yang berlaku sejak Oktober tahun lalu.
Sementara itu, kelompok lain di Pertamina yang mengatasnamakan Serikat Pekerja Forum Komunikasi Pekerja dan Pelaut Aktif Pertamina pimpinan Capt. H.M. Djafar memberikan dukungan atas kebijakan penjualan tanker oleh direksi. Mereka menilai pembatalan pembelian tanker sudah tepat karena perusahaan mengalami krisis keuangan.
Namun, meskipun memberikan dukungan penjualan tanker raksasa, serikat pekerja itu meminta direksi tidak membatalkan pembangunan empat unit kapal yang sedang dikerjakan di galangan kapal dalam negeri. Mereka juga ingin keuntungan dari penjualan kapal dialokasikan untuk meningkatkan investasi bisnis perkapalan.
Keuntungan (hasil penjualan tanker raksasa) bisa digunakan untuk membeli kapal yang sesuai dengan standar internasional dan yang didesain sesuai dengan kondisi perairan Indonesia, tegas Djafar. Selain itu, kata dia, pekerja mendesak agar direksi segera merampungkan rencana untuk memperkuat armada perkapalan domestik, seperti yang dijanjikan. dara meutia uning
Sumber: Koran Tempo, 28 Juni 2004