Perluasan Objek Praperadilan, Ancam Penegakan Hukum Terpidana Korupsi

Penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tertuang dalam keputusan MK bernomor 21/PUU-XII/2014 kemarin, Selasa (28/4/2015). Selain penetapan tersangka, MK juga memperluas kewajiban lembaga praperadilan dengan memasukan penggeledahan dan penyitaan sebagai objek.

Diketahui sebelumnya, Sidang yang dipimpin oleh Hakim Arief Hidayat yang mengabulkan permohonan Bachtiar Abdul Fatah, Karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), yang menguji Pasal 1 Angka (14), Pasal (17), Pasal 21 Ayat (1), dan Pasal 99 KUHAP. Selain itu, mengenai Pasal 1 Angka (24), Pasal 17, dan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP, MK memberikan tafsiran terkait dengan alat bukti, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup.

“Pertimbangan MK yang menyertakan pemeriksaan calon tersangka di samping minimal dua alat bukti tersebut di atas, adalah agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka yang harus terpenuhi dulu dua alat bukti, adalah agar terjadi transparasi dan ada perlindungan hak asasi seseorang,” ujar Hakim MK Wahiduddin Adams.

Pengamat Hukum Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf menegaskan bahwa keputusan MK tersebut akan mempersulit upaya penegakan hukum di tingkat tindak pidana korupsi. "Ini sangat bahaya, ketika tersangka menjadi objek praperadilan maka dipastikan akan banyak masalah dari penegakan hukum itu sendiri," ujarnya saat dihubungi antikorupsi.org

Menurut dia, tidak ada hubunganya jika MK mengaitkan perluasan objek praperadilan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Karenanya, apa yang menjadi kewenangan praperadilan saat ini adalah tugas penyidik di dalam pokok perkara.

"Saya tidak lihat penetapan tersangka sebagai potensi pelanggaran HAM. Karena ketika yang bersangkutan menjadi tersangka status tersebut hanya dugaan yang sewaktu-waktu bisa hilang karena keputusan hukum," jelasnya.

Asep menegaskan, ada upaya lanjutan pelemahan lembaga hukum khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui lembaga peradilan (MK). Selain itu, posisi penyidik di lembaga hukum dalam pemberantasan korupsi semakin terhambat karena ada 'sarpin-sarpin' yang muncul di praperadilan.

"Saya tidak bisa membayangkan, ketika semua aspek pengumpulan alat bukti sudah cukup,  lalu tiba-tiba ada masalah kecil yang ditemukan di praperadilan. Selanjutnya menanggalkan status tersangkanya. Apa yang akan terjadi di dalam sistem penegakan hukum kita?" keluh dia.

Menurutnya kedepan MK dapat membuat regulasi baru yang mengatur perluasan penetapan tersangka. Bukan menambahkan fungsi praperadilan yang membuka tersangka menjadi objek gugatan praperadilan.

"Regulasi yang harus dibuatlah yang mengatur bagaimana proses penetapan tersangkanya serta proses penyitaan barang bukti. Bukan menambah kewenangan yang salah, karena ini sangat mengancam khususnya pemberantasan korupsi," tegasnya dia.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan