Perlu UU dengan Efek Jera

Korupsi adalah salah satu penyakit krusial negeri ini yang tak kunjung dapat diberantas, setidaknya diminimalkan. Hal tersebut bukan soal tidak adanya undang-undang, peraturan, atau aparat terkait yang sanggup mengatasinya.

Namun, birokrasi sejatinya memang tidak mudah dikontrol. Itulah alasan mengapa sejarah yang pahit sekalipun harus dapat diambil manfaatnya agar kita dapat membangun institusi kontrol yang sehat.

Setidaknya, perangkat kontrol yang selama ini dipercaya dan diandalkan adalah Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Departemen Hukum dan Kehakiman. Artinya, secara konstitusi, institusi inilah yang dipercaya mengawasi dan membekuk koruptor.

Karena itu, bangsa ini sungguh-sungguh membutuhkan kejujuran dan keseriusan semua lembaga hukum tersebut. Selain itu, memang mesti ada kerja keras, kerja sama, tekad bulat, dan komitmen penuh yang sinergis dari seluruh komponen bangsa.

Ketidaktegasan Hukum
Sampai hari ini, publik masih memandang tidak ada pencapaian signifikan dalam pemberantasan korupsi. Saya menangkap ini tidak terlepas dari ketiadaan etika moral elite birokrasi serta lemahnya law enforcement dan UU yang kurang tegas. Ini memang faktor dominan yang paling sering dipersalahkan.

Selain itu, sejarah juga mencatat tidak ada satu pun negara berkembang di dunia seperti Indonesia yang bebas dari praktik-praktik korup para pejabatnya.

Bisa jadi beberapa koruptor kakap seperti mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh telah dapat ditangkap. Tapi, rakyat tetap merasa frustrasi dan pesimistis melihat kinerja para aparat dan institusi kontrol yang masih angin-anginan.

Pemerintah sendiri tidak mengatasi masalah ini dengan serius, atau apabila ya, tampaknya tidak sanggup mengubah keadaan status quo. Faktanya, orang-orang korup tetap saja masih berkuasa dan berhasil bertahan atau melawan dengan segala upaya, baik dengan cara-cara lama seperti menyuap atau memakai strategi baru seperti mengalihkan isu publik.

Ironisnya, aparat hukum sendiri juga tidak mempunyai perangkat yang ditunjuk sebagai focal point dalam memerangi korupsi. Institusi kontrol lebih sering bekerja dan mencari data sendiri-sendiri daripada bersinergi satu sama lain mengungkap kebusukan birokrasi. Apalagi, sampai hari ini pun kita tidak mendengar semacam strategi nasional yang disepakati bersama untuk memberangus korupsi.

Maksimalkan Kerja Aparat
Berangkat dari keprihatinan tersebut, sudah waktunya kita memaksimalkan segenap potensi hukum dan UU yang memungkinkan munculnya efek jera bagi para koruptor. Kalau perlu, UU yang dinilai menghambat kinerja aparat serta merumitkan proses peradilan di meja hijau, ditinjau kembali dan dipertegas seketat-ketatnya. Juga, yang tidak kalah penting adalah memaksimalkan etos kerja dan etos jujur aparat-aparat hukum terkait.

Ini penting karena orang masih belum bisa melupakan kekuatan kapital sebagai satu-satunya cara ampuh melemahkan ketegasan hukum. UU tetap bisa dibeli dengan segala cara dan aparat juga dapat dinego, apalagi di tengah-tengah kesulitan ekonomi bangsa seperti saat ini.

Cukup banyak data yang dihimpun lembaga-lembaga pemantau korupsi dan civil society yang menunjukkan penyidikan terhadap beberapa tersangka kasus korupsi besar dihentikan, baik oleh Kejaksaan Agung maupun kejaksaan tinggi di daerah.

Mereka yang tersangkut urusan hukum berusaha mati-matian menyuap polisi, jaksa, hakim, maupun aparat hukum lain agar terbebas dari persoalan yang membelitnya. Segala celah dimanfaatkan agar penegak hukum tersuap. Segala cara ditempuh agar pengusutan lebih jauh hanyalah retorika kaum hakim, jaksa, dan lembaga pengadilan.

Itu berarti bila tidak ada maksimalisasi etos kerja dan etos jujur dari aparat terkait. Kiranya tepat ilustrasi Romo Benny (2004) dalam bukunya Hancurnya Etika Politik. Dia gusar bahwa bangsa ini mengalami degradasi moral yang amat parah akibat perilaku segelintir orang yang tak mempunyai rasa tanggung jawab terhadap bangsanya, segelintir orang yang tidak menyadari bahwa perilaku-perilakunya menyebabkan kehancuran dalam berbagai sendi kehidupan kebangsaan.

Apa yang mereka tampilkan menyebabkan moralitas publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hampir terlupakan. Inilah watak yang biasa terjadi pada aparat hukum yang mesti diantisipasi secara sedini.

Maraknya pengusutan kasus korupsi di pusat dan berbagai daerah pada akhirnya hanyalah sebuah kerja yang sia-sia bila tidak diiringi kemampuan penataan sistem birokrasi seefektif mungkin yang tidak memberikan peluang para koruptor bermain harta dan aset rakyat seenaknya.

Meskipun institusi kontrol dan aparat kita adalah orang-orang yang serius menangani korupsi, tetap saja itu bukan garansi bahwa mereka antisuap. Sebab, korupsi pada dasarnya juga menyangkut sistem dan mentalitas.

Abdullah Yazid, mahasiswa FKIP Universitas Islam Malang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 13 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan