Perlu Revolusi Sistemik; Komite Sekolah Harus Mengontrol Anggaran Pendidikan
Alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD harus dijaga agar jangan sampai birokrasi pendidikan menjadi pihak yang menarik keuntungan. Perlu ada revolusi dalam sistem pengelolaan dan pengawasan anggaran pendidikan yang terpisah antara anggaran untuk birokrasi pendidikan dan anggaran untuk sekolah.
Demikian dikemukakan Koordinator Indonesia Corruption Watch Teten Masduki saat memaparkan hasil penelitian Anggaran dan Mutu Pelayanan Sekolah di Jakarta, Kamis (8/6).
Menurut Teten, pengawasan anggaran untuk birokrasi pendidikan dilakukan oleh BPK dan BPKP. Adapun pengawasan anggaran pendidikan di sekolah bisa dilakukan dengan menggunakan dan mengefektifkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Bila prinsip-prinsip MBS dipenuhi, akan tercipta pemerintahan sekolah yang transparan dan akuntabel. Transparansi dan akuntabilitas anggaran di tingkat sekolah itu akan mencegah sekolah menjadi sasaran pemerasan birokrasi pendidikan sebagaimana terjadi selama ini.
Dalam pemaparan hasil survei ICW yang disampaikan oleh aktivis ICW, Ade Irawan dan Febri Hendri, terungkap bahwa peningkatan anggaran pendidikan di tingkat pusat maupun tambahan dana yang diterima sekolah melalui bantuan operasional sekolah (BOS) ternyata tidak meningkatkan kualitas mutu pelayanan pendidikan di sekolah. Survei yang dilaksanakan pada 2005 itu dilakukan terhadap 800 responden orangtua murid di 80 SD negeri di Jakarta dan Garut, Jawa Barat, dengan sistem kartu laporan warga.
Survei itu juga mengungkapkan bahwa fasilitas dan sarana sekolah di Garut jauh lebih buruk dibandingkan di Jakarta. Di Jakarta, keluhan terhadap buruknya fasilitas pendidikan itu terutama menyangkut ketiadaan buku ajar untuk siswa.
Sebanyak 76,53 persen responden mengatakan bahwa tidak ada buku paket yang dipinjamkan secara gratis kepada siswa. Anggaran tambahan yang diterima sekolah melalui mekanisme BOS ternyata tidak menurunkan pungutan sekolah, termasuk jenis pungutan yang dilarang. Ironisnya lagi, menurut sebagian besar responden, sekolah tidak pernah memberikan laporan tertulis mengenai penggunaan dana masyarakat.
Peran komite sekolah
Anggota Komisi X DPR, Elviana, mengingatkan bahwa siapa pun tak akan rela jika anggaran pendidikan yang sebetulnya merupakan uang rakyat tersebut diselewengkan oleh birokrat pusat, birokrat daerah, dan pengelola sekolah. Untuk itu, peran komite sekolah yang relevan dengan MBS harus dioptimalkan.
Wakil rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan ini menegaskan, sebagai lembaga yang mengakomodasi pemangku kepentingan pada tingkat satuan pendidikan, komite sekolah memiliki fungsi kontrol sosial.
Perlu dipikirkan sebuah mekanisme yang membuat komite sekolah mengetahui secara transparan semua dana yang masuk ke rekening sekolah. Oleh komite sekolah, informasi tentang dana ini sewajarnya pula diinformasikan ke seluruh orangtua siswa.
Dengan demikian masyarakat bisa mengontrol terasa-tidaknya pengaruh kenaikan anggaran 20 persen tersebut. Dampak prioritas adalah terciptanya layanan pendidikan dasar gratis untuk menunjang penuntasan program wajib belajar sembilan tahun, kata Elviana. (NAR/WIS)
Sumber: Kompas, 9 Juni 2006