Perlu Penegak Hukum Progresif untuk Tangani Indikasi Politik Uang (3 Juli 2004)

JAKARTA, KOMPAS - Hanya penegak hukum yang berpikir dan bertindak progresif saja yang diyakini bisa menuntaskan indikasi politik uang yang terjadi pada pemilihan presiden-wakil presiden. Jika hanya bersandar pada standar normatif, besar kemungkinan indikasi praktik politik uang tidak terjamah.

Anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) Topo Santoso di Jakarta, Jumat (2/ 7) siang, mengakui adanya kendala untuk mengungkap tuntas praktik politik uang. Dalam praktik yang penuh akal-akalan, nyaris mustahil seseorang secara terang-terangan membagikan uang dengan ajakan untuk memilih pasangan tertentu.

Namun, praktik pemberian uang atau materi lain yang dilakukan pada masa kampanye oleh pasangan calon atau tim kampanye atau tim suksesnya pasti dimuati maksud untuk memengaruhi pihak yang menerima pemberiannya sehingga diperlukan perlakuan khusus untuk mengungkapnya.

Secara sosiologis, pemberian itu sudah masuk dalam politik uang. Namun secara normatif, memang lebih sulit sehingga diperlukan penegak hukum yang lebih progresif untuk menuntaskan indikasi politik uang ini, tandas Topo.

Dasar yang bisa digunakan adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 mengenai pemilu presiden-wakil presiden. Pasal 90 Ayat (2) UU 23/2003 menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat dua bulan atau paling lama 12 bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp 1 juta atau paling banyak Rp 10 juta.

Keputusan KPU Nomor 35 Tahun 2004 mengenai kampanye presiden-wakil presiden menyebutkan, dalam kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih. Dengan begitu, suatu tindakan dapat dikategorikan praktik politik uang jika terdapat unsur ajakan yang memengaruhi pemilih saat berlangsungnya pemberian materi, uang, atau bantuan lainnya.

Topo menekankan adanya kata setiap orang pada UU 23/2003 tersebut yang bisa menjadi acuan dasar bagi para penegak hukum untuk tidak pandang bulu menuntaskan kasus indikasi politik uang .

Karenanya, dalam kasus pemberian sumbangan oleh istri M Jusuf Kalla pada sebuah yayasan pendidikan di Sumatera Barat pada pertengahan Juni lalu yang juga ditemukan adanya ajakan untuk memilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla relatif kuat untuk bisa diteruskan sampai ke proses peradilan. Jusuf Kalla yang serombongan dengan istrinya memang bukan pelaku, namun jerat turut serta bisa digunakan untuk menjaringnya dalam kasus politik uang tersebut.

Indikasi politik uang

Pada Jumat (2/7) siang, Transparency International Indonesia (TII) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan adanya indikasi praktik politik uang yang dilakukan tim sukses pasangan calon presiden-wakil presiden. Pemberian sumbangan kepada yayasan atau sekolah menjadi tren. Selain itu, praktik pembagian uang bagi peserta kampanye juga patut dipertanyakan karena sifatnya yang selalu sembunyi-sembunyi.

Memang ada yang bisa dipahami seperti penggantian transportasi atau sejenisnya. Tapi kalau sudah sembunyi- sembunyi, pasti ada apa-apanya kan? kata Wakil Koordinator ICW Luky Djani. (DIK)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan