Perlu Lembaga Education Watch

Berdasar hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dilakukan di 10 kota/kabupaten di Indonesia, diketahui banyak orang tua yang masih mengeluarkan pungutan tinggi untuk memperoleh layanan sekolah. Tingginya biaya yang dikeluarkan para orang tua murid disebabkan banyaknya penyimpangan terhadap dana BOS yang diduga dilakukan birokrat, terutama di tingkat sekolah dan Dinas Pendidikan.

Senin, 20 Nov 2006,

Selain itu, penyimpangan dana (korupsi) BOS tersebut disebabkan kurangnya informasi pemerintah terhadap stakeholder sekolah (Sindo, 18/11/2006).

Pertanyaan kita, mengapa di tingkat sekolah ada korupsi? Setidaknya, ada lima faktor penyebab korupsi di tingkat sekolah sehingga uang yang harus dibayarkan oleh masyarakat menjadi mahal.

Pertama, kuatnya otoritas kekuasaan struktural dan oknum kepala sekolah. Oknum kepala sekolah seperti raja kecil yang menentukan siapa saja dan berapa besar anggaran yang akan digunakan. Air kotor memang sudah dari atasnya hingga muaranya akan lebih kotor lagi. Pantaslah, institusi sekolah menduduki peringkat kedua sebagai institusi terkorup setelah Depag.

Kedua, lemahnya kontrol masyarakat karena mekanisme komunikasi masyarakat dengan sekolah tidak diberi ruang. Jadi, kontrol pun tidak jelas. Ketiga, sistem demokratisasi sekolah yang otoriter, sangat top down.

Keempat, subsidi pemerintah yang minim. Kelima, rendahnya kesejahteraan guru yang selalu dipakai alasan bagi para guru untuk mencari uang tambahan. Misalnya, penjualan buku.

Persoalannya, bagaimana supaya dana bantuan sekolah tidak dikorupsi dan membebaskan institusi sekolah dari KKN? Menurut saya, pertama, sekolah harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Pemikiran itu menyaran pada bagaimana semua program sekolah dan pendanaan (sumber, distribusi, dan pertanggungjawaban) dilakukan secara terbuka.

Dalam hal itu, program-program di sekolah diawali dengan analisis kebutuhan masyarakat, dirancang menjadi program, diajukan ke komite sekolah, baru diputuskan menjadi program sekolah. Salah satu kelemahan yang terjadi selama ini adalah kecenderungan kepala sekolah yang masih berpola kekuasaan, bukan play maker yang demokratis. Maka, tidak jarang dia dilingkari orang-orang yang ABS (asal bapak senang), brutus, dan ingin memanfaatkan demi kepentingannya.

Karena itu, sekolah amat rawan konflik dan iklim komunikasi warga sekolah terhambat. Program sekolah tidak dikawal bersama, sebaliknya saling menjegal dan sinis terhadap kreasi dan kebijakan sekolah.

Dalam konteks itu, sebaiknya sekolah memiliki sistem komunikasi dengan orang tua, masyarakat, dan komite sekolah dalam hal program dan pertanggungjawaban keuangan. Jika mungkin, sekolah dapat membuka website khusus untuk komunikasi dengan stakeholder-nya.

Kedua, perlu ada pertanggungjawaban balik sekolah kepada masyarakat (akuntabilitas). Jika itu dilakukan, kemungkinan korupsi di sekolah (khususnya dana bantuan sekolah) dapat ditekan. Minimal, mereka berhitung atas apa yang dilakukan dalam keuangan sekolah. Akuntabilitas sebagai poin pertama harus difasilitasi sistem komunikasi dan keran keterbukaan yang baik. Masyarakat dapat mempertanyakan bagaimana uang yang disumbangkan kepada sekolah, dipergunakan untuk apa, dengan cara-cara bagaimana, dan hasil atas finansial yang telah dikeluarkan.

Ketiga, perlunya revitalisasi komite sekolah. Komite sekolah memang dapat dioptimalkan sebagai pengontrol sekolah. Sebab, hakikatnya komite sekolah merupakan organisasi pendamping untuk mendorong peran serta masyarakat dalam pengembangan pendidikan. Di sinilah pentingnya memberdayakan peran dan fungsi komite sekolah seperti Keputusan Mendiknas No 004/U/2002 tanggal 2 April 2002.

Fungsi komite sekolah sebagai pengontrol (controlling agency) akan mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan serta keluaran pendidikan di satuan pendidikan. Karena itu, komite sekolah bukan lagi sebagai stempel (legalisasi) di tubuh sekolah. Ia memiliki hak penting untuk terlaksananya pendidikan di institusi sekolah secara bersih dan bebas korupsi.

Keempat, perlunya semacam lembaga independen semacam education watch di daerah, yang secara khusus akan melakukan kontrol mandiri terhadap lembaga sekolah dan melakukan advokasi kepada masyarakat yang membutuhkan. Lembaga itu akan menjadi lembaga independen, yang terlepas dari berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu.

Fokus utamanya tentu advokasi kepada masyarakat, baik masyarakat sekolah maupun masyarakat yang secara finansial terkait langsung dengan sekolah. Kita berharap, ada kesadaran dari berbagai pihak untuk ikut mengawal terbebasnya institusi luhur pembangunan moral itu agar bersih dari korupsi. Di sinilah dibutuhkan masyarakat yang kuat, cerdas, dan berani menuntut hak-haknya atas lembaga pendidikan yang tidak memberikan layanan selayaknya. Apalagi, mengindikasikan tanda-tanda koruptif.

Joko Riyanto, mahasiswa Fakultas Hukum UNS Solo, peneliti muda pada Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 20 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan