Perlu, Kode Etik Perilaku Hakim

Selama ini, hakim dan personel pengadilan hanya dapat dikenai sanksi jika melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang disiplin pegawai negeri sipil atau ketentuan hukum pidana. Peraturan itu dinilai belum memadai untuk diterapkan bagi hakim karena profesi hakim hanya dipandang dalam status PNS saja, padahal profesi hakim lekat dengan rasa keadilan. Oleh karena itu, perlu dibuat kode etik yang menentukan apakah perilaku hakim melanggar etika profesi atau tidak.

Hal ini terungkap dalam diskusi publik Membentuk Sistem Pengawasan Pengadilan yang Progresif dan Akuntabel oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Jakarta, Jumat (18/3). LeIP memaparkan draf sistem pengawasan perilaku hakim dan personel pengadilan serta pokok pikiran pengaturan mengenai sistem pengawasan perilaku hakim dan personel pengadilan.

Salah satu poin yang disarankan Leip adalah dalam hal pelanggaran dengan ancaman hukuman disiplin sedang dan berat, Ketua Muda Pengawasan dan Kepala Badan Pengawas MA membentuk tim pemeriksa dengan tembusan ke Ketua dan Wakil Ketua MA bidang non-yustisial bila ditemukan pelanggaran perilaku yang dilakukan hakim agung, ketua pengadilan tinggi, atau pejabat eselon II pada MA, dan pelanggaran perilaku berat atau menarik perhatian publik yang dilakukan setiap personel atau pejabat di pengadilan.

Frans Hendra Winarta, praktisi hukum, di dalam diskusi tersebut menjelaskan bahwa tumpulnya sistem pengadilan selama ini dipengaruhi adanya gejala di dalam masyarakat yang selalu ingin memenangkan perkara di pengadilan dengan cara apa pun, baik melalui cara yang tidak sesuai dengan prosedur, melawan hukum, suap, ditambah lagi dengan bantuan oknum advokat yang sering bertindak sebagai calo perkara di pengadilan. Oknum advokat itu bisa menekan hakim dengan membawa berkoper-koper uang.

Putusan kontroversial tidak terlepas dari judicial corruption yang melanda semua tingkat pengadilan. Penyebab yang mengakibatkan judicial corruption memasuki sistem hukum dan peradilan adalah selama 32 tahun para hakim bekerja dalam situasi yang tidak kondusif untuk mengembangkan sikap judicial discretion, yaitu sikap imparsial dan independen dalam memutus suatu perkara, tutur Frans.

Lahirnya putusan kontroversial tidak terlepas dari kekeliruan sistem perekrutan dan pengelolaan sumber daya manusia. (VIN)

Sumber: Kompas, 21 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan