Perlu Keseriusan Aparat Penegak Hukum; Dalam Pemberatasan Korupsi Di Solo

Penanganan sejumlah kasus dugaan korupsi yang terjadi di kota Solo oleh aparat penegak hukum-polisi dan kejaksaan-dinilai belum optimal. Sehingga diperlukan keseriusan dari para penegak hukum dan kerjasama dari seluruh komponen masyarakat dalam memberantasnya.Wacana tersebut muncul dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Solo sabtu lalu.

Menurut Direktur Pattiro Setyo Dwi Herwanto dari data yang dihimpun litbang Pattiro setidaknya ada tujuh kasus dugaan korupsi pada APBD 2003 Kota Solo baik yang sudah ditangani polisi dan kejaksaan maupun kasus yang belum dilaporkan dan dalam tahap investigasi. Diantara kasus yang sduah dilaporkan ke polisi dan kejaksaan adalah kunker fiktif komisi E DPRD Solo 1999-2004 sebesar Rp 135.375.000 yang diduga melakukan kebohongan publik dan menyalahgunakan wewenang jabatan.Kasus tersebut sebelumnya sudah di SP3, tetapi dilaporkan kembali. Biaya operasional/penunjang kegiatan DPRD Solo 1999-2004 sebesar Rp 9.738.616.000 yang diduga melanggar asal kepantasan dan kepatutaan sesuai dengan UU 31/1999 tentang tindak pidana korupsi. Kasus tersebut dilaporkan ke polwil oleh FPAKS dan saat ini 43 anggota DPRD sudah jadi tersangka. Anggaran biaya tambahan (ABT) sebesar Rp 6, 9 miliar yang diduga melanggar kepres 18/2000 dan dobel anggaran.

Kasus tersebut sudah dilaporkan ke Kejari Solo oleh assosiasi jas kontruksi dan saat ini walikota serta kepala keuangan Pemkot Solo ditetapkan sebagai tersangka.

Sedangkan kasus yang masih dalam investigasi adalah pengadaan buku SD/MI, MTs/SMP, SMU/MA sebesar Rp 12,5 miliar yang diduga tidak melalui sistem lelang ettapi penunjukan, sehingga melanggar kepres 80/2003, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi PNS di Solo sebesar Rp 4.094.942.000 yang diduga melanggar SE Dirjen Anggaran Depkeu No 49/A/2003. Sementara dua kasus yang sudah cukup bukti tetapi belum dilaporkan adalah kasus proyek penerangan jalan umum (PJU) sebesar Rp 22,5 miliardan dana taktis operasional walikota sebesar Rp 1 miliar, yang diduga melanggar PP 109/2000, pattiro akan terus mengawal pengusutan berbagai kasus yang sudah dilaporkan ke aparat penegak hukum supaya benar-benar ditangani secara serius. Tetapi ini juga dibutuhkan dukungan dari masyarakat, papar Setyo.

Salah satu pembicara dalam acara tersebut Djoko Trisnowidodo mengemukakan korupsi merupakan permasalahan yang sangat pelik.Pasalnya munculnya korupsi yang saat ini terjadi di indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan VOC di Indonesia. Hanya saja pengertianya dengan korupsi yang terjadi saat ini berbeda. Dimana pada zaman VOC korupsi yang dilakukan tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan untuk kepentingan kompeni. Tetapi korupsi yang terjadi saat ini terwujud dalam berbagai bentuk yang dilakukan untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Upaya pemberantasan korupsi pun sebetulnya juga sudah dimulai sejak zaman presiden pertama Soekarno sampai pada pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tetapi ternyata belum berhasil secara optimal. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya korupsi, pertama soal orientasi materialistik dalam bentuk konsumerisme, penyuapan dan kerakusan. Kedua, kelemahan budaya sadar hukum. Ketiga, melupakan loyalitas terhadap tugas.

Keempat, peran masyarakt yang kurang optimal.Terakhir,lemahnya penegakan hukum.

Munculnya faktor tersebut, disebabkan kurangnya dedikasi profesionalisme para aparat penegak hukum, konspirasi dan presure politis, papar Djoko.

Sementara itu pembicara lain Mudric M Sangidoe juga pesimis terhadap aparat penegak hukum dalam pemeberantasan korupsi di Solo dan di Indonesia. Pasalnya, sejumlah kasus dugaan korupsi masih banyak kasus yang belum tertangani secara optimal. Saya menilai pemberantasan kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum di Solo ini masih meble tegas Mudric. Dia juga mengungkapkan contoh kasus lain soal pesta sabu-sabu oleh penghuni Lapas Solo. Dia menilai aparat penegak hukum telah teledor dalam pengawasan.

Beberapa potensi yang dapat mendorong untuk melakuakn korupsi diantaranya pemanfaatan kesempatan dalam penerimaan pegawai dan penempatan pejabat dalam suatu jabatan.Biaya tinggi yang harus dikeluarkan seorang calon pejabat dalam memperebutkan jabatan legislatif dan eksekutif. Sehingga ketika jadi pejabat mereka berupaya untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan tersebut. Juga kebiasaan pemberiaan gratifikasi kepada pejabat negara dan daerah atau pegawai yang memegang kekuasaan untuk suatu kepentingan tertentu.

Selain itu loyalitas pegawai selama ini justru tunduk pada atasan dari pada loyal terhadap tuags mereka. Kebiasaan mengikuti arus untuk mempertahankan eksistensi di ligkunganya dan budaya ewuh pakewuh masih terasa kental di lingkunagn pejabat, tambah Djoko

Sedangkan secara sistem lanjut Djoko aparat penegak hukum lebih banyak menunggu laporan dugaan korupsi dari masyarakat. Padahal seharusnya mereka bisa jemput bola untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus yang diduga terjadi KKN. Fungsi pengawasan fungsional dan pengawasan represif dalam penyelenggaraan pemerintah daerah pun masih kurang optimal.

Bagaimana Solusi pemberantasan korupsi tersebut. Djoko mengungkapkan setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan yaitu Optimalisasi penggunaan hak angket dalam rangka melakukan fungsi pengawasan terhadap masalah kebijakan eksekutif. Pengawasan represif dari Gubernur ke Pemda. Pengawasan terhadap aparat penegak hukum.Penerapan secara konsisten atas pembuktian terbalik. termasuk dalam hal ini harus ada jaminan kerahasiaan pelapor dugaan korupsi dari aparat. Kegagalan dan keberhasilan pemberantasan korupsi melalui tindakan represif ini tergantung kemampuan dalam pengembangan alat bukti, kecermatan dalam penysunan dakwaan dan penguasaan ilmu pendukung. Selain itu juga diperlukan komitmen moral dalam memberantas korupsi ini, pungkas Djoko.

Wakapolres Kompol Kumpul pun mengakui pemberantasan korupsi merupakan masalah yang cukup pelik. Walaupun demikian polisi tetap bertekat untuk serius menanganinya. Terbukti sejumlah kasus korupsi yang saat ini ditangani Polwil Solo sduah ada yang diajukan ke kejaksaan. Oleh karena itu pihaknya meminta supaya masyarakat bisa pro aktif untuk bekerjasama dengan polisi dalam pemberantasan korupsi ini.

Menariknya dalam kesempatan tersebut salah satu peserta diskusi Rahmad Wahyudi sempat bertanya kepada dua kandidat calon wali kota (cawali) Solo Jokowi dan Ichwan Dardiri soal komitmen mereka dalam pemberantasan korupsi. Keduanyapun secara tegas bersedia untuk melakukan transpransi anggaran kepada mayarakat jika terpilih menjadi wali kota. Jika terpilih menjadi wali kota, saya siap untuk melakukan transparansi anggaran kepada masyarakat, tegas Jokowi senada dengan Ichwan Dardiri.(bun)

Sumber: Radar Solo, 10 Januari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan