Perlu Hati-hati Menyikapi Rencana Pendidikan SD Gratis

Rencana pemerintah untuk menggratiskan pendidikan di tingkat SD perlu disikapi secara berhati-hati. Jangan sampai pembebasan biaya itu hanya jadi komoditas politik, sementara praktik di lapangan murid tetap dikenai berbagai pungutan melalui komite sekolah. Penggratisan SD juga harus menjamin sekolah memiliki dana yang cukup agar mutu pendidikan yang diselenggarakan tidak makin merosot.

Perdebatan seputar rencana penggunaan sebagian dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM) untuk menggratiskan biaya pendidikan di tingkat SD berlangsung dalam diskusi yang diselenggarakan Institute for Education Reform di Jakarta, Kamis (24/3).

Hadir dalam diskusi tersebut Direktur Institute for Education Reform Utomo Dananjaya dan Sekretaris Mohammad Abduhzen, Direktur Eksekutif Economic and Human Resource Development Institute Abdul Malik, Presiden Direktur Institute for Development of Economics and Finance M Fadhil Hasan, dan aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) Ade Irawan.

Utomo Dananjaya mengemukakan, dana kompensasi BBM sebaiknya dipergunakan untuk memulai sekolah gratis untuk tingkat SD dan SMP, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan UU Sistem Pendidikan Nasional. Sekolah gratis diartikan siswa bisa mengikuti pendidikan tanpa kewajiban orangtua membayar dalam bentuk apa pun dan siswa memperoleh pinjaman buku dari sekolah.

Dengan jumlah murid SD dan SMP atau yang sederajat sebanyak 33.782.900 orang, Utomo memperkirakan dana yang diperlukan untuk membebaskan SPP dan buku sekolah diperkirakan mencapai Rp 16,28 triliun, dengan catatan buku berlaku selama lima tahun.

Utomo menyarankan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengeluarkan pernyataan kepada publik agar masyarakat tidak perlu membayar uang sekolah untuk SD dan SMP, buku pelajaran akan dibayar oleh pemerintah, dan mengingatkan kepada kepala sekolah dan guru yang memungut biaya lainnya akan didenda dan diberhentikan sebagai pegawai negeri.

Dukungan untuk menggratiskan SD dan SMP juga dikemukakan oleh Fadhil Hasan. Dukungan itu didasarkan pada riset Fadhil, yang mengungkapkan bahwa efektivitas penggunaan dana kompensasi BBM untuk masyarakat miskin hanya mencapai 30 persen. Itu disebabkan kebijakan yang diskriminatif tersebut menimbulkan kompleksitas dalam pelaksanaannya sehingga hanya sekitar 30 persen golongan masyarakat miskin yang menerima dana tersebut.

Fadhil mengusulkan agar dana kompensasi BBM senilai Rp 17,9 triliun ditingkatkan menjadi Rp 25 triliun dan penggunaannya difokuskan untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Dana kompensasi BBM untuk pendidikan dipergunakan untuk menggratiskan SD. Penggratisan SD akan mempermudah pembuatan program dan mekanisme pelaksanaannya.

Abdul Malik mengkhawatirkan penggratisan SD akan menyebabkan kualitas SD semakin menurun. Ia khawatir dalam pelaksanaannya, bila SD digratiskan, dana yang masuk ke sekolah tidak Rp 25.000 per anak per bulan, tetapi akan diturunkan menjadi Rp 10.000 per anak per bulan. Dana tersebut tidak cukup untuk membiayai operasional SD. Ia juga khawatir SD gratis hanya menjadi kepura-puraan karena akan muncul pungutan lain melalui komite sekolah. Kekhawatiran itu juga dikemukakan oleh Ade Irawan.

Penggratisan SD dan SMP, menurut Abdul Malik, mungkin dilaksanakan bila anggaran pendidikan mencapai 20 persen dari APBN. Namun, ia juga khawatir dengan dana sebegitu besar tidak akan efektif karena kapasitas institusional birokrasi pendidikan untuk mengelola dana tersebut masih sangat lemah.

Fadhil juga mengungkapkan kekhawatirannya, pembahasan penggunaan dana kompensasi BBM dengan DPR akan memakan waktu lama dan bertele-tele. Ia memperkirakan dana kompensasi BBM baru bisa berjalan pada September, padahal Desember harus sudah habis. Pemerintah memang tidak siap dalam menggunakan dana kompensasi BBM, kata Fadhil. (wis)

Sumber: Kompas, 26 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan