Perlindungan Saksi dalam Perkara Korupsi

Kasus Mulyana W Kusumah (MWK) telah memunculkan pro dan kontra tentang perlu tidaknya perlindungan hukum yang diberikan kepada seorang yang terlibat dalam perkara korupsi akan tetapi telah membantu penyidikan sehingga dapat diketahui seluruh aktor yang terlibat dan diketahui besarnya dana yang dikorupsi dan alirannya ke berbagai instansi atau perorangan. Dalam referensi kriminologi dan hukum pidana dikenal istilah crime doesn't pay akan tetapi dibantah dengan menyatakan crime does pay artinya sekecil apapun kejahatan harus diberikan sanksi.

Perkembangan kebijakan hukum yang memberikan sanksi baik terhadap pemberi suap maupun penerima suap menjadikan tidak mudahnya penegakan hukum terhadap kasus suap tersebut. KUHP buatan Belanda sudah benar hanya memberikan sanksi terhadap penerima suap (suap pasip) penyelenggara negara (PNS), akan tetapi dengan UU No 11/1980 tentang Tindak Pidana Suap, maka pemberi suap juga dihukum. Ketentuan ini kemudian telah diadopsi ke dalam UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga perbuatan suap termasuk ke dalam kategori korupsi, sekalipun tidak ada unsur kerugian keuangan negara.

Selektif
Perubahan politik hukum pidana dalam pemberantasan korupsi ini memiliki akibat hukum yang tidak kecil karena sejak diberlakukannya UU No 31/ 1999. Perbuatan suap dalam KUHP telah kehilangan arti dan maknanya sebagai tindak pidana umum, melainkan harus diartikan sebagai tindak pidana khusus. Dengan demikian di bawah rubrik UU No 31/1999, perbuatan suap aktif maupun pasif adalah tindak pidana korupsi. Bahkan perbuatan suap harus diartikan sebagai mata rantai dari suatu tindak pidana korupsi atau dengan kata lain perbuatan suap adalah embrio dari korupsi sehingga suap dan korupsi merupakan kembar.

Kedua jenis perbuatan ini sudah tentu bermuara kepada kerugian kepada negara baik material maupun immaterial (krisis kepercayaan). Apabila kita memiliki persepsi yang sama dalam memandang perbuatan suap sebagai suatu mata rantai dari perbuatan korupsi dan tidak merupakan perbuatan yang berdiri sendiri (pandangan lama yang dianut oleh KUHP) maka perbuatan suap pada abad ini sudah mengalami perubahan makna dan implikasi hukumnya yang berbeda secara mendasar dengan perbuatan suap pada awal kelahirannya (abad ke-18). Perubahan makna dan implikasi perbuatan suap sebagai mata rantai dari korupsi menyebabkan pemberian sanksi terhadap pemberi dan penerima suap tidak lagi seharusnya ditafsirkan secara kaku akan tetapi harus ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas yaitu bagaimana memenangkan perang terhadap korupsi saat ini.

Jika strategi ini akan tetap dipertahankan maka perlu ada perubahan taktik dalam menghadapi pelaku korupsi dan potensial koruptor sehingga tidak ada satupun koruptor yang lolos dari penuntutan. Perubahan taktik dalam strategi memenangkan perang terhadap korupsi ini antara lain, memberikan perlindungan hukum terhadap pelaku suap (penerima atau pemberi) yang pertama melaporkan kepada penegak hukum termasuk KPTPK tentang terjadinya penyuapan.

Pemberian perlindungan hukum ini sudah tentu harus selektif dan penuh kehati-hatian sehingga hanya orang yang tepat termasuk track-record-nya yang sudah teruji baik yang berhak menerimanya. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi tahun 2003, yang saat ini akan diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, telah mengadopsi pemikiran-pemikiran para ahli hukum abad ke-21, berasal baik dari sistem civil law maupun common law yang menyepakati bahwa terhadap para pelaku korupsi yang memberikan bantuan yang sangat substansial (substantial cooperation) dalam penyidikan diberikan keringanan hukuman atau pembebasan dari penuntutan.

Melihat substansi Konvensi PBB dalam kaitan perlindungan hukum ini tampak adanya standar ganda, di satu sisi, kepada koruptor harus dihukum dan tidak lolos dari penuntutan, tapi di sisi lain, ada semacam ''imunitas'' terhadap pelaku-pelaku korupsi yang kooperatif dalam proses penyidikan sehingga mendukung optimalisasi pemberantasan korupsi. Namun demikian, kiranya perlu dipahami pendekatan yang digunakan PBB ini karena korupsi merupakan sumber kemiskinan dan telah merupakan kejahatan yang bersifat sistematik dan meluas sehingga merupakan kejahatan yang sulit pembuktiannya. Pernyataan PBB bahwa korupsi sebagai ancaman terhadap kemanusiaan dan pembangunan berkelanjutan merupakan perubahan mendasar atas paradigma yang mengunggulkan pendekatan hukum semata-mata kepada paradigma baru yaitu melindungi kepentingan yang lebih besar yaitu, masyarakat, bangsa dan negara, dari jurang kemiskinan.

Gerakan tutup mulut di lingkungan birokrasi dalam sistem pemerintahan yang berbudaya paternalistik merupakan karakteristik yang sangat menonjol sehingga berterus terang tentang siapa penerima suap dan siapa yang memberi suap merupakan aib kolektif yang harus ditanggung oleh institusi. Belum lagi ada ancaman pemecatan dan mutasi terhadap siapa yang meniup peluit (whistle blower) merupakan konsekuensi logis dari tanda ketidaksetiaan terhadap atasan dan institusi sekalipun atasan dan institusinya telah melanggar hukum dan mengalami kemerosotan nilai-nilai moral. Ancaman terhadap nyawa dan jiwa pelapor juga bukanlah sesuatu yang mustahil dalam menghadapi mafia korupsi yang merambah kepada institusi penegak hukum dan institusi yang bertugas melaksanakan pelayanan kepada public. Gerakan tutup mulut dan loyalitas terhadap atasan dan institusi dalam keadaan apapun merupakan spirit yang melekat kuat pada bagian besar penyelenggara negara saat ini. Keadaan ini hanya dapat dibongkar ke akar-akarnya jika ada yang berani meniup peluit karena mengetahui seluk beluk modus operandi mafia korupsi tersebut.

Paradigma baru
Jika kita dan pemerintah sudah bertekad untuk membongkar habis kejahatan terhadap kemanusiaan ini, dan bahkan merupakan musuh bangsa Indonesia, paradigma baru pemberantasan korupsi di atas haruslah dijadikan landasan berpikir dan bertindak kita sekalian yang masih peduli terhadap beban bangsa ini karena perilaku koruptor. Kita tidak bisa lagi selalu berpikir legalistik dengan paradigma yang berkembang pada abad ke-17 dan abad ke-18, melainkan kita harus terus berpikir dinamis dan maju dalam menyusun strategi untuk memenangkan pemberantasan korupsi dengan selalu mengikuti perkembangan modus operandi dan karakter mafia korupsi di Tanah Air. Mafia korupsi bahkan sudah berhasil menanamkan pengaruhnya kepada hampir seluruh elemen masyarakat bahwa suap itu sudah biasa dan merupakan ''budaya'' masyarakat kita.

Strategi dan taktik pemberantasan suap dan korupsi di Indonesia yang sudah dilaksanakan oleh KPTPK dalam kasus MWK adalah merupakan cara yang tepat untuk memenangkan perang terhadap mega korupsi. Penulis harapkan KPTPK harus tetap konsisten menjalankan strategi dan taktik ini sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UU. Tidak ada yang salah dan melanggar hukum dalam strategi dan taktik tersebut, begitu pula tidak ada pelanggaran hak asasi tersangka dalam strategi dan taktik itu karena semua itu sudah diatur dalam UU yang membolehkan penggunaan metoda penafsiran yang diperluas sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah peradilan di Belanda, dan kemudian dianut di Indonesia, yaitu menafsirkan arus listrik sebagai suatu barang yang dapat dicuri.

Dalam doktrin dan praktik hukum pidana disediakan berbagai macam penafsiran hukum. Indriyanto S dalam memberikan pendapatnya atas kasus MWK (Kompas, 28 April 2005), lebih senang menggunakan penafsiran gramatikal dan pendekatan legalistik semata-mata akan tetapi kurang menggunakan penafsiran historis, teleologis, dan penafsiran sistematis. Sedangkan penulis lebih yakin lagi dengan perpaduan penafsiran gramatikal dalam konteks yang lebih dinamis dengan menerima penafsiran teleologis dan historis dengan menggunakan pendekatan pragmatic legal realism. Hanya dengan perpaduan tersebut, rumusan ketentuan perundang-undangan menjadi lebih bermakna dan memiliki dinamika serta sejalan dengan napas kehidupan aktual sehingga dapat mengikuti secara benar perubahan dan perkembangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat yang sedang berkembang.

Perbuatan suap dalam kasus MWK harus dilihat dari sudut pandang dan paradigma sebagaimana diuraikan di atas sehingga para ahli hukum di Indonesia tidak lagi hanya menjadi menara gading di dalam lingkungan masyarakat yang tengah berkembang cepat mencari dan menemukan jati diri bangsa yang ingin bersih dan bebas dari KKN. Bangsa Indonesia lima atau sepuluh tahun ke depan mengharapkan kehadiran para ahli hukum yang memiliki pandangan jauh kedepan dan menggunakan rasio dengan visi yang jelas dan cermat mengamati perkembangan bangsa yang sedang berkembang dan bagaimana hukum harus diterapkan (ditafsirkan) menghadapi kenyataan masyarakat yang berkembang pada waktu tertentu.

Pendekatan aliran pragmatic legal realism tampaknya lebih tepat dan relevan untuk menganalisis perkembangan mega korupsi di Indonesia, daripada hanya terpaku kepada pendekatan legal positivism semata. Dalam konteks ini, saya tegaskan kasus MWK bukan kasus ''viktimisasi struktural dan sosial'' atau bahkan bukan korban konspirasi sekalipun, melainkan hasil positif dari strategi dan taktik memenangkan perang terhadap suap dan korupsi.

Strategi dan taktik tersebut memang cocok untuk membongkar gerakan tutup mulut dalam lingkungan budaya paternalistik dan KKN di tubuh penyelenggara negara saat ini. Kedua strategi dan taktik baik yang dilakukan KPTPK untuk menangkap MWK maupun dari MWK serta KPU untuk menyuap Khairiansyah dari BPK, memang merupakan perencanaan (bukan konspirasi), akan tetapi kedua strategi tsb memiliki perbedaan tujuan yang mendasar yaitu MWK dan KPU bertujuan menghilangkan indikasi korupsi dalam laporan audit BPK sedangkan KPTPK bertujuan menemukan bukti-bukti indikasi korupsi dalam laporan audit BPK di mana pembuktian kasus suap merupakan pintu masuk untuk menguak lebar-lebar indikasi korupsi di KPU.

Strategi dan taktik MWK dan KPU merupakan pelanggaran hukum sedangkan Strategi dan taktik KPK merupakan langkah penegakan hukum. Oleh karena itu kita patut bertanya apanya yang salah dalam penangkapan dan penahanan MWK? Harapan masyarakat adalah KPTPK dapat menuntaskan seluruh kasus suap dan indikasi korupsi di jajaran KPU dengan bukti-bukti kuat sehingga proses penegakan keadilan berjalan sesuai dengan harapan dan komitmen Presiden SBY dalam percepatan pemberantasan korupsi.

Tulisan ini diambil dari Republika, 11 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan