Perkara Korupsi Kakap Harus Jadi Prioritas; IPHI: KPK Tidak Profesional
Agar eksis dan dipercaya masyarakat sebagai lembaga yang ampuh untuk memberantas korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memprioritaskan perkara korupsi kelas kakap yang merugikan negara triliunan rupiah..
Hal tersebut dikemukakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Dr Mudzakir SH MH, kepada Pembaruan seusai diskusi publik Masa Depan KPK Pascaputusan MK di Jakarta, Senin (28/2).
Selain Mudzakir, tampil sebagai pembicara lainnya dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) itu adalah Praktisi Hukum Tengku Nasrullah, dosen Universitas Trisakti Jakarta, Prof Dr Andi Hamzah, dan Pejabat Sementara (PJS) Direktur Eksekutif LeIP, Arsil.
Di tempat terpisah, Ketua Umum Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) Indra Sahnun Lubis menyatakan, kinerja KPK tidak seperti yang diharapkan masyarakat karena dalam menjalankan tugasnya terkesan bukan demi penegakan hukum, tetapi karena alasan politis.
Kita ketemu KPK untuk memberi masukan supaya benar-benar dapat menjalankan fungsinya semaksimal mungkin agar dipercayai masyarakat karena saat ini yang terkesan KPK kerja bukan demi hukum tapi politik, kata Indra usai bertemu dengan pimpinan KPK di Jakarta, Senin.
Indra lantas mencontohkan langkah KPK dalam menangani kasus dugaan korupsi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) non-aktif Abdullah Puteh yang dinilainya tidak profesional, terlebih jika mengacu pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus permohonan uji materiil KPK yang diajukan rekanan Puteh, Bram HD Manoppo, yang menyebut KPK telah memeriksa perkara yang sebenarnya bukan wewenangnya.
Meski amar putusannya menolak permohonan penggugat, dalam pertimbangan hukumnya MK menyebut KPK tidak berwenang mengambil alih perkara yang terjadi sebelum UU No 30/2002 tentang KPK diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002, sedangkan pemeriksaan kasus perbuatan yang disangkakan pada Bram Mannopo tersebut terjadi sebelum UU tersebut lahir yakni tanggal 26 Desember 2002, karena itu terjadi pemberlakuan secara surut (retroaktif).
Indra menilai KPK sebenarnya belum sepenuhnya siap dalam menjalankan fungsinya selain belum adanya perangkat pendukung tugas komisi itu, oleh karenanya ia mengusulkan agar lembaga itu keberadaannya ditunda dulu sampai segala sesuatunya siap sehingga dapat berjalan maksimal.
Indra menyatakan, banyak kasus korupsi di Indonesia yang sudah mengakar yang jika ditangani oleh institusi yang tidak profesional tentu tidak akan bisa beres.
Koruptor Kakap
Mudzakir lebih jauh mengatakan, untuk beberapa tahun awal ini, KPK cukup menangani (menyelidiki, menyidik dan menuntut) beberapa kasus besar yang bisa menjawab keinginan masyarakat sejak awal reformasi, yakni seret koruptor kakap.
Selain itu, KPK harus lebih banyak menjalankan supervisi kepada lembaga-lembaga lain, yakni polisi dan jaksa. Baru selanjutnya, KPK boleh mengembangkan lembaganya dengan membentuk KPK di daerah-daerah Provinsi, kabupaten dan kota.
Dikatakan Mudzakir, dalam memahami suatu UU sebaiknya harus dipahami konteks dibuatnya UU itu (text by context). Demikian pun untuk memahami UU KPK.
Penafsiran
Pasal 72 UU No 30 / 2002 tentang KPK, yang mengatakan bahwa UU KPK berlaku sejak UU itu diundangkan yakni, 27 Desember 2002. Bunyi pasal itu, kata dia, memang menimbulkan sejumlah penafsiran oleh sejumlah kalangan. Namun, kalau menggunakan pemahaman text by context, kata Mudzakir, Pasal 72 itu harus dimaknai KPK memiliki wewenang untuk melakukan penanganan semua perbuatan pidana korupsi, baik sejak atau setelah dibentuknya lembaga KPK maupun sebelum dibentuknya lembaga KPK, baik perbuatan korupsi terjadi pada saat berlakunya UU No 31/1999 maupun pada saat berlakunya UU No 3 / 1971.
Singkatnya, tindak korupsi yang dilakukan, baik telah diperiksa atau belum diperiksa, atau baru diketahui setelah KPK terbentuk tanpa mempertimbangkan batas waktu terjadi perbuatan (asal termasuk perbuatan pidana korupsi) menjadi wewenang KPK, kata dia. (E-8/Ant)
Sumber: Suara pembaruan, 1 Maret 2005